Siaran Pers : Seruan Solidaritas Perempuan Kepada Calon Pemimpin Bangsa “Selamatkan Bumi, Stop Komodifikasi Alam Indonesia”

bumi rusakJakarta, 22 April 2014. Memperingati Hari Bumi Internasional, Solidaritas Perempuan menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk memilih Pemimpin Bangsa yang berani mengambil langkah tegas menghentikan komodifikasi alam Indonesia untuk kepentingan global dan mengembalikan kedaulatan pengelolaan sumber daya bumi ke tangan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik perempuan, maupun laki-laki. Lebih lanjut, Solidaritas Perempuan menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk memilih Pemimpin Bangsa yang memajukan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam, serta mendorong keadilan gender.

Industrialisasi atas nama pembangunan telah memberikan dampak luar biasa terhadap aspek lingkungan, baik terhadap air, mineral, tanah, organisme kehidupan, atmosfer, iklim, dan seluruh proses kehidupan termasuk kehidupan perempuan. Berkembangnya industri dan pembangunan berbanding lurus dengan  banyaknya perusakan lingkungan dan pengurasan sumber daya alam (SDA) guna memenuhi kebutuhan pembangunan dan industrialisasi, melalui perusahaan tambang atau operator transnasional coorporation (TNC) maupun multinasional cooperation (MNC) yang telah di tempatkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing ternyata tidak menjadikan kondisi masyarakat Indonesia semakin membaik, bahkan sebaliknya pemiskinan masih terlihat jelas di setiap sudut Indonesia. Terlebih bagi perempuan, yang terus terpinggirkan akses dan kontrolnya atas pengelolaan sumber daya alam, padahal tanah, air dan hutan sangat dekat dengan kehidupan perempuan akibat peran gendernya. Ketika akses dan kontrol perempuan atas pengelolaan sumber daya alam dicerabut, maka tercerabutlah sumber-sumber penghidupan perempuan dan ketidakadilan gender akan semakin langgeng di bumi Indonesia.

Selanjutnya pada tahun 2011, Pemimpin Indonesia, Presiden SBY malah memunculkan program yang berpotensi semakin mengkomodifikasi alam Indonesia, melalui Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam proyek ini,  bumi dan alam  Indonesia justru menjadi komoditas dan dikapling-kapling menjadi 6 koridor ekonomi, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua, yang antara lain terfokus pada pertambangan, migas, perkebunan, pertanian, dan perikanan. Total nilai investasi proyek MP3EI di seluruh koridor ekonomi mencapai Rp. 4.335 Triliun, yang terdiri atas  investasi sektor riil sebesar Rp. 2.447,3 Triliun, sektor infrastruktur sebesar Rp. 1.888,6 Triliun dan SDM-Ipteksebesar Rp. 18,6 Triliun..[1] Proyek-proyek investasi ini, akan berdampak pada semakin rusaknya lingkungan, dan semakin berkurangnya hutan di Indonesia. Menurut data terakhir Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1.18 juta hektar hutan setiap tahunnya[2]. Bahkan sepanjang Januari 2014 saja, Menteri Kehutanan mengeluarkan 6 SK Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan kelapa sawit, seluas total 83.694,81 hektar di wilayah Kalteng, Sumsel dan Papua Barat.[3]

Berbagai proyek investasi tersebut akan semakin melanggengkan pemiskinan rakyat Indonesia, khususnya perempuan apabila tidak ada penyelesaian yang dilakukan terhadap berbagai permasalahan yang selama ini terjadi akibat aktivitas industri, mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, pelanggaran HAM, kriminalisasi hingga penghilangan akses dan kontrol rakyat, khususnya perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam. Belum selesai permasalahan konflik lahan dan pelanggaran HAM, Pemerintah Indonesia dengan komitmen penurunan emisinya justru mengkomodifikasi kekayaan hutan dan menyediakan bumi Indonesia untuk dijadikan ladang uji coba proyek iklim. Padahal, di kala Indonesia berkomitmen untuk menjaga hutannya dengan berbagai upaya, Negara-negara penghasil emisi terus menjalankan business as usual, dan terus mendapatkan justifikasi untuk mengeluarkan emisi dengan memberikan sebagian kecil keuntungannya melalui pendanaan untuk program mitigasi di Negara berkembang.

Proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) semakin tahun semakin massif dikembangkan di Indonesia. Proyek atas nama penyelamatan lingkungan ternyata tidak berjalan semulus yang diharapkan. Berbagai masalah timbul bahkan baru sampai pengembangan demonstration activitiesnya, belum sampai pada implementasi REDD+. Kegagalan proyek REDD+ yang paling terkenal didengar adalah Kalimantan Forest and Climate Partnership yang didanai oleh Australia sebesar 30 juta dollar Australia. Alih-alih melindungi dan memperbaiki kerusakan hutan, proyek seluas 120.000 hektar, yang mulai di tahun 2010 ini berjalan stagnan selama kurang lebih 4 tahun, menimbulkan berbagai konflik di masyarakat, bahkan tidak mampu mencegah kebakaran hutan di wilayah proyeknya. Masyarakat, khususnya perempuan tidak mendapatkan informasi yang jelas, benar dan lengkap mengenai proyek. Pembatasan akses dan kontrol warga atas pengelolaan hutan berujung pada konflik.

Berbagai permasalahan yang muncul pun tidak mengurungkan niat Pemerintah untuk meneruskan implementasi REDD+. Dalam Siaran Pers Badan Pelaksana REDD+ tanggal 2 April lalu menyatakan 11 Provinsi siap memulai implementasi REDD+, memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Kesebelas provinsi mitra BP REDD+ adalah Aceh, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua dan Papua Barat.  Padahal wilayah tersebut, selama ini memiliki sejarah bahkan sampai saat ini konflik agraria belum terselesaikan.  Implementasi REDD+ semakin menguatkan Perempuan akan semakin terpinggirkan dan termajinalisasi, ketidakadilan gender akan terus terjadi selama tidak ada perlindungan terhadap perempuan.

Pada  Hari Bumi ini dan menjelang Pemilu Presiden 2014, Solidaritas Perempuan kembali menyerukan kepada Calon Pemimpin Bangsa ini untuk:

  1. Memastikan aturan perlindungan perempuan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam,
  2. Menghentikan produk-produk kebijakan yang mengancam sumber daya alam dan sumber kehidupan perempuan.
  3. Menghentikan ekspansi pertambangan dan perkebunan skala besar
  4. Menyelesaikan konflik agrarian dengan memajukan perlindungan hak perempuan
  5. Menjalankan reforma agraria berkeadilan gender.
  6. Mendesak Negara industry untuk bertanggung jawab mengurangi emisi
  7. Memprioritaskan pendanaan iklim untuk program adaptasi perubahan iklim, dengan alokasi dana khusus untuk perempuan mengatasi kerentanannya dalam menghadapi perubahan iklim, dan tidak bersumber dari dana utang.
  8. Menghentikan dan menindak tegas pelaku pengrusak lingkungan, pelanggaran HAM dan HAP, serta menghentikan berbagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat, terutama perempuan pembela HAM, yang memperjuangkan haknya atas pengelolaan sumber daya alam.

Jakarta, 22 April 2014

 

Wahidah Rustam
Ketua Solidaritas Perempuan

CP: Aliza (0818129770)


[1] Laporan Perkembangan Pelaksanaan MP3EI (s.d. Maret 2013), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2013, hlm. i.
[2] Realisasi Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan, Data Kementerian Kehutanan Februari 2014.
Translate »