Siaran Pers “ Perempuan Menuntut: Kembalikan Lahan Warga Ogan Ilir Yang Dirampas PTPN VII Cinta Manis”

36 tahun mengalami konflik dengan PTPN VII Cinta Manis, perempuan Ogan Ilir ke Jakarta menuntut penyelesaian konflik dan pengembalian tanah masyarakat.

PTPN VII Cinta Manis merampas tanah warga sejak tahun 1982, lahan yang dikelola luasnya kurang lebih lebih  20.000 Ha yang berada di 22 desa di kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Tahun 1995 dikeluarkan HGU untuk PTPN VII Cinta Manis untuk tanah seluas 6.500 Ha, belum selesai permasalahan yang dihadapi warga akibat konflik agraria yang ditimbulkan oleh PTPN VII, Kementerian Agraria dan Tata Ruang menambah persoalan dengan kembali menerbitkan  HGU yang kedua seluas 8.8666,75 Ha di tahun 2016. Konflik antara masyarakat petani dengan PTPN VII Cinta Manis merupakan konflik agraria yang telah berkepanjangan dan berlarut, sejak tahun 1982 hingga kini tanpa ada kejelasan solusi yang berkeadilan bagi masyarakat. Mayoritas masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah konflik dengan PTPN VII Cinta Manis merupakan masyarakat asli yang telah turun temurun menguasai dan mengelola tanah di wilayah tersebut, sebelum terjadinya penggusuran oleh PTPN VII Cinta Manis. Dulunya Masyarakat sebagian besar berprofesi sebagai petani, padi, palawija, karet dan nanas. Rata-rata desa di konsesi Cinta Manis sudah ada sejak tahun 1801 pada masa pemerintahan marga. Mayoritas penduduk desa di sekitar konsesi adalah Suku Penesak, dengan bukti kepemilikan tanah berupa surat pancung alas yang diterbitkan oleh pasirah (kepala adat) dan surat pernyataan penguasaan tanah oleh Kerio/Kepala Desa. Namun, alas hak tersebut tidak pernah di akui oleh Negara sebagai salah satu bukti kepemilikan hak atas tanah.

Penanganan konflik selama ini dilakukan dengan pendekatan intimidasi, kekerasan, bahkan kriminalisasi warga, serta hanya terpaku pada dokumen-dokumen administratiif tanpa melihat fakta nyata yang dialami masyarakat serta tidak mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat maupun kerentanan masyarakat dalam hal hukum dan administrasi pertanahan. Penyelesaian konflik juga tidak pernah mempertimbangkan berbagai trauma akibat pelanggaran HAM, kekerasan dan kriminalisasi yang dialami masyarakat, laki-laki dan perempuan, serta tidak pernah disertai dengan pemulihan korban, baik secara psikis, sosial, maupun ekonomi. Sejak 1982 hingga sekarang konflik Cinta Manis dengan warga 22 Desa, 7 Kecamatan membuat 65 orang pernah di kriminalisasi, 18 orang ditembak (luka), 2 orang cacat fisik, 1 orang alami gangguan jiwa dan 2 orang meninggal dunia (Data Walhi Sumsel). Salah satunya di tahun 2012, serbuan dan penembakan Brimob mengakibatkan seorang anak berusia 12 tahun, Angga bin Darmawan meninggal dunia karena tertembak oleh aparat, 5 orang luka-luka (salah satunya perempuan), seorang mengalami cacat permanen, dan puluhan perempuan dan anak mengalami trauma.

Penguasaan lahan besar-besaran oleh PTPN VII Cinta Manis telah mengakibatkan masyarakat, kehilangan sumber-sumber kehidupannya. Hal ini salah satunya diakibatkan oleh mengecilnya wilayah administrasi desa dan mayoritas masyarakat petani tidak lagi memiliki lahan produktif untuk dikelola sehingga terpaksa beralih profesi, menjadi  buruh, petani penggarap di lahan orang ataupun menjadi buruh harian lepas di PTPN VII Cinta Manis tanpa upah yang layak, sehingga menguatkan ketimpangan dan memiskinkan masyarakat, utamanya perempuan. Status PTPN VII Cinta Manis sebagai BUMN seharusnya tidak menjadi pembenaran bagi pelanggaran hak ataupun tindakan sewenang-wenang demi mencapai  keuntungan. Seharusnya sebagai perusahaan negara, BUMN lebih bisa melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perempuan dan laki-laki, yang tinggal dan hidup di sekitar perusahaan.

Hadirnya PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir yang diproyeksikan memberikan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, nyatanya malah membuat masyarakat terutama perempuan makin termiskinkan, karena hilangnya sumber kehidupan mereka. “Hadirnya PTPN VII Cinta Manis  membuat hidup ini makin miskin, dulu sebelum ada PTPN VII Cinta Manis, hidup kami ini sejahtera karena bisa memenuhi kebutuhan sehari – hari dari hasil bekebun,  dan bisa mengambil ikan di sungai tapi sekarang ini susah hidup ini karena semua harus beli,   sungai yang dulu bisa kami pakai untuk diminum,  mandi, mencuci dan mengambil ikan, sekarang sudah tidak bisa kami gunakan lagi karena berubah warna dan bau, ini sangat berdampak bagi kehidupan perempuan”, ucap perempuan petani asal desa Tanjung Atap.

Upaya perjuangan perempuan petani, telah ditempuh dalam beberapa perjuangan dengan berbagai cara pada berbagai ranah dan tingkatan, mulai dari lokal, daerah, hingga nasional, untuk mendapatkan tanah mereka kembali. “Demi mendapatkan tanah kembali, saya sampai ikut aksi jalan kaki selama 27 hari, karena saya memikirkan anak cucu ke depan, bila, tanah terus dikelola PTPN, dan masyarakat dibiarkan menderita seperti ini” ujar perempuan petani asal desa Tanjung Pinang. Pejuangan para perempuan petani ini tidak berhenti di Sumatra Selatan saja, tapi mereka kembali mendatangi Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dengan harapan tuntutan mereka dapat di dengar langsung oleh Jokowi dan pemerintah terkait. “Dengan modal patungan, warga perwakilan perempuan dari desa Seribandung, Tanjung Pinang dan Tanjung Atap  kembali mendatangi Jakarta, dan bersama kami melaporkan kasus ini  kepada Kementerian ATR/ BPN, BUMN, KSP dan OMBUSMAN  atas Pelanggaran yang telah dilakukan oleh PTPN VII Cinta Manis” Ucap Ida Ruri Ketua SP Palembang yang selama ini bersama-sama perempuan petani memperjuangkan hak mereka.  

Para perwakilan perempuan petani dari ketiga desa tersebut bersama Solidaritas Perempuan dan SP Palembang memasukkan laporan berbagai pelanggaran yang dilakukan PTPN VII Cinta Manis secara resmi kepada Menteri ATR/BPN agar segera membatalkan HGU yang baru diterbitkan, kemudian kepada Menteri BUMN agar segera melakukan evaluasi dan menindak tegas PTPN VII Cinta Manis. Laporan juga disampaikan kepada Kantor Staf Kepresidenan,(KSP) dalam hal ini Tim Percepatan Penyelesaian konflik agraria agar segera mengambil langkah-langkah penyelesaian konflik yang berkeadilan bagi masyarakat petani, laki-laki dan perempuan. Pada kesempatan ini, perempuan petani juga melakukan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia, agar melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan rekomendasi untuk adanya tindakan korektif terhadap izin dan HGU PTPN VII Cinta Manis. “Kami akan terus mengawal laporan ini dan Kami tidak akan pernah berhenti sampai keadilan itu dijalankan dan hak kami dikembalikan. Demi anak cucu, Kami tidak akan diam ditindas, karena tanah adalah kehidupan kami”, tegas Emilia, Perempuan petani asal Seri Bandung.

“Jika pemerintah mau melaksanakan Reforma Agraria, maka jalan pertama yang harus ditempuh adalah menyelesaikan konflik agraria dengan berbasis kepentingan masyarakat yang menjadi korban. Warga Ogan Ilir sudah menunggu terlalu lama penyelesaian konflik ini. Maka, pemerintah khususnya BPN harus membatalkan HGU yang secara sewenang-wenang dikeluarkannya di atas tanah-tanah masyarakat. Selanjutnya, lahan tersebut harus dikembalikan kepada masyarakat, tegas Siti Rakhma Mary dari YLBHI.

 “Perlu ada tindakan tegas dan niat baik dari pemerintah untuk penyelesaian konflik di Ogan Ilir yang sudah berlangsung selama 36 tahun ini, dengan diterbitkannya HGU baru, tentu saja menimbukan keresahan bagi perempuan, selain karena kehilangan sumber kehidupannya, perempuan dengan peran gendernya, mengalami beban berlebih saat harus mengalami tindak kekerasan aparat, intimidasi, dan kriminalisasi, peristiwa tahun 2012 lalu bukan tidak mungkin kembali terjadi. Karena itu kami kembali mengingatkan Pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik ini, menghentikan penguasaan lahan besar-besar oleh perusahaan Negara, sesuai dengan semangat Presiden Jokowi untuk melaksanakan Reforma Agraria.” ujar Puspa Dewy Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

 

Kontak Person:
Ida Ruri Sukmawati – SP Palembang (081278652000)
Ega Melindo – Seknas SP (081288794813)

Translate »