Konsultasi Regional Asia Pasifik Membangun Agenda Perdagangan Rakyat

Liputan Oleh: Arieska Kurniawaty

Krisis ekonomi global yang terjadi hari ini telah mendorong timbulnya gejolak perlawanan masyarakat di berbagai belahan dunia. Terlepas dari banyaknya komitmen global yang dibuat oleh negara, fakta yang terjadi justru telah terjadi peningkatan ketimpangan di antara negara-negara maupun di dalam negara itu sendiri. Pada tahun 2017, 82% dari semua kekayaan yang dihasilkan menjadi milik 1% teratas dari orang-orang terkaya di dunia. Fakta ini adalah bukti bahwa ekonomi neoliberal memperburuk banyak persoalan secara bersamaan, karena ketimpangan yang semakin dalam akan menjebak perekonomian lemah ke dalam lingkaran utang yang dimoderasi oleh lembaga keuangan internasional.

Sistem ekonomi yang melanggengkan ketimpangan juga mendorong munculnya sistem pemerintahan yang tidak adil dan sistem kepemimpinan oligarki. Peningkatan kekayaan secara langsung menimbulkan biaya kerusakan lingkungan karena perusahaan bahan bakar fosil terus mengeruk keuntungan hingga melewati ambang batas 1°C. Sementara petani kecil yang mempraktikkan pertanian alami dipaksa untuk menyerah pada agribisnis sehingga mengjilangkan kedaulatan pangan. Ekspansi perusahaan dalam berbagai bentuk, sebut saja agribisnis, ekstraktif ataupun zona ekonomi khusus telah mengakibatkan perampasan tanah dan menggusur masyarakat. Menguatnya kuasa korporasi ini didapat dari mengambil manfaat langsung dari rezim investasi terbuka dan perjanjian perdagangan bilateral serta multilateral yang memfasilitasi perampasan tanah, air dan sumber daya alam lainnya, serta menggusur paksa masyarakat dengan mengatasnamakan pembangunan. Korporasi juga menggunakan aturan perlindungan kekayaan intelektual untuk mempatenkan benih yang menjadi persoalan bagi sebagian besar petani di dunia karena harus menghadapi potensi kriminalisasi.

Situasi krisis global yang terjadi merupakan peringatan penting vitalnya melakukan konsolidasi berbagai gerakan untuk keadilan ekonomi sehingga mendorong analisis bagaimana perdagangan dan investasi berdampak terhadap kehidupan rakyat. Sekaligus membangun agenda perdagangan rakyat. Hal ini yang didorong oleh Asia Pacific Forum on Women, Law and Development dalam Konsultasi Regional: Membangun Agenda Perdagangan Rakyat yang diselenggarakan di Kuala Lumpur pada 26 – 28 Agustus 2019.

Pada konsultasi ini, Solidaritas Perempuan diwakili oleh Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Arieska Kurniawaty. Pada dua hari pertama, fokus pertemuan adalah membangun kapasitas peserta yang terdiri dari organisasi-organisasi masyarakat sipil di Asia Pasifik untuk memahami rezim perdagangan, menguji model alternatif ekonomi dan perdagangan, serta menyusun tuntutan untuk agenda perdagangan bagi rakyat. Pada kesempatan ini, SP menyampaikan materi tentang kaitan antara perjanjian perdagangan internasional dengan ancaman terhadap privatisasi layanan publik berdasarkan pengalaman dalam mengadvokasi kasus privatisasi air di Jakarta. Presentasi yang bertajuk “Trade and the Shrinking of Public Policy Space” diawali dengan kasus privatisasi air Jakarta sebagai bukti kegagalan privatisasi layanan publik sebagaimana telah dinyatakan oleh Philip Alston, the UN Special Rapporteur on extreme poverty and human rights “While privatisation’s proponents insist that it saves money, enhances efficiency, and improves services, the real world evidence very often challenges or contradicts these claims”. Setelah itu ditekankan bagaimana negosiasi perjanjian perdagangan internasional membahayakan kemampuan dan kemauan pemerintah dalam melindungi hak masyarakat untuk mengakses layanan dasar dan esensial.

Kemudian di hari berikutnya adalah forum intervensi dengan pemegang mandat PBB berupa diskusi kelompok secara terfokus. Adapun pemegang mandat PBB yang hadir adalah Member of the Committee on Economic; Social and Cultural Rights, Member of the Working Group on discrimination against women in law and in practice; International Expert on the effects of foreign debt and other related international financial obligations of States on the full enjoyment of all

human rights, particularly economic, social and cultural rights; dan International Expert on the promotion of a democratic and equitable international order. Pada kesempatan tersebut SP menyampaikan beberapa isu krusial seperti penandatanganan Nota Kesepahaman antara PBB dengan OECD yang berpotensi mengarah pada privatisasi PBB sebagai lembaga internasional, praktik dan kebijakan diskriminatif yang menguat di Indonesia, penggunaan sistem perlindungan
negara untuk lingkungan hidup dan pengadaan tanah dan pemukiman kembali yang didorong oleh ADB, dan rekomendasi Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan agar tidak memasukkan sektor pangan dalam negosiasi perdagangan internasional. Sebagian merespon baik dan memberikan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk ditindaklanjuti oleh SP.

Translate »