Rebut Kedaulatan, Perempuan Mendesak Gagalkan Omnibus Law

SIARAN PERS SOLIDARITAS PEREMPUAN

Jakarta, 16 Juli 2020. Solidaritas Perempuan menilai Pemerintah dan DPR RI tidak menjalankan mandatnya untuk mengeluarkan regulasi yang melindungi seluruh rakyat Indonesia, khususnya perempuan. Hal ini terbukti dengan tergesa-gesanya pembahasan produk legislasi pro-penguasa dan pengusaha serta mengesampingkan legislasi yang dibutuhkan rakyatnya sendiri seperti RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bahkan situasi pandemi COVID-19 justru dimanfaatkan oleh Pemerintah dan DPR RI untuk secepatnya menyelesaikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Solidaritas Perempuan mencatat setidaknya 5 ancaman Omnibus Law RUU Cipta Kerja terhadap perempuan, yaitu:

Pertama, RUU Cipta Kerja adalah langkah mundur atas komitmen pemerintah untuk memastikan analisis gender dalam perlindungan lingkungan melalui AMDAL dan KLHS. Selama ini, adanya AMDAL dan KLHS saja perempuan tidak diperhitungkan. Komitmen yang telah dibuat oleh Pemerintah melalui Peraturan Menteri No. P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 yang menyebutkan perempuan sebagai salah satu kelompok kepentingan yang harus dilibatkan dalam konsultasi AMDAL dan KLHS dianulir sendiri oleh Pemerintah.

Kedua, RUU Cipta Kerja menjamin kemudahan investasi, termasuk dalam kepemilikan dan penguasaan tanah oleh korporasi. Sehingga akan menggusur rakyat.Bagi perempuan, situasinya akan lebih sulit karena akan memperlebar dan memperdalam ketimpangan yang sudah dialami oleh perempuan. Solidaritas Perempuan mencatat pada tahun 2019, hanya 24,2% bukti kepemilikan tanah yang atas nama perempuan. Budaya patriarki menjadi hambatan signifikan bagi perempuan untuk memiliki akses dan kontrol atas tanah. Saat terjadi konflik agraria, perempuan juga mengalami intimidasi dan kekerasan yang berlapis. Seperti perempuan adat Pubabu yang akan dikriminalisasi karena melakukan aksi buka baju saat berhadapan dengan aparat keamanan.

Ketiga, RUU Cipta Kerja mengancam kedaulatan pangan dan akan membuat perempuan petani semakin terpukul. Salah satunya karena ketentuan yang menyamakan kedudukan produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional dengan impor pangan sebagai sumber penyediaan pangan. Pasar domestik akan dibanjiri dengan pangan impor, sementara subsidi untuk petani dan nelayan terus dicabut. Terlebih sebagian besar perempuan produsen pangan merupakan produsen subsisten.

Keempat, RUU Cipta Kerja memperburuk perlindungan hak perempuan buruh. Tidak dikenal cuti karena haid atau keguguran karena hanya menyebutkan cuti tahunan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Kelima, Masifnya perampasan lahan, sulitnya lapangan pekerjaan, maupun hak-hak buruh yang semakin dipangkas juga dapat mendorong migrasi tenaga kerja, di mana perempuan banyak bermigrasi untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Berdasarkan pengalaman Penanganan Kasus Solidaritas Perempuan, perempuan buruh migran terus mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang berlapis karena minimnya perlindungan negara.

“Untuk itu, Solidaritas Perempuan, bersama dengan gerakan rakyat bersatu menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ini karena RUU Cipta Kerja merupakan bencana bagi perempuan karena akan semakin menghilangkan kedaulatan perempuan dalam  mengelola sumber kehidupannya”. tegas Dinda Nuur Annissaa Yura Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Ancaman Omnibus Law RUU Cipta Kerja dirasakan oleh perempuan di akar rumput. Sebagiannya turut menyuarakan penolakannya. “DPR mohon jangan mengesahkan RUU Cipta Kerja, bapak ibu ada di sana karena kami pilih, jadi tolong memperhatikan kami, melindungi kami sebagai petani. Kami petani sekarang saja sudah menderita karena tidak ada tanah untuk bertani, karena tanah sudah dipakai untuk investasi, kalau RUU ini jadi disahkan kami perempuan akan semakin susah” Ibu Daryuti perempuan petani dari Sidodadi – Lampung, juga ikut bersuara.

Perjuangan para perempuan ini akan terus dilakukan dan juga terkonsolidasi dengan perjuangan masyarakat. Gerakanan  rakyat ini tidak akan  terhenti sampai  RUU Cipta Kerja dihentikan pembahasannya. “Selain melakukan aksi di Jakarta, beberapa komunitas Solidaritas Perempuan juga melakukan aksi hari ini yaitu SP Sumbawa, SP Lampung, SP Palu dan SP Anging Mammiri Makassar untuk terus mendesak pemerintah dan DPR mengentikan pembahasan RUU Cipta Kerja” tegas Dinda.

Kertas Posisi Solidaritas Perempuan terhadap Omnibus Law

Narahubung: +62821 1090 5228

Translate »