Advokasi dan Kampanye

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan Kendari Menolak Poligami ”Wacana Perda Konawe tentang Poligami Mencederai Rasa Keadilan Perempuan”

Tahun 2017, perempuan masih diperhadapkan dengan ancaman poligami. Tak terkecuali di Kabupaten Konawe, bukannya membuat kebijakan yang melindungi perempuan, DPRD Konawe  justru mewacanakan Rancangan Peraturan Daerah tentang Poligami.

Poligami bukanlah menjadi isu yang baru muncul di Indonesia, dimana sejarah telah mencatat perjuangan dan kegigihan Kaum Perempuan dalam menolak Poligami sejak Tahun 1952 hingga 1978. Penolakan terhadap poligami telah dilakukan sejak Kongres Perempuan Indonesia ke I (tahun 1928), namun hingga hampir sembilan abad, kita masih tetap diperhadapkan dengan isu “ Poligami” yang  dilegitimasi melalui UU Perkawinan Tahun 1974, dimana UU tersebut telah menjustifikasi “Poligami” dengan alasan tertentu dan atas izin Pengadilan dan terkhusus bagi PNS dengan izin Pejabat (PP No.10/1983 dan PP 45/1990).  Padahal, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan sejak 1984 melalui UU No 7 Tahun 1984.

Berdasarkan fakta yang terjadi terhadap kasus-kasus kekerasan yang banyak terjadi di Konawe mayoritas adalah persoalan kekerasan dalam Rumah Tangga akibat dari poligami itu sendiri yang telah memicu Kekerasan Fisik,psikis dan ekonomi baik terhadap perempuan maupun anak-anak hingga pada akhirnya meningkatkan angka gugat cerai oleh isteri. Poligami juga terjadi pada perempuan Buruh migran yang bekerja diluar Negeri dimana gaji yang mereka  kirim untuk biaya hidup keluarga dan anak-anak justeru oleh suami dijadikan mahar untuk menikah lagi dan hal ini telah melanggar hak kemanusiaan dan mencederai rasa keadilan meskipun telah ada UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga tetapi pada kenyataan implementasinya tidak cukup melindungi (Hasil investigasi aktivis perempuan Pendamping  Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan anak di P2TP2A Konawe).

Solidaritas Perempuan Kendari mendata bahwa Kab. Konawe adalah wilayah terbanyak perempuan buruh migran yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan. Ada 218 perempuan bermigrasi ke luar negeri, 80 % dari mereka mengalami kekerasan dan ketidakadilan karena sistem yang tidak melindungi. Selain itu, pemberdayaan ekonomi perempuan buruh migran dan perempuan secara umum belum menjadi prioritas utama pemerintah dan legislatif Kab. Konawe. Melihat situasi demikian, Legislatif Kab. Konawe seharusnya lebih memperhatikan dan memastikan implementasi perlindungan Perempuan Buruh Migran dan menggodok kebijakan yang melindungi perempuan dan pemberdayaan ekonomi  perempuan. Karena perempuan dengan peran gender tradisionalnya memiliki naluri memperhatikan dan merawat keluarga dan komunitasnya untuk keberlanjutan hidupnya.

Oleh karena itu Secara tegas SP Kendari memberikan pandangan bahwa wacana tentang perda yang memperbolehkan poligami terutama dinyatakan oleh Pejabat negara dalam hal ini DPRD , menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam memahami situasi nyata yang dialami perempuan. Hal ini justeru akan melanggar kewajiban pemerintah sendiri untuk melindungi,menghormati dan memenuhi hak warga negaranya termasuk perempuan,baik melalui kebijakan, maupun langkah-langkah nyata untuk mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Solidaritas Perempuan Kendari menyikapi wacana DPRD Konawe yang telah berhembus sejak 1 tahun yang lalu untuk membuat rancangan peraturan Daerah poligami sebagai bentuk Perlindungan hukum terhadap laki-laki untuk memiliki lebih dari satu isteri. Alasan yang dikemukakan terkait lebih tingginya jumlah perempuan daripada laki-laki, merupakan alasan yang tidak masuk akal . Faktanya hasil penelusuran Kendari Pos/Jawa Pos Group terhadap BPS konawe justeru menunjukkan kenyataan yang berbeda dimana dalam 5 tahun terakhir populasi penduduk di Kabupaten Konawe masih didominasi laki-laki, tidak hanya itu alasan tingginya angka pernikahan dini, dan luasnya wilayah Konawe yang tidak sebanding dengan Jumlah penduduk dimana hal ini yang mendasari salah satu anggota DPRD Konawe untuk mewacanakan Perda tersebut.

Selanjutnya….

 

“Desak Pemerintah untuk Meninjau Ulang Qanun Jinayat, Pasca 3 Tahun Pengesahan”

  1. A. Latar Belakang.

Otonomi daerah merupakan salah satu upaya dari negara untuk merealisasikan pembangunan yang merata serta, sebagai bentuk jaminan terhadap perlindungan nilai-nilai pluralisme yang ada pada masing- masing daerah. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya. Dalam perjalananya terdapat beberapa daerah yang mendapatkan kewenangan dan otoritas khusus dalam bentuk otonomi khusus, salah satunya adalah Aceh.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengatur kewenangan istimewa Pemerintah Aceh dalam mengurus daerahnya. Salah satu kewenangan yang dimiliki adalah penerapan nilai-nilai syari’at Islam kepada masyarakat setempat yang diatur berdasarkan Qanun. Khusus jinayat atau hukum pidana, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh telah menerbitkan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat).

Meskipun Pemerintah Aceh memiliki hak dalam mengatur daerahnya secara otonom berdasarkan UU Pemerintahan Aceh, namun patut diingat bahwa kebijakan yang dihasilkan tidak dapat bertentangan dengan Konstitusi dan kebijakan nasional lainnya. Pasal 1 angka 8 UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyatakan Qanun Provinsi NAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi NAD. Hal itu diperkuat dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) a UU No. 11 tahun 2012, yang mengatakan bahwa, termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di Aceh.

Berdasarkan ketentuan di atas, fungsi Qanun Jinayat adalah untuk melaksanakan kebijakan nasional. Namun, pada kenyataannya pengaturan yang termuat di dalam Qanun Jinayat justru bertentangan dengan Konstitusi dan sejumlah Undang-undang, baik secara substansi maupun dalam proses pembentukannya. Tak hanya itu, pengaturan di dalamnya justru berpotensi pada menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Apalagi, dari tahun ke tahun angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh terus meningkat.

Penting pula untuk mengingat UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan tindak lanjut/mandat dari MoU Helsinki dan dalam MoU ini disebutkan

“Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi”.

Selanjutnya….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Translate »