Warga berada di disekitar pesisir Selat Muna, di Desa Bajo Lagasa, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Jumat (7/4). Pemerintah berusaha menyejahterakan masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, melalui pembangunan yang bertumpu pada sektor maritim. ANTARA FOTO/Jojon/foc/17.

Masyarakat Pesisir Pertanyakan Poros Maritim Jokowi-JK

Jakarta 13 April 2017, GATRAnews, Perjalanan poros maritim pemerintahan Jokowi-JK dinilai belum memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat pesisir. Hal ini menjadi pembahasan utama dalam diskusi publik bertajuk “Poros Bahari, Melindungi dan Menjaga Kepulauan Refleksi UU No 7 Tahun 2016”. Diskusi yang dihadiri oleh pegiat kelautan dan masyarakat pesisir ini mengetengahkan masalah maritim yang hanya menjadi komoditas bisnis.

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, sepanjang tahun 2016 telah terjadi 16 kasus reklamasi, 17 kasus privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil, 18 kasus pertambangan di wilayah pesisir dan terusirnya 107,361 kepala keluarga nelayan dari ruang hidupnya akibat reklamasi.

Aktivis dari Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty menilai posisi perempuan nelayan masih rentan dan tidak memiliki pengakuan secara politik. “Dalam undang-undang nomer tujuh tahun 2016, posisi perempuan masih dilekatkan pada pasal 45 sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, akibatnya tidak adanya pengakuan dalam regulasi nasional dan tidak ada upaya afirmasi dalam kebijakan,” urai Arieska, Kamis (13/4) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Pun begitu, masyarakat pesisir mengapresiasi peraturan menteri KP No. 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl), dan pukat tarik (seine nets). Namun, aturan itu belum disertai solusi yang komprehensif.

Marthin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, pelarangan tersebut perlu dibarengi dengan solusi dari pemerintah. “Berbagai alat tangkap tidak ramah linkungan sudah dilarang, seperti arad, bondes, garuk, gernplo, dan cantrang. Namun pemerintah tidak mendata bahwa ada nelayan kecil yang menggunakan alat terlarang itu hingga mencapai 6.933 unit kapal. Mereka baru mendata untuk melakukan alih alat tangkap hanya mencapai 525 unit,” jelasnya.

Susan Herawati dari Kiara menegaskan, bahwa perlindungan masyarakat pesisir tidak hanya dibatasi pada asuransi kepada nelayan. “Perlindungan seharusnya menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama, bukan merampas hidup melalui reklamasi, privatisasi, dan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” terang Susan.

Reporter: Rizaldi Abror

Editor: Nur Hidayat

Sumber : GatraNews.com

Translate »