Siaran Pers Solidaritas Perempuan: Perempuan Tolak WTO, Tuntut Ekonomi Adil

Denpasar, Selasa 3 Desember 2013. Kebijakan WTO (AoA, NAMA, GATS, dan TRIPS), telah IMG_0844melanggar hak perempuan atas pangan, perlindungan kerja, berpendapat, kesehatan reproduksi, hak atas air bersih, dan hak terlibat pengambilan keputusan, ha katas otonomi tubuhnya telah hilang dan dirampas akibat WTO. Perempuan semakin di marginalkan dari sumber daya alamnya, menambah beban hidup perempuan, bahkan menguatkan kekerasan terhadap perempuan. Ditengah struktur sosial yang partiarkhi, situasi tersebut semakin menguatkan ketidakadilan dan pelanggaran hak perempuan. Data UN Women, menyebutkan 70% orang miskin adalah perempuan, dan sebahagian besar pemiskinan perempuan disebabkan oleh Kebijakan WTO.

WTO Memiskinkan Perempuan
Kebijakan NAMA (Non-Agricultural Market Access) misalnya, yang menghambat Negara berkembang seperti Indonesia untuk mengembangkan ekonomi nasional yang mandiri. Negara Indonesia tidak bisa menentukan kedaulatan sendiri akibat terjebak dalam keanggotaan WTO. Kebijakan yang dibangun hanya untuk menfasilitasi Negara industry/maju dan perusahaan transnasional untuk memanfaatkan sumber daya alam kita. Perusahaan perkebunan kelapa sawit misalnya, dimana upah buruh murah dan standar dampak lingkungan yang rendah dijadikan keunggulan komparatif untuk mengundang investasi. Target upah buruh murah, menjadikan perempuan sebagai sasaran untuk dijadikan buruh perkebunan kelapa sawit. Sistem perkebunan Kelapa Sawit, menerapkan mekanisme pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility / LMF) dan deforestasi besar-besaran. Akibatnya, buruh perempuan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, padahal bekerja di perkebunan kelapa sawit, menjadikan perempuan kerap mengalami diskriminasi upah, pecelehan seksual, pemerkosaan, tidak adanya hak atas keselamatan kerja, tidak ada ha katas kesehatan reproduksi.

“Dengan upah sedikit, kami harus menanggung beban kerja yang berat. Kami harus memanggul pestisida 20 kilogram, tanpa perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,Kami juga setiap harinya harus bersentuhan dengan racun-racun kimia,” ujar Ibu Irna dari Poso, Sulawesi Tengah.

Persoalan perkebunan kelapa sawit, tidak hanya buruh, tetapi perkebunan Kelapa Sawit secara massif telah konversi lahan hutan dalam skala besar. Di luar 3,2 juta ha lahan sawit yang sudah ada di Indonesia terutama di Sumatra, 330 ribu ha lahan hutan tiap tahunnya ditargetkan pemerintah untuk dikonversi. Sebanyak 650 investor yang didominasi perusahaan asing (75%) sudah mendapat izin konversi tersebut. Kelapa sawit telah menyebabkan Alih fungsi lahan dari lahan produktif yang kemudian hilangnya produk-produk pangan, dan pada akhirnya menghancurkan kedaulatan pangan kita.

”Sejak tanah kami dirampas oleh perusahaan perkebunan Kelapa Sawit, kami tidak bisa lagi mengambil bahan baku anyaman, sumber pangan dan obat-obatan yang biasa kami gunakan,” ujar Ibu Remi dari Kalimantan Tengah.

Perampasan lahan tentunya mengakibatkan perempuan kehilangan mata pencarian dan sumber-sumber kehidupannya. Karena, dalam pertanian tradisional perempuan memiliki peran dominan mulai pemilihan benih, penanaman, hingga pendistribusian hasil pertanian. Perampasan lahan dan situasi pemiskinan juga memaksa perempuan bekerja ke luar negeri sebagai buruh migran, dengan menghadapi berbagai kerentanan akan kekerasan dan pelanggaran hak. Oom Ratna, perempuan buruh migran asal Karawang, menyatakan, “Sebagai Pekerja Rumah Tangga, tidak ada perlindungan terhadap hak-hak kita. Ketika kami mengalami masalah, Negara tidak hadir sementara perusahaan tidak mau bertanggung jawab.”

Di tengah situasi pemiskinan dan menguatnya budaya partiarkhi di Indonesia, pemerintah justru menegaskan komitmennya sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan, dengan menjadi tuan rumah dari Konferensi Tingkat Menteri (KTM) 9 WTO yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi WTO. KTM – 9 di Bali, kembali membahas kesepakatan-kesepakatan perdagangan, yang memperparah situasi perempuan.Walaupun Kementerian Perdagangan mengatakan akan memperjuangkan kepentingan negara berkembang, namun faktanya justru membuka jalan bagi perusahaan dan negara maju untuk mengeruk sumber daya alam, sehingga semakin menguatkan konflik, kekerasan dan pelanggaran hak perempuan atas sumber kehidupannya. Pengalaman persoalan perempuan akibat kebijakan WTO tidak pernah dipertimbangkan dan didengar. Pengabaian hak-hak perempuan terus dilakukan oleh negara.

Solidaritas Perempuan bersama ratusan gerakan perempuan dari seluruh dunia, berkumpul, bersuara dan bergerak aksi bersama untuk menuntut berakhirnya WTO dan perubahan sistem ekonomi adil bagi perempuan. Solidaritas Perempuan juga menuntut pemerintah Indonesia untuk keluar dari keanggotaan WTO, bahkan mengakhiri WTO dan rezim perdagangan bebas yang memiskinkan perempuan, serta memulai alternatif kehidupan sosial dan ekonomi tanpa WTO.
“Solidaritas Perempuan menegaskan suara perempuan harus didengar dan bagian dari masyarakat yang dirugikan oleh keanggotaan Indonesia di WTO” Ujar Wahidah Rustam – Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan. Hari ini, Solidaritas Perempuan bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya bergerak melakukan perlawanan terhadap WTO. Sebanyak 60 orang aktivis Solidaritas Perempuan dan perempuan akar rumput dari berbagai daerah seperti Mataram, Sumbawa, Poso, Palu, Kendari, Makassar, Palembang, Aceh, Kalimantan Tengah, Yogyakarta, dan Jabodetabek turun aksi di Denpasar bersama organisasi-organisasi lain untuk menuntut pembubaran WTO. “Saatnya perempuan Tolak WTO, dan tuntut Ekonomi Adil Bagi Perempuan” Tutup Wahidah Rustam.

Contact Person:
Puspa Dewy: 085260241597
Nisaa Yura: 081380709637

Translate »