Menagih Janji Anggota Legislatif Terpilih dan Menuntut Calon Presiden untuk Perlindungan Buruh Migran Perempuan dan Keluarganya

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan Hari Buruh Sedunia
Untuk Disiarkan Segera

Setiap tahunnya, tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Jutaan buruh di Indonesia pun turut memperingatinya dengan berbagai cara, turun ke jalan menyuarakan kepentingan dan hak-hak mereka salah satu yang dilakukannya. Di antara jutaan buruh itu juga terdapat suara buruh migran dan pekerja rumah tangga, baik  bekerja di Indonesia maupun di luar negeri. Di tengah tuntuan kenaikan upah, dan penghapusan outsourcing, buruh migran dan pekerja rumah tangga menuntut pengakuan sebagai pekerja dan pemenuhan, perlindungan, serta penghormatan terhadap hak-hak buruh migran dan pekerja rumah tangga.

Berbagai kebijakan yang dihasilkan oleh DPR bersama pemerintah kian memperkuat pemiskinan masyarakat, terutama perempuan. Dalam situasi pemiskinan tersebut, banyak perempuan yang dihadapkan pada situasi yang memaksa mereka untuk ke luar negeri bekerja sebagai buruh migran. Buruh Migran, yang mayoritas adalah perempuan dan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga memiliki kontribusi yang sangat signifikan. Hasil studi Solidaritas Perempuan[i] menunjukan setiap tahunnya, Buruh Migran mengirimkan remitansi lebih dari 6 Milliar USD. Sementara sejak tahun 2006-2010, Remitansi yang dikirimkan oleh Buruh Migran Indonesia memberikan kontribusi sebanyak 0,98%-1,57% dari Gross Domestic Product (GDP).

Sementara, Badan Nasional Penempatan dan Perlindung Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) juga melansir data melalui berbagai media, bahwa dari enam juta Buruh Migran jumlah remitansi atau pengiriman uang ke keluarga masing-masing mencapai total Rp100 triliun/tahun. Angka tersebut setara dengan 10,2 Miliar USD, yang artinya terjadi peningkatan jumlah remitansi dari tahun ke tahun. Namun, Peningkatan remitansi tersebut tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak yang diberikan oleh Negara kepada Buruh Migran Indonesia, khususnya buruh migran perempuan dan anggota keluarganya.

Kekerasan dan Pelanggaran Hak BMP hampir terjadi pada setiap tahapan migrasi. Setiap tahunnya, Solidaritas Perempuan menangani puluhan kasus kekerasan dan pelanggaran hak Buruh Migran Perempuan dan keluarganya, dan sebahagian besar adalah BMP Pekerja Rumah Tangga. Sepanjang Januari hingga pertengahan November 2013, SP telah menangani 60 kasus. Mayoritas kasus yang ditangani adalah hilang kontak dan trafficking. Kasus-kasus lainnya adalah gaji tidak dibayar, penelantaran oleh PT, kasus asuransi, pembunuhan oleh majikan, hingga ancaman hukuman pancung. Selain persoalan tersebut, BMP juga rentan terhadap HIV/Aids.

Kekerasan dan Pelanggaran Hak BMP terjadi hampir disemua negara tujuan, termasuk negara ASEAN. Pemetaan Solidaritas Perempuan terhadap Buruh Migran yang bekerja di Negara ASEAN [ii], membuktikan bahwa BMP-PRT banyak mengalami trafficking. Bahkan, pada banyak kasus, proses keberangkatan dilakukan oleh Buruh migran, tidak melalui agen rekruitmen, melainkan melalui sponsor/calo. Perekrutan melalui calo/sponsor, mengakibatkan calon buruh migran tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan ketrampilan bekerja, termasuk informasi mengenai hak-haknya, situasi kerja di Negara ASEAN, hukum dan budaya di Negara ASEAN, dan informasi-informasi penting lainnya.

Kekerasan dan Pelanggaran Hak BMP membuktikan lemahnya kebijakan atas perlindungan hak buruh migran dan anggota keluarganya. Meski sudah meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Hak-hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990), namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Bahkan Indonesia masih menggunakan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang  memperlihatkan sistem migrasi Indonesia layaknya trafficking yang dilegalisasi oleh UU. Pasalnya, UU tersebut menyerahkan tanggung jawab dalam seluruh proses vital migrasi kepada pihak swasta, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas.

Janji pemerintah dan DPR untuk revisi UU No. 39 Tahun 2004 masih berupa janji tanpa arti. Situasi lambannya pembahasan RUU diperparah dengan draft RUU masih jauh dari perlindungan. Nuansa komoditifikasi masih kuat pada draft versi pemerintah maupun DPR. RUU tersebut masih memberikan ruang yang begitu besar bagi pihak swasta di dalam proses migrasi buruh migrant, termasuk peran-peran krusial, seperti perekrutan, pendidikan, dan pelatihan. Bahkan, di dalam draft RUU versi pemerintah, tidak dicantumkan Konvensi Migran 1990 sebagai acuan dari revisi.

Begitupun dengan kebijakan perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Proses RUU Perlindungan PRT yang sudah berjalan hampir 10 tahun, masih jauh dari selesai, bahkan komitmen Presiden SBY untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 189 (KILO 189) tentang Kerja Layak PRT juga hanya berupa janji tanpa bukti. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh melindungi hak Pekerja Rumah Tangga, termasuk BMP- PRT.

Situasi minimnya perlindungan dan lambannya proses pembentukan kebijakan menunjukan tidak ada komitmen DPR dan pemerintah dalam perlindungan Buruh Migran Perempuan dan keluarganya. Padahal, kebijakan merupakan tanggung jawab dan kewajiban DPR dan presiden untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak-hak warganya, termasuk Buruh Migran. Namun nyatanya, hingga saat ini, pemerintah masih mempertahankan kebijakan yang secara nyata menempatkan buruh migran sebagai komoditas ekonomi, tanpa mempedulikan perlindungan hak Buruh Migran. Cara pandang pemerintah terhadap buruh migran sebagai komoditas, telah menguatkan kekerasan dan pelanggaran Hak BMP dan keluarganya. Pemerintah hanya menjadikan Buruh Migran sebagai komoditas ekonomi yang dihitung sebagai deretan angka remitansi.

Tahun 2014, merupakan penentu terhadap nasib BMP dan keluarganya. Momentum Pemilihan Umum dapat menjadi langkah perubahan terhadap situasi BMP dan keluarganya. Sayangnya, Buruh Migran masih dijadikan sebagai komoditas politik bagi kandidat untuk pemenangan suara, tanpa adanya komitmen dan langkah-langkah nyata dari kandidat dalam memperjuangkan hak BMP dan keluarganya. Tidak banyak, bahkan hampir tidak ada program atau kebijakan dari kandidat yang memperjuangkan perlindungan hak BMP dan keluarganya.

Buruh Migran dan anggota keluarganya merupakan bagian dari warga Negara dan memiliki sejumlah hak sebagaimana yang diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Karena itu, SP melihat siapapun yang nantinya akan mengemban tanggung jawab sebagai anggota legislatif maupun presiden, dan wakil presiden harus memiliki komitmen terhadap kewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak-hak Buruh Migran dan anggota keluarganya. Kewajiban itu harus disertai dengan pradigma yang berpihak terhadap Buruh Migran dan dibuktikan dengan mewujudkan kebijakan-kebijakan komprehensif untuk perlindungan Buruh Migran.

Untuk itu, di dalam momen Hari Buruh Internasional 2014, yang juga bertepatan dengan momentum Pemilu 2014, Solidaritas Perempuan mengingatkan kembali komitmen kandidat terpilih dan menuntut pemerintah untuk perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak-hak Buruh Migran Perempuan dan anggota keluarganya yang komprehensif, melalui:

  1. Percepatan proses pembahasan dan pengesahan perubahan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) dengan mengacu kepada Konvensi MIgran 1990 dan The Convension on the Elimidation of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), serta memuat dan menjamin perlindungan hak-hak Buruh Migran dan keluarganya yang termuat di dalam Konvensi Migran dan KILO 189, termasuk hak atas informasi, kerja layak BMP-PRT, jaminan asuransi bagi BMP yang mengalami persoalan kesehatan termasuk  HIV/Aids serta mampu melindungi Buruh Migran dari trafficking dengan mengacu UU PTPPO dan perombakan sistem migasi dengan mengembalikan peran-peran vital seperti perekrutan, pendidikan, pelatihan, dan tes kesehatan kepada pemerintah.
  2. Mengimplementasikan Konvensi Migran 1990 dan CEDAW dalam seluruh tahapan migrasi untuk memastikan perlindungan hak buruh migran perempuan dan keluarganya.
  3. Mengembangkan program, kebijakan dan langkah-langkah nyata untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran perempuan dan keluarganya.
  4. Memperkuat posisi tawar pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara tujuan, untuk memastikan perlindungan hak-hak BMP di negara tujuan.
  5. Menyelesaikan berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Buruh Migran Perempuan dan keluarganya, terutama BMP yang terancam hukuman mati/pancung.

Jakarta, 6 Mei 2014

 

Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

CP: Nisaa Yura:081380709637


[i] Studi Solidaritas Perempuan bersma CARAM Asia mengenai “Hubungan antara Kontribusi Buruh Migran dalam Pembangunan dengan Alokasi Anggaran Pemerintah untuk Perlindungan Buruh Migran”
[ii] Pemetaan dilakukan oleh Solidaritas Perempuan melalui quisioner, wawancara, dan FGD bersama Buruh Migran yang pernah bekerja di negar-negara anggota ASEAN. Pemetaan ini diselenggarakan di enam wilayah, Karawang, Mataram, Sumbawa, Palu, Kendari, dan Makassar
Translate »