Kaleidoskop Kekerasan dan Pelanggaran Hak Perempuan Buruh Migran 2016 “Menagih Tanggung Jawab Negara Melindungi Perempuan Buruh Migran”

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera

Perempuan buruh migran mengalami penindasan berlapis akibat lemahnya kebijakan Negara dalam melindungi buruh migran.
Tahun 2016 masih diwarnai dengan berbagai kKaleidoskop Catahuasus kekerasan dan pelanggaran hak Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya. Kekerasan fisik dan psikis, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa menjadi kasus-kasus yang hingga saat ini belum tertangani. Pengalaman SP dalam menangani kasus menunjukkan bahwa satu perempuan buruh migran bisa mengalami lebih dari satu kekerasan dan pelanggaran hak. Diskriminasi berbasis gender, kelas sosial, kelas ekonomi, ras, maupun agama, serta berbagai kebijakan Negara telah menghasilkan penindasan berlapis terhadap Perempuan Buruh Migran.[1]
 
Sepanjang Januari-Desember 2016 Solidaritas Perempuan telah menangani 66 kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang terjadi pada perempuan buruh migran, yang mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Jenis kasus yang paling banyak dilaporkan adalah gaji tidak dibayar (19%), dan kasus trafficking (17%). Rentannya perempuan buruh migran terutama Pekerja Rumah Tangga mengalami pelanggaran hak Ketenagakerjaan merupakan manifestasi dari paradigma negara yang belum mengakui pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan. “PRT tidak dianggap sebagai Pekerja, sehingga hak-hak ketenagakerjaannya pun terus terlanggar dan sulit untuk mendapat keadilan,” ungkap Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura.

Paradigma ini diterjemahkan dalam berbagai kebijakan dan program pemerintah yang nyaris tidak menyentuh aspek perlindungan bagi Perempuan PRT Migran. Lahirnya Roadmap Zero Domestic Workers 2017 adalah salah satu bentuk kegagalan pemerintah dalam memandang pekerjaan domestic yang selama ini dilekatkan pada peran perempuan. Kebijakan yang diikuti Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan Di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.

“Kepmen 260 menjadikan perempuan yang sudah terdesak oleh pemiskinan menjadi semakin kesulitan mencari penghidupan dan kehidupan,” jelas Nisaa. Bahkan, pasca Kepmen ini pun, penempatan perempuan buruh sebagai PRT tetap berlanjut, dengan kerentanan yang lebih besar akibat jalur penempatan non prosedural.[2] “Bukannya melindungi, pemerintah justru terus menghasilkan kebijakan yang mengakibatkan posisi perempuan buruh migran semakin rentan menjadi korban trafficking,” pungkasnya.

Absurditas Political Will Pemerintah
Gambaran kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak yang masih terus terjadi pada PBM dan Keluarganya membuktikan bahwa ratifikasi Konvensi Migran 90 tidak secara serius ditindaklanjuti pemerintah. Sistem penempatan buruh migran hingga hari ini masih mengacu pada UU No. 39/2004[3] yang selama ini justru menjadi sumber permasalahan di dalam sistem migrasi.

Hingga tahun 2016 ini, perkembangan legislasi pada perubahan UU No. 39/2004 belum mencapai kemajuan yang signifikan pada konteks perlindungan. “Lebih dari 12 tahun Negara membiarkan Perempuan Buruh Migran terus menjadi korban akibat lambannya proses pembahasan Revisi UU No.39 Tahun 2004,” tegas Nisaa.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa perlindungan buruh migran belum menjadi agenda prioritas pemerintahan. Dari sisi substansi, beberapa pasal yang terdapat dalam DIM belum mencerminkan semangat implementasi UU No. 6/2012 Tentang Pengesahan Konvensi PBB 1990 Mengenai Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya dan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW). Lemahnya political will pemerintah juga tercermin melalui keengganan pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Np.189 tentang Kerja Layak PRT.

“Pemiskinan struktural, diskriminasi gender dan lemahnya sistem perlindungan Buruh Migran mengakibatkan Perempuan Buruh Migran mengalami penindasan yang berlapis dan pelanggaran Hak Asasi Manusia,” Ujar Nisaa. “Karenanya, menagih tanggung jawab negara untuk hadir, perlu terus dilakukan untuk memastikan perlindungan terhadap Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya,” lanjutnya.

Jakarta, 5 Januari 2016
Solidaritas Perempuan

Narahubung :
Nisaa Yura   (081380709637)


[1] Solidaritas Perempuan, Kaleidoskop Kekerasan dan Pelanggaran Hak Perempuan  Buruh Migran 2016,2017
[2] Hasil FGD Perlindungan Pekerja Migran, Kemenko PMK, 3 November 2016, yang mengungkapkan fakta tingginya angka kasus penempatan unprosedural
[3] UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
Translate »