Ibu Nurlaela, Perempuan di Sarang Penyamun

Foto 5: Ibu Nurlela menyampaikan aspirasi perempuan Desa Padang di saat Musrembang Desa (dokumentasi 2009)

Ibu Nurlela menyampaikan aspirasi perempuan Desa Padang di saat Musrembang Desa (dokumentasi 2009)

Ibu Nurlaela adalah lulusan Sarjana perguruan tinggi Muhammadiyah di Bulukumba. Ibu Nurlaela juga aktif mencari informasi tentang rapat-rapat desa dan kemudian membagikan informasi tersebut dengan perempuan lainnya. Ia juga adalah perempuan pertama yang membantu Solidaritas Perempuan ketika melakukan penelitian aksi partisipatoris pemberdayaan perempuan dalam konteks muslim di desa Padang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kesan yang didapatkan dari seorang Ibu Nurlaela adalah seorang perempuan berjilbab panjang sehingga distereotype-kan sebagai perempuan fundamentalis. Namun bukan sekedar penampilannya, Ibu Nurlaela memiliki cara pandang islam yang ortodoks yang masih membelenggu pola pikirnya tentang perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang organisasi keagamaan yang pernah digelutinya.

Hanya saja, ia tidak menutup diri. Ia tetap berbagi pengetahuan dan informasi bersama Solidaritas Perempuan mengenai situasi perempuan yang tidak berdaya dan mengalami kekerasan di Desa Padang serta pemetaannya mengenai aktor-aktor penghambat pemberdayaan perempuan, membantu dalam identifikasi aktor-faktor pemberdayaan perempuan bersama perempuan lainnya. Sebagai pengajar dan pendidik taman kanak-kanak, Ibu Nurlaela konsisten membawa semangat perubahannya di tingkat masyarakat desa. Ia aktif dalam setiap kegiatan desa. Ia dipercaya sebagai pemimpin perempuan dengan segala modal dan akses yang dimilikinya.

Inisiatif Ibu Nurlaela untuk terlibat dalam pengambilan keputusan telah dibuktikan dengan terpilihnya Ibu Nurlaela sebagai anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) periode tahun 2007-2011. Ibu Nurlaela,“[1] mengatakan bahwa:

“menurut saya sebagian perempuan sudah berdaya, tetapi masih ada pula yang belum berdaya. Misalnya ada perempuan diundang untuk rapat di kantor desa, ada yang mau hadir dan ada pula yang tidak mau hadir. Ada memang perempuan yang tidak mau terlibat. Karena katanya hanya buang-buang waktu saja. Mereka mengatakan lebih baik ke sawah, tetapi ada juga perempuan yang mau ikut rapat tersebut karena tidak mau ketinggalan informasi”

Keterlibatan dan aktifnya ibu Nerlaela di rapat-rapat desa dan di organisasi keagamaan (Muhammadiyah), menjadikan dirinya sebagai tempat sumber informasi nya sebagai seorang perempuan yang menjadi tempat berbagi informasi dan diminta pendapatnya atau belajar bagi perempuan lain yang ada di dusun Bonto Bulaeng.

Upaya perempuan untuk memberdayakan diri seringkali juga harus mengalami penjegalan oleh laki-laki. Ibu Nurlaela menjelaskan bahwa dirinya pernah dijegal oleh laki-laki atas posisinya yang seharusnya menjadi wakil ketua BPD. Saat itu Kepala Desa tidak menyetujui apabila permepuan menjadi wakil ketua BPD. Akhirnya Ibu Nurlaela hanya menjadi anggota BPD. Ibu Nurlaela”[2] mengungkapkan bahwa;

“saya aktif di berbagai lembaga dan sekarang saya menjadi anggota BPD… hanya saya sedikit kesal pada waktu pembentukan BPD, saya telah ditunjuk sebagai Wakil Ketua namun hal itu berubah dan sekarang hanya sebagai anggota…. Karena ini adalah permainan politik dan perempuan selalu ditempatkan pada posisi tertentu atau tidak strategis”

Ia merasakan bahwa adanya pembuatan Peraturan Desa yang prosesnya tidak melibatkan masyarakat juga merugikan perempuan. Dukungan dari keluarga, menjadi kekuatan tersendiri dalam diri CO. Karena hal ini sangat membantu untuk bisa terlibat aktif di luar rumah melalui kegiatan penelitian dan juga kegiatan di desa. Salah satu CO yang juga awalnya masih samar bagi peneliti untuk mengidentifikasi adalah Ibu Nurlaela, namun keraguan tersebut hilang dengan ungkapan Ibu Nurlaela pada saat mengikuti kegiatan Solidaritas Perempuan di Jakarta (Launching Nasional We Can Campaign), dan ia bersedia menjadi narasumber untuk testimoni terkait dengan kekerasan yang dialaminya di level pemerintah sebagai anggota Badan Perwakilan Desa (BPD):

“… saya sekarang mengetahui apa yang menjadi perjuangan kawan-kawan SP, jujur sebelum saya melihat kegiatan kawan-kawan saya masih menyimpan kecurigaan dengan SP yang datang ke Desa Padang melakukan penelitian, jangan-jangan ada misi tertentu yang dibawa untuk merusak pemahaman perempuan. Tetapi setelah saya mengikuti, saya yang akan menjelaskan ke semua orang yang saya jumpai mengenai SP dan apa yang menjadi tujuan SP ada di Desa Padang..”[3]

“… saya juga ingin mengatakan, bahwa setelah saya ikut dalam penelitan yang dilakukan oleh SP, saya memiliki keberanian yang baru untuk bisa menyampaikan apa yang ingin saya pertanyakan kepada pemerintah desa..”

Ibu Nurlaela adalah perempuan yang juga memiliki pengaruh terhadap gerakan atau aktivitas bagi perempuan dan kegiatan desa lainnya. Sehingga proses pemberdayaan untuk mereka mendapatkan akses dan melakukan kontrol terhadap pengambilan keputusan publik dapat terus menerus ditingkatkan. Ibu Nurlaela tidak berhenti. Ia bersama perempuan lainnya membentuk sekolah perempuan yang bernama Sipakalebbi yang dalam bahasa daerah Bugis berarti saling menghargai, menghormati dan menghargai.

“… kita tetap saja namakan sekolah perempuan, tinggal menambahkannya saja kata dibelakangnnya. Saya kira Sipakalebbi’ maknanya lebih bagus…” (Ibu Nurlaela CO Bonto Bulaeng, pertemuan CO tanggal 22-23 Januari 2009, di rumah ibu Esse dusun Pallimassang)

Melalui nama tersebut akan menjadi motivasi untuk perempuan di Desa Padang, dalam menggalang dukungan dan kebersamaan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang selama ini mereka tidak temukan. Sekolah perempuan Sipakalebbi’ yang berada di 4 dusun di Desa Padang ini sebagai tempat sharing informasi, saling belajar, memberikan dukungan kepada sesama perempuan. Sehingga sekolah perempuan ini, walaupun informal dapat dijadikan sebagai ruang ‘aman’ bagi perempuan dalam menjawab persoalan-persoalan yang mereka alami baik yang bersumber dari dalam dirinya, keluarga ataupun di komunitasnya atau lingkungannya, yang kemudian diutarakan oleh Ibu Nurlaela:

“semua itu hanya kebiasaan, jadi beranikan diri karena kalau kita sudah bicara 1 kali maka pasti kita akan mau lagi bicara jadi biarkan saja orang mau bilang apa atau ketawai kita”

Ruang ini kemudian menjadi media pendalaman karakter kepemimpinan Ibu Nurlaela yang memiliki semangat untuk memotivasi perubahan perempuan lainnya. Ia juga kerap mendorong perempuan lainnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan desa dan mendengarkan keluh kesah mereka. Hal ini memberikan inspirasi bagi perempuan lainnya, bahwa betapapun berlapisnya diskriminasi yang diperoleh selama Ibu Nurlaela hidup, jiwa kepemimpinan Ibu Nurlaela tetap hidup dan tidak luntur oleh kekuasaan yang terlanggengkan.

Pola pikirnya yang masih melihat perempuan dalam kacamata patriarki tidak menghalangi jiwa inklusivitas seorang Nurlela yang biasanya melekat pada pemimpin. Ia tidak memusuhi Solidaritas Perempuan namun tetap berbagi pengetahuan sembari juga mempelajari dan mencari informasi mengenai Solidaritas Perempuan itu sendiri.

Peluang dirinya untuk menguji dan mengasah kepemimpinannya tidak terbatas di hanya ranah keluarga ketika menghadapi relasi kuasa dalam keseharian. Nurlaela juga mampu mengembangkan kepemimpinannya di ranah politik yang lebih praktis dan berwarna maskulin. Sebagai satu-satunya perempuan, ia menghadapi tantangan bahwa perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak memiliki suara yang sama dengan laki-laki. Visi sebagai daya yang dimiliki oleh setiap pemimpin seperti Nurlaela bahwa perubahan pola pikir mengenai perempuan sebagai warga kelas dua harus digerakkan secara kolektif. Ia pun menggunakan media seperti inisiatif kolektif untuk membentuk sekolah perempuan Sipakalebbi.

Pengalaman dan refleksi personal sebagai perempuan yang selalu disubordinasi dan dipinggirkan membuat Ibu Nurlaela menjadi figur perempuan yang empati dan belas kasih. Apa yang dialami oleh Siti (bukan nama sebenarnya), korban cambuk perempuan, menyadarkan Ibu Nurlaela bahwa peraturan desa hukum cambuk tersebut merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dengan belas kasih dan empati inilah, ia memberanikan diri pada publik bahwa peraturan desa hukum cambuk merupakan praktik yang tidak memanusiakan perempuan dalam diskusi publik yang diselenggarakan di Kota Makassar juga dalam pertemuan-pertemuan pada pemangku kepentingan.

Ibu Nurlaela juga memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Bahasanya yang tertata rapih mampu diserap oleh perempuan lainnya untuk tergerak. Hal ini memudahkan transformasi sosial sesuai dengan visi perubahan yang diinginkannya. Selain itu, pondasi spiritualitas yang dimilikinya memberi horizon lain dalam karakter kepemimpinan Ibu Nurlaela. Ia memiliki pengetahuan soal keagamaan yang lebih dari perempuan lain, terlebih ia hidup di tengah masyarakat yang sangat relijius. Pengetahuan Ibu Nurlaela dianggap sebagai keunggulan. Keunggulan inilah kemudian menjadi pintu masuk Ibu Nurlaela untuk mengajak perempuan untuk melakukan perubahan. Pengalamannya sebagai anggota BPD yang selalu dikecualikan menjadikannya sebagai peluang ke depan untuk menggerakkan perempuan, seperti mengorganisir perempuan lain untuk memperkuat sekolah perempuan dan mengadvokasi pencabutan peraturan desa hukum cambuk.

[1] Wawancara tanggan 12 Juni 2007, di rumah Ibu Saida
[2] Wawancara tanggal 12 Juni 2007, di kediaman ibu Saidah.
[3] Ungkapan Ibu Nurlaela, pada sat wahidah menanyakan kesan dan tanggapan Ibu Nurlaela dengan kegiatan SP yang diikuti, Wisma YTKI-Jakarta, kamar 903,tanggal 21 Maret 2009

Translate »