Pentingnya Segera Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)

Hingga sidang penutupan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2015 – 2019, Negara gagal mengesahkan RUU P-KS. Padahal RUU P-KS merupakan salah satu agenda perjuangan yang didorong oleh gerakan perempuan untuk pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual. Gerakan Masyarakat Sipil Sahkan RUU P-KS secara intens telah melakukan upaya advokasi dengan terus melakukan dialog dan mengkonsolidasikakn dukungan dari berbagai kalangan masyarakat.

Komisi VIII DPR menyebutkan setidaknya ada 3 hal yang menjadi perdebatan panitia kerja (Panja) RUU P-KS. Pertama, perdebatan mengenai judul. Penggunaan kata ‘kekerasan’ tidak merujuk pada sebuah perbuatan yang membutuhkan sanksi berat, serta inkonsisten dengan istikah di KUHP. Karena yang dikenal dalam KUHP adalah istilah kejahatan, bukan kekerasan. Kedua, perdebatan mengenai definisi yang dianggap mengganjal karena dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama dan budaya ketimuran. Dan ketiga, terkait pidana dan pemidanaan yang dianggap berpotensi bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Solidaritas Perempuan menilai bahwa argumentasi tersebut memperlihatkan salah kaprah tentang RUU P-KS. RUU P-KS merupakan hukum pidana khusus (lex specialist) yang dibuat untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur secara spesifik mengenai kekerasan seksual dalam KUHP. Meskipun telah ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) maupun ketentuan yang berkaitan dengan moral dan kesusilaan dalam KUHP tidak akan menimbulkan dualisme hukum karena dalam Pasal 151 RUU P-KS telah disebutkan bahwa segala peraturan yang mengatur tentang kekerasan seksual tapi tidak diatur dalam RUU P-KS dianggap tetap berlaku karena tidak dicabut. Adapun segala peraturan tentang kekerasan seksual yang diatur dalam UU lain, tapi diatur kembali dalam RUU P-KS menjadi tidak berlaku sebab adanya asas hukum lex posteriori derogat legi priori.

Anti-feminisme yang disuarakan oleh kelompok fundamentalisme telah menyamarkan urgensi aturan yang melindungi korban kekerasan seksual hingga tak terlihat dan tak terasa. Sementara  data kasus kekerasan seksual terus meningkat meskipun statistik tersebut tentu tidak menggambarkan jumlah keseluruhan, mengingat banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya. Padahal nilai-nilai Pancasila, agama maupun budaya ketimuran seharusnya justru melindungi perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual.  Sehingga RUU P-KS diharapkan menjadi peraturan perundang-undangan yang dapat menyelesaikan persoalan kekerasan seksual secara mendasar. Oleh karena itu, penyelesaian yang dimaksud dimulai dari persoalan yang paling fundamental. Kekerasan seksual merupakan persoalan cara pandang pelaku terkait seksualitas perempuan, maka dibutuhkan upaya mengubah cara pandang yang demikian untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Sehingga, dalam RUU ini juga dicantumkan rehabilitasi bagi pelaku.

Selain itu, relasi kuasa menjadi faktor penting terjadinya kekerasan seksual dalam RUU ini. Sebagai contoh, pelaku akan dikenakan 8 tahun penjara, sementara bila kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama atau pendidik hukuman akan menjadi 12 tahun pejara. Lalu bila kekerasan seksual dilakukan oleh orang tua maka hukuman akan menjadi lebih berat menjadi 15 tahun penjara. Sehingga jika pelaku adalah pihak yang seharusnya memberi perlindungan pada korban, namun menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan kekerasan seksual dengan paksaan, ancaman, bujuk rayu dll, maka ancaman hukumannya akan lebih berat.

RUU P-KS juga memperluas konteks kekerasan seksual, seperti pemerkosaan terhadap anak, disabilitas, kekerasan seksual di tempat kerja, di lingkup pendidikan dan juga dalam konteks budaya. Persoalan-persoalan tersebut banyak terjadi namun sulit bagi korban mendapatkan keadilan, karena selain konteks yang tidak diatur dalam KUHP juga karena kekerasan seksual masih mendapat stigma buruk dari masyarakat. Sehingga dengan luasnya konteks tersebut, korban kekerasan seksual akan semakin mudah untuk berjuang mendapatkan keadilan. Misalnya, perempuan korban pemerkosaan di Aceh, harus menerima hukuman kurungan penjara karena dianggap melakukan zina suka sama suka berdasarkan keterangan pelaku, sedang korban tidak bisa memberikan keterangan karena korban adalah penyandang disabilitas.[1] RUU ini diharapkan dapat menyasar kasus kekerasan seksual tersistematis yang dilakukan oleh korporasi/militer untuk membungkam suara dan gerakan-gerakan kritis, yang hingga saat ini tidak mendapat keadilan,[2] ataupun banyak kasus kekerasan seksual oleh guru/dosen/santri kepada muridnya yang tidak mendapatkan keadilan hukum karena dianggap suka sama suka, padahal korban berada di bawah tekanan, ancaman, manipulasi, dan lain sebagainya akibat relasi kuasa yang tidak setara antara.

Untuk itu penting memperjelas dan memperluas pengertian serta unsur kekerasasn seksual dari aturan yang sudah ada. Dalam RUU P-KS, kekerasan seksual didefinisikan sebagai “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual, seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan sesoang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesegsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”[3] Korban kekerasan seksual yang secara data bukan hanya karena paksaan secara fisik namun karena relasi kuasa yang timpang, manipulasi, bujuk rayu dan sebagainya akan lebih mudah mendapat keadilan dengan keluasan pengertian dan unsur kekerasan seksual yang diatur dalam RUU ini.

Selain itu, bentuk-bentuk kekerasan seksual pun dijelaskan lebih luas, pada pasal 11 RUU PKS memuat 9 jenis tindak kekerasan seksual, seperti : (1) pelecehan seksual, (2) eksploitasi seksual, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan aborsi, (5) perkosaan, (6) pemaksaan perkawinan, (7) pemaksaan pelacuran, (8) perbudakan seksual dan (9) penyiksaan seksual.[4] Cakupan kekerasan seksual dalam RUU ini tidak hanya di ranah domestik namun juga kekerasan seksual di ranah publik. Sehingga, RUU P-KS sangat mengakomodir perlindungan terhadap perempuan di dalam keluarga misalnya pemerkosaan terhadap istri, perempuan yang mengalami pernikahan paksa termasuk dengan pernikahan anak yang banyak terjadi di Sumbawa, Mataram, maupun berbagai daerah lainnya. RUU ini juga melindungi perempuan di institusi pendidikan dan korporasi. RUU P-KS lebih mengutamakan hak-hak korban, dalam pemenuhan pelayanan terhadap korban kekerasan seksual diletakkan sebagai kewajiban Negara. Hak-hak ini terintegrasi ke dalam proses Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan korban yang multidisiplin, terkordinasi dan berkelanjutan. Pemenuhan hak tersebut dilakukan dalam setiap tahapan peradilan pidana.

Argumentasi penolakan lainnya adalah tafsir yang salah tentang aborsi. Pasal yang terkait dengan ketentuan aborsi ini dijadikan alasan kelompok yang menolak dengan menyebarkan informasi bahwa RUU P-KS mendukung perbuatan zina bahkan melegalkan aborsi. Padahal yang diatur dalam RUU P-KS adalah pemaksaan aborsi, karena paksaan adalah salah satu unsur kekerasan seksual, sedangkan aborsi tanpa paksaan telah diatur dalam UU yang lainya dan salah satunya aborsi yang dapat dilakukan bagi perempuan korban perkosaan.[5] Selain itu, RUU PKS juga memuat tentang bagaimana perempuan dapat memilih dan memutuskan dalam penggunaan alat kontrasepsi yang akan digunakan.

Kesimpulannya, banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak mendapatkan keadilan, baik karena cakupan hukum yang tidak komprehensif, termasuk definisi dari kekerasan seksual itu sendiri, maupun persoalan relasi kuasa dan cara pandang, menjadikan pentingnya kebijakan nasional untuk Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU P-KS bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan menjamin berjalannya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, hingga tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Artinya RUU P-KS mengatur sektor dan ruang lingkup yang lebih luas dari sebelumnya. Selain itu RUU P-KS diharapkan dapat memunculkan terobosan dalam sistem peradilan pidana terkait Kekerasan Seksual yang di dalamnya juga merumuskan alat bukti selain yang diatur dalam hukum acara pidana umum. Dengan adanya aturan yang lebih komprehensif bukan hanya aspek sanksi bagi pelaku namun keluasan cakupan, upaya pencegahan, rehabilitasi dan pemulihan korban, sehingga memberikan akses keadilan bagi korban.

[1] Data investigasi SP Boengoeng Jeumpa Aceh tahun 2017.
[2] Kasus penyiksaan seksual kepada Marsinah dan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di wilayah konflik Aceh.
[3] RUU P-KS BAB I, pasal 1 tentang Pengertian umum.
[4] RUU P-KS, BAB V pasal 11 ayat 2 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
[5] dalam UU no.36 Tahun 2009 pasal 75 ayat 1 tentang kesehatan

Translate »