Deportan: “Kami diperlakukan seperti binatang”

Pernyataan Pers – Koalisi Buruh Migran Berdaulat dan Komnas HAM RI
Kondisi   buruh migran Indonesia menjalani proses deportasi massal di Pusat Tahanan Sementara di Sabah, Malaysia (Desember 2019-Juni 2020)
Kami melakukan penelusuran dan mendapatkan temuan terjadinya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung secara sistematis dan massal terhadap ribuan buruh migran yang terjadi bertahun-tahun, sekaligus membuktikan bahwa kasus ini bukan hanya bersifat individual.

Penelusuran ini kami lakukan sepanjang Maret-Juli 2020 terkait deportasi massal buruh migran Indonesia di Sabah, Malaysia. Lebih dari 900 buruh migran merupakan penyintas siksaan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) di Sabah yang ditahan untuk menunggu proses administrasi deportasi antara lain sejak Desember 2019, karena tidak memiliki dokumen. Dengan keterbatasan ruang gerak dan akses terhadap para korban penahanan di PTS, kami berusaha mengumpulkan informasi dan berkomunikasi dengan beberapa pihak, termasuk Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Tawau dan beberapa pemerintah daerah. Penelusuran ke lapangan baru dapat dilakukan sepanjang Juni-Juli 2020, saat para korban tersebut dideportasi melalui pelabuhan Parepare di Sulawesi Selatan.

Kami bertemu dan mewancarai 33 deportan, terdiri dari 17 laki-laki, 15 perempuan, dan 1 anak, yang berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Kami juga bertemu dengan lima deportan anak yang berusia antara 9 bulan hingga 4 tahun. Mereka mengalami penangkapan, penahanan, menjalani hukuman di penjara, penyiksaan di PTS, kemudian dideportasi ke Indonesia. Dari para korban tersebut kami mengumpulkan kesaksian-kesaksian langsung dari mereka, dan menemukan suatu pola yang menunjukkan bahwa praktik penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan di dalam PTS telah berlangsung secara massal dan sistematis.

Lamanya masa tahanan di PTS disebabkan oleh prosedur administrasi deportasi yang rumit dan tidak efesien, baik dari sisi Sabah maupun Indonesia, dan juga diperparah oleh kebijakan pemerintah Indonesia untuk menunda proses deportasi, khususnya oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dengan alasan tidak memiliki dana melaksanakan prosedur penanganan Covid-19 untuk menghindari penyebarannya saat menerima para deportan di wilayah perbatasan di Pulau Nunukan.

Penelusuran kami menunjukkan adanya pelanggaran hak-hak dasar buruh migran karena mereka harus mendekam di pusat tahanan yang kejam dalam waktu yang lebih lama. Kebijakan penundaan pemulangan telah mengakibatkan para buruh migran yang ditahan tersebut, yang sebagian adalah perempuan, anak-anak dan usia lanjut, mengalami siksaan lebih lama, padahal sudah menjalani hukuman penjara sebelumnya. sehingga secara hukum telah bebas. Penelusuran ini menemukan persoalan-persoalan yang muncul di dua wilayah, yaitu di Sabah, Malaysia dan di Indonesia.

Di Sabah, Malaysia, temuan kunci kami ialah: (1) kondisi dan perlakuan terhadap para deportan di Pusat Tahanan Sementara (PTS) tidak manusiawi; (2) penahanan berkepanjangan yang telah menyebabkan perampasan kebebasan tanpa alasan terhadap ribuan deporrtan (tahanan keimigrasian); (3) PTS menjadi institusi penyiksaan yang terjadi bertahun-tahun. (4) Situasi yang tidak manusiawi tersebut juga dialami oleh perempuan dan anak, termasuk perempuan hamil, sehingga menghasilkan dampak yang berlapis

Para deportan menyampaikan kepada kami bahwa:

“Kami diperlakukan seperti binatang. Setelah hukuman penjara selesai dan saat menunggu proses deportasi di PTS, malah kami diperlakukan seperti hewan. Pokoknya di Rumah Merah (PTS) itu seperti neraka. Kebanyakan kami di PTS mengalami segala macam penyakit.” (XYZ, deportan asal Adonara, NTT)

“Setiap jam 6 pagi kami harus bangun. Ketua blok akan berteriak menyuruh kami segera berbaris dan berhitung. Satu baris masing-masing 10 orang. Kita harus mengucapkan selamat pagi cikgu (guru), lalu penjaganya akan bilang: ‘tangan di belakang, kepala menunduk!’ Siapa yang melakukan kesalahan akan dipukul dan ditendang. Setiap dipukul kita harus bilang ‘terima kasih cikgu’. Kalau tidak kita akan terus dipukul. Jadi kami diperlakukan benar-benar seperti binatang. Kami harus panggil para petugas sebagai cikgu, kalu tidak habis lah kami dipukuli.” (ABC, deportan asal Lembata, NTT).

“Di PTS hampir semua kena gatal-gatal dan penyakit kulit. Airnya kotor dan bau. Itu pun tidak lancar, sering kali kami tidak mandi tiga hari. Makanan yang diberikan sering masih mentah, daging ayam yang masih ada darahnya, nasi yang masih mentah atau basi, sayur kadang belum masak. Pernah kami tidak diberi makan sampai sore hari.” (KLN, deportan perempuan asal Pinrang, Sulawesi Selatan).

“Saya ingin mandi sekali tapi air di kamar mandi jarang sekali keluar. Sering kali air tidak ada sampai tiga hari. Kami biasanya harus menabung air di dalam botol air mineral. Kalau mau mandi sering harus diundi untuk mendapat giliran. Itu pun dijatah hanya dua botol air mineral (hanya 2-liter air).” (DDHK, deportan anak usia 10 tahun asal Ende, NTT).

Para deportan yang ditahan di PTS juga mengalami perlakuan kekerasan, pemerasan, perampasan atas benda milik pribadi, pelanggaran hak atas kesehatan, hak untuk diproses hukum secara adil, dan eksploitasi terhadap deportan anak. Kondisi dan fasilitas PTS yang tidak layak hingga mengakibatkan mayoritas buruh migran yang ditahan, termasuk perempuan, anak-anak, dan usia lanjut menderita berbagai penyakit dan kesehatan mental. Fasilitas di PTS tidak memperhatikan kebutuhan khusus kelompok rentan (perempuan, perempuan hamil, anak, dan usia lanjut). Salah satu kesaksian deportan perempuan menyebutkan:

“Selama saya di PTS antara Februari-Juni 2020, di blok yang saya tempati saya melihat ada tiga perempuan yang melahirkan di sana. Saya pernah melihat bayi yang dilahirkan dengan selamat di PTS tanpa bantuan petugas apalagi dokter atau perawat. Kecil sekali bayinya, pasti karena kurang gizi.” (GWS, deportan perempuan asal Flores, NTT).

Sementara di Indonesia, temuan kunci penelusuran kami ialah: (1) proses deportasi dan koordinasi lintas instansi pemerintah Indonesia berjalan kacau; (2) munculnya masalah-masalah serius akibat tidak adanya persiapan pemerintah mengantisipasi deportasi bergelombang. Masalah tersebut antara lain: (a) tidak tersedia fasilitas pengobatan di tempat penampungan BP3TKI di Makassar, padahal banyak deportan yang mengalami sakit; (b) tidak tersedia layanan penanganan kesehatan mental di tempat penampungan BP3TKI di Makassar, padahal banyak penyintas yang mengalami depresi dan trauma; (c) tempat penampungan BP3TKI (Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) di Makassar melampaui kapasitas, tidak memadai untuk menampung deportan dalam jumlah besar; (d) tidak tersedia fasilitas untuk anak-anak dan deportan berkebutuhan khusus di tempat penampungan BP3TKI di Makassar. Akar dari masalah-masalah ini adalah kegagalan pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah, dalam melihat situasi para deportan yg merupakan penyintas penyiksaan dan orang yang menderita sakit akibat siksaan.

Berbeda dengan posisi pemerintah Indonesia yang melihat fakta kekerasan di Sabah tersebut sebagai kasus-kasus individu semata, temuan kami justru menunjukkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di PTS Sabah yang terjadi secara sistematis terhadap ribuan buruh migran yang selama bertahun-tahun. Impunitas para pelaku pelanggaran hak asasi manusia ini, baik di Sabah maupun di Indonesia, juga terjadi sejak lama dan harus segera diakhiri.

Untuk itu, kami mengutuk keras segala bentuk kekerasan, penyiksaan dan bentuk-bentuk peghukuman kejam lainnya yang telah berlangsung sistematis dan massal di PTS Sabah, yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Kami juga mendesak pemerintah Sabah, Malaysia dan Indonesia untuk melakukan reformasi dan upaya sistematis agar kekerasan dan penyiksaan terhadap buruh migran di Sabah segera dihentikan.

Secara khusus, kami mendesak pemerintah Malaysia untuk:

  1. Melakukan upaya sistematis untuk menghentikan dan mencegah penyiksaan massal dan perlakuan kejam lainnya oleh negara di PTS;
  2. Memastikan adanya akses rutin bagi lembaga-lembaga HAM terpercaya untuk mekanisme pengawasan terhadap PTS;
  3. Menyederhanakan prosedur administrasi deportasi, dan membuatnya lebih efesien untuk menghindari penahanan yang berkepanjangan;
  4. Menjalankan serangkaian penyelidikan terhadap pelaku kekerasan di PTS dan menghukum pelaku penyiksaan, untuk menghentikan praktik impunitas selama ini;
  5. Mereformasi sistem hukum untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh buruh migran yang bekerja di Malaysia, serta menghentikan kriminalisasi buruh migran tidak

Sedangkan kepada pemerintah Indonesia, kami mendesak agar:

  1. Menyederhanakan prosedur administrasi deportasi, dan membuatnya lebih efisien untuk menghindari penahanan berkepanjangan di PTS;
  2. Memberikan perlindungan terhadap seluruh buruh migran yang terdampak pandemi covid-19, termasuk di dalamnya kebutuhan pemulangan/deportasi yang manusiawi serta beorientasi pada pemenuhan dan perlindungan hak buruh migran;
  3. Menyediakan fasilitas perlindungan di wilayah transit atau di pintu masuk di perbatasan bagi para deportan;
  4. Memahami dan memperlakukan para deportan sebagai penyintas penyiksaan dan perlakuan kasar, dengan melihat dan memenuhi kebutuhan pengobatan, perlindungan, maupun pemulihan psiko sosial dan rehabilitasi dari tekanan mental; termasuk kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling terdampak;
  5. Tidak menganggap wajar atau membenarkan praktik penyiksaan yang sistematis di PTS di Sabah atas dasar hukum Malaysia dan diplomasi politik tidak campur

 

Jakarta, 5 Agustus 2020

  • Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
  • Koalisi Buruh Migran Berdaulat

Narahubung: Musdalifah Jamal
Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat Telepon: +6285299615000

Tentang Koalisi Buruh Migran Berdaulat:
Koalisi Buruh Migran Berdaulat merupakan gerakan masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu-isu pemenuhan dan perlindungan hak buruh migran Indonesia. Koalisi ini pada awalnya terbentuk sebagai respon atas berbagai kondisi yang dihadapi oleh buruh migran Indonesia dalam situasi Pandemik Covid-19.

Translate »