Liputan Temu Media “Keanggotaan Indonesia di WTO Memperburuk Kehidupan Perempuan Indonesia ”

Solidaritas Perempuan: “Keanggotaan Indonesia di WTO Memperburuk Kehidupan Perempuan Indonesia ”
Jakarta, Minggu 24 Novembermedia gathering 2013.
Dimulai esok hari, yaitu Senin 25 November 2013, akan dimulai kampanye sedunia 16 hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Namun, kekerasan yang dialami yang dialami perempuan semakin meningkat. Pada media briefing dengan tema “ Hentikan Kekerasan Negara Terhadap Perempuan; akhiri WTO“ , Solidaritas Perempuan (SP) berpandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada kekerasan fisik dan verbal oleh individu, tetapi juga oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber kehidupannya, termasuk keluarga dan lingkungannya.

Wahidah Rustam-Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, menyatakan bahwa pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, terjadi akibat intervensi dari WTO. “Sejak WTO berdiri dan Indonesia menjadi anggotanya, bukannya memperbaiki kehidupan perempuan dan warga negara Indonesia, WTO justru memperburuk kehidupan mereka,” ujar Wahidah. Indonesia sebagai anggota WTO, adalah bentuk nyata negara tidak memberikan perlindungan bagi perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Oleh karena itu, pada Kampanye sedunia 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan merespon pertemuan KTM 9, 3-6 Desember 2013 di Bali, SP menyuarakan bagaimana akibat dan dampak kebijakan WTO terhadap pemiskinan dan penindasan perempuan di Indonesia.

Oom, perempuan dari Karawang – Jawa Barat, memberikan kesaksian bahwa sejak hadirnya Pabrik Aqua, PT Danone, pada tahun 2007 di Kampung Cikelak, desa Cintalanggeng, Karawang, akses masyarakat terhadap air bersih menjadi terhambat. Untuk mendapatkannya, perempuan harus berjalan 1 KM ke sungai, atau membuat sumur galian seharga jutaan rupiah, atau membeli air dari galon. “Air galon yang dibeli itupun terkadang masih mengandung kotoran misalnya ulat” Ujar Oom.

Permasalahan lain adalah lahan pertanian yang sudah dialihfungsikan, dari tanaman singkong, kacang-kacangan, beralih menjadi pohon kayu yang diolah untuk bahan baku bangunan. Oleh karena itu, penghidupan warga yang sebelumnya bertani, tidak dapat dilanjutkan. “Sekarang kebanyakan jadi nganggur, atau bagi perempuan banyak yang memilih menjadi buruh migran,” ujar Oom. Lebih dari 90% buruh migran Indonesia adalah perempuan dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Persoalan air bersih juga dialami Ibu Ella, warga Rawa Badak Utara, Jakarta Utara. Dalam kesempatan yang sama dia bercerita bagaimana hilangnya akses air bersih di lingkungannya. “Airnya keruh, bau bahkan banyak jentiknya. Kita kalau mandi perlu disaring dulu airnya pakai saringan, dari jentik-jentik,” ujar Ella. “Kita sebagai perempuan yang merasakan dampaknya karena air itu kebutuhan dasar kita,” lanjutnya. Karenanya, Ella ingin swastanisasi air dikembalikan ke negara melalui PDAM. “Dulu itu tidak ada masalah waktu PDAM, sejak dialihkan ke PT.Aetra justru banyak masalahnya” tukasnya
“Persoalan yang dialami oleh Teh Oom dan Ibu Ella, terjadi akibat skema ekonomi politik global yang pada akhirnya berdampak pada lingkup kehidupan terkecil, yaitu keluarga.” Ujar Arieska. WTO dengan agenda liberalisasi dan privatisasinya telah memaksa, sektor-sektor publik, seperti air, kesehatan dan pendidikan, dikuasai oleh perusahaan.

Sementara, hal serupa juga terjadi di sektor perikanan. Pemerintah dengan tegas mulai membatasi subsidi ke pelaku perikanan skala kecil, “padahal pelaku perikanan skala kecil jumlahnya mencapai 90% dari pelaku usaha perikanan di Indonesia,” Ujar Ahmad Marthin Hadiwinata dari KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan).

Tanpa perlindungan, Negara memaksa petani, nelayan kecil, yang sebahagian besar adalah perempuan, harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara maju. Hilangnya akses dan kontrol terhadap lahan dan sumber kehidupannya, telah mendorong pilihan perempuan untuk menjadi buruh migran. Namun, melalui GATS WTO, keberadaan buruh migran perempuan, semakin terancam, dimana kebijakan tersebut mendorong liberalisasi jasa formal. “Padahal, mayoritas buruh migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja di sektor informal, GATS WTO akan memperburuk situasi buruh migran pekerja rumah tangga” tambah Wahidah Rustam. GATS ini juga akan memperkuat terjadinya trafficking, yang sebahagian besar terjadi pada perempuan.

Pada KTM-9 WTO di Bali, salah satu agenda yang akan dibahas Fasilitasi Perdagangan, atau Trade Fasilitation, yang merupakan bagian Bali Packange. Solidaritas Perempuan menilai perjanjian fasilitasi perdagangan akan memperkuat hilangnya akses dan kontrol perempuan terhadap air dan lahan. Wahidah menegaskan, “Saat akses dan kontrol tersebut hilang, perempuanlah yang paling dirugikan karena mereka memiliki peran sangat signifikan dalam pengelolaan sumber kehidupan.”
Pertemuan di Bali, menjadi ruang bagi Solidaritas Perempuan untuk menyuarakan kesaksian-kesaksian perempuan korban kebijakan WTO, karena faktanya dalam perundingan WTO memang tidak pernah membahas dan mempertimbangkan situasi dan persoalan perempuan, dalam proses pengambilan kebijakan WTO”.

Semua situasi jelas menunjukan bahwa keberadaan WTO justru tidak memberikan keuntungan kepada Indonesia. “WTO sudah tidak relevan, karenanya, sudah saatnya untuk diakhiri,” tegas Arie. “Ketika ada mekanisme atau aturan yang mengikat anggotanya tidak memberikan perlindungan kepada warganya, pada saat itulah Negara sudah melakukan tindakan inkonstitusional, dan melakukan kekerasan terhadap warga Negara khususnya perempuan,” lanjutnya.

Translate »