Hari Pangan Sedunia Menjadi Momentum Perempuan Menggugat Negara untuk Realisasi Hak atas Pangan

Liputan Solidaritas Perempuan Memperingati Hari Pangan Sedunia 2019
Oleh Kristina Pakpahan

Setiap 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Solidaritas Perempuan bergerak bersama dengan perempuan akar rumput dan jaringan melakukan serangkaian aksi.  Aksi ini sekaligus bertujuan mengingatkan Negara untuk memenuhi hak rakyat atas pangan dan tidak fokus pada kepentingan korporasi serta invetsasi. Tidak hanya di Jakarta, peringatan HPS pun dilakukan oleh komunitas SP di berbagai daerah seperti Aceh, Yogyakarta, Palembang, Lampung, Makassar dan Mataram\

Aksi di Jakarta dilakukan dengan berbagai kegiatan kreatif bersama dengan Koalisi Mayarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi. Aksi dilakukan di Taman Aspirasi – Jakarta  dengan tema “Industrialisasi Pangan Menghancurkan Kedaulatan Pangan”. Diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza secara bersama-sama, renungan pangan, teatrikal, menyanyi dan musikalisasi puisi. Aksi ini pun menghadirkan simbol perlawanan dengan membawa berbagai hasil panen pangan lokal antara lain beras, ubi, kacang tanah, jagung, pisang, dan kangkung.

Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan dalam Renungan Pangan menyampaikan bahwa pangan adalah hak dasar. Sayangnya hari ini tingkat kelaparan dan gizi buruk semakin memburuk. Dengan berbagai skema SDGs dan lainnya tidak mampu mengatasi tingkat kelaparan dan persoalan pangan. Hal ini karena salah satu penyebabnya adalah ketimpangan ekonomi dan sosial yang tidak pernah tuntas, sehingga bepengaruh pada ketimpangan pangan itu sendiri. Bahkan saat ini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Di Indonesia pun bicara pangan selalu dikaitkan dengan industrilasasi pangan yakni bagaimana produksi pangan sebanyak-banyaknya. Negara tidak benar-benar sadar bahwa petani kecil dan nelayan tradisional adalah produsen pangan dan sebenarnya mampu mencukupi pangan. Negara tidak sadar bahwa industrialisasi tidak menjawab kelaparan dan gizi buruk, sebaliknya justru hanya mempersulit rakyat dalam mencapai haknya atas pangan.

Komunitas SP Jabotabek turut mengkritisi soal industrialisasi pangan melalui teatrikal “Hari ini pangan sudah diindustrialisasi teman-teman, industrialisasi pangan. Kita sudah tidak dapat mengakses dan mengkonsumsi pangan sehat. Padahal seharusnya perempuan berdaulat atas pangan,” ucap mereka dalam aksi teatrikalnya. “Pangan semakin mahal, hari-hari hanya bisa makan mie,” lanjut salah salah satu pemain teater.

Melalui teatrikal, keempat pemeran perempuan menunjukkan kondisi nyata yang mereka alami setiap hari. Bertanggungjawab sebagai penyedia pangan dalam keluarga, mereka sangat merasakan bagaimana dampak pangan mahal, tidak sehat dan sulit ditemukan. Dan bagi mereka ini adalah akibat ulah pemerintah dan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Di akhir pertunjukan ini, mereka berteriak sambil mengucap “Biarkan perempuan berdaulat atas pangannya, perempuan berdaulat atas pangan!,”

Melalui aksi ini, kritik terhadap situasi pangan saat ini pun disampaikan melalui berbagai jenis lagu. Salah satunya adalah lagu berjudul “Kebenaran Akan Terus Hidup”.

“Karena kebenaran akan terus hidup,
Sekalipun kau lenyapkan kebenaran takkan mati
Aku akan tetap ada dan berlipat ganda
Siapkan barisan dan siap untuk melawan”

Demikian sebagian lirik dari lagu miliknya Fajar merah tersebut.  Tak luput juga pembacaan puisi dari peserta aksi. Salah satu bait puisi tersebut adalah
“Siapa sebenarnya pahlawan kita,
Pahlawan yang sebenarnya adalah mereka yang berada di tanah, terik mentari.”

Masyarakat yang melewati lokasi aksi diajak untuk turut berpartisipasi dengan menikmati dan berbagi pangan yang tersedia. Ini adalah cara sederhana untuk menunjukkan bahwa pangan adalah hak dasar, yang seharusnya mudah diakses dan dinikmati oleh semua makhluk hidup.

Di Palembang, SP Palembang bersama WALHI Sumatera Selatan turut memperingati Hari Pangan Sedunia yang diadakan pada 15-16 Oktober 2019. Agenda bersama ini dimulai dengan Rembuk Tani dan dihadiri oleh petani-petani di Sumatera Selatan. Melalui Rembuk Tani ini mereka berhasil merumuskan Maklumat bersama yang bertujuan untuk menyuarakan kondisi yang dihadapi saat ini; krisis pangan sehat dan konflik lahan serta mengingatkan pemerintah untuk merespon persoalan tersebut. Salah satu isi maklumat adalah mendesak pemerintah untuk menuntaskan masalah PTPN VII Cinta Manis dan masyarakat.

Maklumat ini dibacakan langsung oleh perempuan di hadapan Gubernur Sumatera Selatan. Dalam peringatan ini mereka juga memiliki agenda khusus untuk perempuan yang disebut dengan Tugu Tubang (Perempuan Bertanya). Ini menjadi ruang bagi perempuan untuk menyampaikan situasi yang secara spesifik dihadapi oleh perempuan terkait pangan. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah “Dari mana mendapatkan pangan sementara tanah tidak ada.” Peringatan Hari Pangan Sedunia ini mereka akhiri dengan aksi Long March ke kantor DPR Sumatera Selatan.

Di Aceh, Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh bersama perempuan akar rumput di gampong Seubun Ayon Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar memperingati Hari Pangan Sedunia dengan kegiatan diskusi bersama sambil memasak makanan tradisional. Salah satunya adalah Le Bu Peudah[1] atau kanji pedas yang merupakan warisan leluhur dan sudah mulai punah akibat industrialisasi pangan. Bahan baku lainnya dalam acara masak memasak ini berasal dari pangan lokal yang mereka tanam seperti beras, jagung, ketela, kacang tanah, kacang hijau, kelapa dll yang semuanya mengandung gizi cukup tinggi serta bermanfaat untuk menambah tenaga dan juga menyembuhkan beberapa jenis penyakit seperti sakit maag, sakit kepala.

Acara ini diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa pentingnya menjaga pangan lokal dan sehat sehingga anak cucu kelak dapat menikmatinya. Sekaligus mengingatkan bahwa hilangnya bahan baku pangan lokal disebabkan oleh perampasan lahan ataupun alih fungsi lahan. Hal ini juga menyebabkan perempuan kehilangan sumber pangan sekaligus sumber mata pencaharian. 

Di Lampung, SP Sebay Lampung memperingati Hari Pangan Sedunia dengan aktif melakukan kampanye media sosial terkait kedaulatan pangan  hari ini. Selain itu, mereka juga melakukan diskusi di internal pengurus terkait apa yang bisa mereka lakukan dengan kondisi pangan yang diliberalisasi dan diindustrialisasi. Dalam diskusi tersebut mereka merumuskan pengembangan strategi perlawanan di akar rumput melalui pengelolaan pangan lokal  dan perluasan kebun kolektif untuk memenuhi pangan keluarga dan komunitas. Sebelumnya pada 30 September, SP Sebay Lampung telah berdiskusi dengan 15 orang perempuan petani di Sidodadi mengenai pangan lokal. Mereka diajak untuk melihat tantangan dan hambatan dalam pengelolaan pangan lokal di tingkat komunitas. Dari hasil  diskusi, mereka menemukan bahwa salah satu yang mengancam pangan lokal adalah investasi dan perdangan bebas. Dalam menghadapi situasi ini, perempuan petani di Sidodadi terus berjuang dengan mengembangkan inisiatif peralwanan termasuk dengan cara memperkuat kebun kolektif.

Di Makassar, SP Anging Mammiri Sulawesi Selatan memperingati Hari Pangan Sedunia dengan tema “Perempuan Bicara Kedaulatan Pangan.” Peringatan ini dilakukan dalam bentuk diskusi interaktif dengan menghadirkan dua orang narsumber dari perempuan akar rumput dan mewakili SPAM itu sendiri. Diskusi ini turut dihadiri anak muda dan mahasiwa di Makassar. Ibu Zaenab sebagai narasumber menyampaikan terkait situasi yang dihadapi saat ini akibat proyek reklamasi yaitu pembangunan MNP. Proyek ini telah merampas sumber pangan dan mata pencaharian perempuan nelayan dan pesisir. Hatia Dg.Ngenang juga bercerita bagaimana kehidupan perempuan petani sebelum dan sesudah masuknya PTPN XIV yang merampas hak atas tanahnya.

Peringatan  hari pangan sedunia juga dilakukan  di  Mataram oleh Solidaritas Perempuan Mataram dengan melakukan diskusi bersama kelompok muda di desa Kekeri, Sebagaimana kita ketahui bahwa masifnya alih fungsi lahan di Kekeri berdampak hilangnya mata pencaharian petani dan mengurangi sumber pangan yang ada di Kekeri karena lahan yang dijadikan sebagai tumpuan utama kebutuhan hidupnya sudah berkurang. Selain itu, dari informasi kelompok muda dalam diskusi ini, ternyata alih fungsi lahan di kekeri bisa merampas hak-hak pemuda di Kekeri. Misalnya dulu di Kekeri sebelum adanya BTN suasana di Kekeri hijau dan asri dan bisa dijadikan sebagai tempat bersosialisasi, akan tetapi itu semua sudah tidak ada lagi. Oleh sebab itu penting dalam momentum yang bersejarah ini peran pemuda dalam melawan perdagangan bebas dan investasi

Selamat Hari Pangan Sedunia. Mari kita bersama-sama menjaga bumi dan terus mengingatkan pemerintah untuk memenuhi hak rakyat atas pangan

 

[1] Ie Bu Peudah terbuat dari sekitar 44 jenis daun-daunan yang dapat diperoleh dari hutan dan ada disekitar tempat tinggal mereka.

Translate »