Advokasi dan Kampanye

Solidaritas Perempuan Mewakili CSO Indonesia Dalam ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML) Ke 10

Filipina, 25-26 Oktober 2017, Solidaritas Perempuan berpartisipasi sebagai wakil CSO dari Indonesia dalam AFML ke-10 yang diselenggarakan oleh ILO bekerjasama dengan Pemerintah Filipina yang tahun ini berperan sebagai Ketua ASEAN. Pelaksanaan AFML ini sebagai implementasi Deklarasi ASEAN mengenai Perlindungan dan Promosi Hak-hak Pekerja Migran, Program Kerja Menteri Tenaga Kerja ASEAN 2016-2020, dan Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASCC) 2025. Forum ini merupakan platform untuk diskusi yang lebih insklusif dan komprehensif mengenai isu-isu buruh migran di bawah naungan Komite ASEAN mengenai Implementasi Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Pekerja Migran (ACMW).

AFML ke-10 ini mengusung tema “Towards Achieving Decent Work for Domestic Workers in ASEAN” atau Menuju Pencapaian Kerja Layak Bagi Pekerja Domestik di ASEAN, melibatkan perwakilan pemerintah, organisasi pengusaha, organisasi pekerja, organisasi masyarakat sipil dari Negara-negara Anggota ASEAN, Sekretariat ASEAN, International Labour Organization (ILO), International Organization for Migration (IOM), UN Women, ASEAN Confederation of Employers (ACE), ASEAN Trade Union Council (ATUC), ASEAN Services Employees Trade Union Council (ASETUC), Task Force for ASEAN Migrant Workers (TFAMW), Mekong Migration Network, North South Initiative dan Migrant Forum in Asia. Selain itu juga terdapat perwakilan dari DFAT-Australia dan Global Affairs Canada hadir sebagai pengamat.

Selanjutnya..

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan “Menuntut Keadilan untuk Erwiana dan seluruh Buruh Migran Perempuan Indonesia”
Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan Untuk Disiarkan Segera Menuntut Keadilan untuk Erwiana dan seluruh Buruh Migran Perempuan Indonesia Hongkong, “Kota dengan Peradaban Perbudakan Modern” Menjadi Tidak “Aman bagi Buruh Migran Perempuan ” Tanggal 12 Januari, ..<<Seterusnya>>

May Day 2017: Perempuan Buruh Melawan Pemiskinan dan Penindasan

Jakarta 1 Mei 2017  Solidaritas Perempuan kembali melakukan aksi turun ke jalan melakukan Long march  dari Sarinah menuju istanan Negara  bergabung bersama  Komite Aksi Perempuan. Aksi ini dilakukan dala rangka  Hari buruh internasional yang kembali harus diperingati dalam situasi penuh keperihatinan terhadap nasib  yang dialami oleh perempuan buruh yang terus mengalami penindasan dan pemiskinan sistematis.

Karenanya, pada peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini Solidaritas Perempuan kembali menyuarakan pentingnya pemerintah untuk serius melindung perempuan buruh di berbagai sektor, termasuk di dalamnya perempuan buruh migran, pekerja rumah tangga, buruh perkebunan kelapa sawit, buruh tani, serta buruh perikanan.

Aksi diikuti oleh sekitar 200 orang dari berbagai elemen yang tergabung didalam Komite Aksi Perempuan Indonesia dengan membawa berbagai macam poster  yang berisikan tuntututan dan keresahan terhadap situasi yang dialami Perempuan buruh di Indonesia. Pada aksi ini,   Solidaritas Perempuan menyuarakan situasi yang dialami perempuan. Ekspansi perkebunanan kelapa sawit, orientasi pertanian agribisnis, pembangunan infratruktur, serta privatisasi pesisir telah mengakibatkan hilangngnya akses perempuan petani dan perempuan pesisir atas tanah dan sumber kehidupannya, sehingga terpaksa menjadi buruh. Hal ini disampaikan lewat poster-poster yang bertuliskan Segera keluarkannya kebijakan yang melindungi perempuan buruh tani, buruh perkebunan dan buruh perikanan. SP juga  menyuarakan juga bagaimana situasi yang dialami oleh perempuan  buruh  akibat  Keterlibatan aktif pemerintah dalam agenda globalisasi yang dikendalikan perusahaan dan pemilik modal dalam poster yang dipegang peserta aksi dengan tertulis pesan  Akibat perdagangan bebas Negara berlomba-lomba terjun bebas dalam perlindungan buruh #NoRCEP.

Selanjutnya….

MAY DAY : Aksi Damai GERAK BURUH di Makassar

1 Mei setiap tahunnya di peringati sebagai Hari Buruh Internasional atau biasa di sebut “May Day”. May Day adalah sejarah panjang perjuangan kelas pekerja dunia pada abad 19 seiring dengan perkembangan kapitalisme industri di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Untuk menyambut momentum May Day berbagai kalangan Masyarakat baik Perempuan maupun Laki-laki turun ke jalan untuk memperingati hari tersebut. Tak terkecuali di Makassar, Pada Tanggal 1 Mei 2017 di bawah Jembatan Layang Fly Over, Ratusan massa tumpah ruah di satu titik untuk memperingati moment bersejarah bagi seluruh Buruh di Dunia khususnya di Indonesia. Ratusan massa yang tergabung di dalam “Gerakan Rakyat untuk Buruh” yang di dalamnya terdapat beberapa organisasi, di Antaranya : GSBN, SP Anging Mammiri, FNPBI, FPBN, BEM Fis UNM, Pembebasan, LBH Makassar, SJPM, FMD-SGMK, Srikandi, FMK, SMI, PMII Rayon Hukum UMI, PMII Rayon Fai UMI, HMJ Antropologi UNM, Himakot, Komunal, KPO-PRP, SGBN, Sehati, FBTPI, Forwa Makassar, dan HMJ PPKN UNM melakukan aksi damai dengan mengangkat Tema “ Buruh, Rakyat bersatu lawan ekonomi Kapitalisme dan Rebut Demokrasi Sejati. Dalam aksi ini, beberapa tuntutan yang di sampaikan oleh Grakan Rakyat untuk Buruh, salah satu di antaranya adalah mendesak Pemerintah untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang di alami oleh Perempuan Buruh Migran dan memberikan Cuti melahirkan serta upah yang layak. Selain itu, Gerak Buruh juga menyoroti surat edaran yang di keluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja kepada seluruh Gubernur se Indonesia, di mana salah satu poin yang tertuang dalam surat tersebut adalah larangan melakukan unjuk rasa pada momentum May Day. Hal ini sangat jelas bahwa Pemerintah telah melanggar konstitusi dengan mengeluarkan surat untuk membungkam Hak berpendapat bagi Masyarakat khususnya bagi para Buruh. Dalam kesempatan ini, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Anging Mammiri dalam orasinya mengatakan bahwa, “ saat ini Negara sibuk membuat kebijakan yang mengebiri Hak Perempuan untuk bekerja hal ini dapat di lihat di Kepmenaker No.260 tahun 2015 tentang penghentian dan pelarangan penempatan TKI pada pengguna perseorangan di Negara-Negara kawasan Timur Tengah.  Sementara itu,  kebijakan perlindungan untuk Pekerja Buruh Migran sampai hari ini belum di sahkan. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak menjadikan Perlindungan bagi Pekerja terutama Perempuan sebagai prioritas, baik yang bekerja sebagai buruh perkebunan maupun yang bekerja sebagai PRT”. Ungkap Nur Asiah.

Selanjutnya….

Pembahasan RUU PPMI masih menunggu kesepakatan dari Pemerintah

Selasa, 25 April 2017, Jaringan Buruh Migran menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR-RI. Dalam RDPU tersebut, Dede Yusuf selaku Pimpinan Panja RUU 39/2004 sekaligus Ketua Komisi IX DPR RI memberikan update perkembangan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) antara Pemerintah dan DPR pada tanggal 16 – 18 April 2017 di Wisma DPR Kopo, Jawa Barat. Dari informasi yang disampaikan bahwa Pemerintah dan DPR telah menyepakati 7 isu krusial yakni :

  1. Pembiayaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) melalui lembaga keuangan yang menyalurkan KUR yang telah diverifikasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan tidak perlu ada jaminan agunan bagi calon PMI dan tidak terkena aturan Bank Indonesia
  2. Asuransi PMI dijamin oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui BPJS Ketenagakerjaan. Pada prinsipnya, BPJS boleh mengembangkan program perlindungan jaminan sosial bagi PMI
  3. Penguatan Atase Tenaga Kerja (Atnaker) dengan memiliki kantor sendiri yang terpisah dari KBRI/KJRI. Atnaker akan memiliki fungsi antara lain melakukan pendataan terkait kedatangan, kepulangan, kelahiran, dan kematian. Selain itu juga melakukan verifikasi dan legalisasi job order, hingga melakukan kunjungan sampai ke penjara-penjara.
  4. Fungsi dan kewenangan Badan Pelaksana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (sekarang BNP2TKI) akan dibentuk melalui UU yang mencakup penempatan PMI yang sudah memenuhi persyaratan dan kompetensi kerja, menentukan penyelenggaran SJSN, melakukan penempatan dan perlindungan bersama-sama dengan KJRI dan Atnaker. Pengangkatan kepala badan akan ditunjuk melalui Peraturan Presiden.
  5. Fungsi dan kedudukan Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI) hanya di pemerintah pusat dan hanya sebagai marketing dan perlindungan.
  6. Peran dan fungsi pemerintah : Kementerian Tenaga Kerja pada pra dan purna penempatan mencakup antara lain menyelenggarakan pendidikan serta persyaratan administrative yang bentuknya berupa pelatihan vokasi dan sumber pendanaan akan diambil dari APBN pendidikan. Untuk peran pemerintah daerah pada pra penempatan mencakup penyediaan informasi job order sampai tingkat desa, melaksanakan pendidikan dan pelatihan baik oleh swasta dan pemerintah, memfasilitasi keberangkatan yang sudah siap bekerja. Sementara pada tahap untuk purna, pemerintah daerah berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan untuk PMI dan keluarganya.
  7. Dewan Pengawas yang diusulkan DPR, dihapuskan oleh DPR dan Pemerintah karena akan masuk dalam struktur BP3MI.

Adapun, isu yang masih belum menemui kesepakatan adalah tentang pertanggungjawaban kelembagaan, dimana pemerintah menghendaki BP3MI bertanggungjawab kepada Presiden melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Sementara DPR mengusulkan BP3MI  bertanggungjawab langsung kepada Presiden tanpa melalui Kementerian Ketenagakerjaan.

Selanjutnya….

 

Menjelang ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML) ke 10: Menuju Pencapaian Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga di ASEAN

Oleh: Amalia Sarah        

Jakarta, 04 Oktober 2017, Solidaritas Perempuan (SP)  merupakan delegasi CSO dari Indonesia yang akan hadir di AFML 10, telah melakukan berbagai kegiatan advokasi selama hampir 27 tahun guna mewujudkan perlindungan hak-hak para pekerja migran domestik yang sampai sekarang masih diabaikan. Forum ASEAN satu-satunya yang melibatkan masyarakat sipil dan serikat pekerja ini  akan diadakan di Filiphina pada 23-27 Oktober 2017 dan memiliki 2 sub-tema yaitu: 1) standar Internasional dan nasional untuk perlindungan pekerja rumah tangga migran; dan 2) implementasi kebijakan dan layanan pendukung.

Menjelang pertemuan tersebut, perwakilan pemerintah yang terdiri dari Kemenlu, KPPPA, BNP2TKI dan Kemenaker, APINDO, Serikat Pekerja serta CSO  yang peduli pada isu pekerja migran, hadir di dalam National Tripartite Preparation Meeting   the 10th AFML yang diselenggarakan di Jakarta.  Forum yang diadakan Kementerian Ketenagakerjaan yang difasilitasi oleh ILO ini merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menyatukan pandangan stakeholders guna mewujudkan perlindungan dan promosi hak-hak pekerja migran domestik asal Indonesia secara maksimal khususnya bagi mereka yang bekerja dikawasan ASEAN. Pertemuan ini juga membantu  melaporkan rekomendasi AFML ke-9 serta memandu menuangkan masukan yang akan diberikan delegasi Indonesia di forum tersebut.

Selanjutnya….

 

HRWG dan Solidaritas Perempuan: RUU PPMI Harus Berdasarkan Standar Konvensi Pekerja Migran 1990

[Jakarta, 24 Oktober 2017] Human Rights Working Group (HRWG) dan Solidaritas Perempuan (SP) sebagai anggota Jaringan Buruh Migran (JBM), memberikan apresiasi atas upaya DPR RI dan Pemerintah yang melibatkan masyarakat sipil dalam merevisi UU 39/2004 yang rencananya akan disahkan menjadi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) pada 25 Oktober besok. Namun, penting bagi kami untuk menyampaikan bahwa secara substansi, UU PPMI tidak banyak berubah dibandingkan dengan UU 39/2004.

Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah adanya konsideran Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.6/2012. Sebagai negara peratifikasi Konvensi, Indonesia wajib mengharmonisasi dan mengimplementasikan artikel-artikel dalam Konvensi Pekerja Migran 1990.

Dimasukkannya Konvensi Migran 1990 dalam konsideran UU PPMI, seharusnya menjadi komitmen pemerintah untuk mensinkronisasikan dan mewujudkan perlindungan pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya yang komprehensif berdasarkan Konvensi Migran 90. Namun, jika disandingkan dengan Konvensi Pekerja Migran 1990, aturan substantif yang tertera dalam undang-undang ini masih sangat jauh dari standar konvensi. Jangan sampai, Konvensi Migran 90 hanya menjadi konsideran hukum, tanpa secara konsisten termuat di dalam pengaturan UU PPMI.

Selanjutnya…

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Translate »