Sistem Pendidikan dan Kaderisasi

Sekolah Kepemimpinan Feminis Angkatan I : Komitmen Solidaritas Perempuan dalam Memperjuangkan Keadilan dan Pembebasan Perempuan untuk Perubahan Sosial

Jakarta  Bulan Mei   2017 menjadi bulan yang istimewa bagi Solidaritas Perempuan, sebab pada Mei 2017 ini telah dibuka dan dimulainya Sekolah Kepemimpinan Feminis angkatan pertama, yang mulai akrab dikenal  SKF. Sekolah Kepemimpinan Feminis ini diikuti  dua puluh enam (26)  peserta  yang lulus seleksi dari berbagai latar belakang, baik aktivis maupun perempuan pemimpin di komunitas.

Peserta Sekolah Kepemimpinan Feminis telah melewati sejumlah proses seleksi seperti membuat dan mengirimkan tulisan yang berisi cerita pengalaman perempuan akan ketidakadilan dan penindasan yang dialami, serta pengalaman  peserta selama terlibat dalam kerja-kerja bersama Solidaritas Perempuan. Dalam pembukaan SKF Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menyampaikan  “Sekolah kepemimpinan feminis merupakan sebuah ruang untuk melahirkan aktivis-aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai feminis, nilai keadilan dalam menghentikan penindasan terhadap perempuan. Mereka juga akan menjadi penggerak-penggerak di wilayah mereka untuk memperluas gerakan feminis untuk perubahan sosial”   Puspa Dewy.

Sekolah Kepemimpinan Feminis sebagai ruang pembebasan perempuan untuk mendorong perubahan sosial yang adil bagi perempuan. Selama tiga bulan, peserta akan mendapatkan pendidikan ideologi dan kapasitas yang utuh terkait isu-isu sesuai konteks situasi perempuan, maupun keterampilan yang akan digunakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.  Peserta akan mempraktekkan kapasitas yang diperoleh selama pendidikan di masing-masing komunitas, baik dalam mentransformasikan ideologi, pemahaman isu maupun kapasitas lainnya, seperti kapasitas analisis, identifikasi, pengorganisasian, advokasi dan kampanye.

Selanjutnya….

 

Sekolah Kepemimpinan Feminis Solidaritas Perempuan Berdialog dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Mendesak Terwujudnya Keadilan dan Perlindungan Kedaulatan Perempuan.

Peserta SKF (Sekolah Kepemimpinan Feminis) kembali tiba  di Jakarta. Setelah satu bulan, peserta melakukan tugas di Komunitas dan menganalisis situasi penindasan perempuan diberbagai konteks. Hasil tersebut, kemudian disampaikan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempua  pada jumat 11 Agustus 2017.

Peserta SKF yang berjumlah 23  orang dari 13 daerah, dari Aceh hingga Kab. Kerom Papua, mendatangi dan berdialog bersama  Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyampaikan situasi dan persoalan penindasan perempuan yang dialami di berbagai konteks. Peserta bertemu Komisioner Komnas Perempuan untuk melaporkan kekerasan dan penindasan perempuan akibat konflik lahan, sistem perlindungan perempuan buruh migran, dan persoalan kebijakan diskriminatif. Emilia-Perempuan Desa Seribandung mengatakan “Kami, perempuan Desa Seri Bandung, sudah berjuang lebih dari 20 tahun untuk mendapat kembali tanah kami yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis. Kami meminta Komnas Perempuan bisa mengirimkan surat ke Kementerian ATR/BPN untuk mencabut HGU PTPN VII Cinta Manis.”  Sementara Perempuan asal desa adat  Kerom Papua menyampaikan situasi  perempuan di Kerom Papua  akibat keberadaan PTPN Nusantara “Sagu yang jadi makan pokok sekarang habis, perempuan juga hilang kejayaannya”. Selain Emilia, juga ada perempuan dari Makassar, Mataram, dan NTT yang juga melaporkan situasi ketidakadilan perempuan.

“Kesempatan dialog ini diharapkan dapat menjadi ruang perempuan dari berbagai daerah untuk menyampaikan kondisi dan situasi ketidakadilan yang dialami perempuan di wilayah. Harapannya Komnas Perempuan dapat melakukan tindakan nyata tegas untuk  mendesak kepada pemerintah menyelesaikan kasus dan situasi ketidakadilan yang dialami perempuan diwilayah komunitas, termasuk ”, Nisa Yura dalam menyampaikan pengantar sebelum dialog dimulai. Berbagai konteks situasi ketidakkadilan dan kekerasan terhadap perempuan yang disampaikan dalam dialog ini diantaranya berkaitan dengan perampasan dan alih fungsi lahan, reklamasi, dan perempuan pekerja migran.

Forum dialog bersama Komnas Perempuan menjadi ruang bagi 23 perempuan dari berbagai latar belakang situasi dan wilayah,  untuk mendesak Komnas Perempuan untuk merespon hingga memberikan rekomemdasi kepada kementerian terkait. Dalam konteks konflik agraria, peserta meminta kepada Komnas Perempuan untuk memstikan tidak  adanya pelibatan aparat  militer pada setiap koflik agraria yang berakibat pada trauma  yang dialami oleh perempuan dan anak-anak. .

Peserta juga berdialog dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Asisten Deputi Perlindungan dalam Ketenagakerjaan bidang Perlindungan Hak-hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan di Luar Negeri. Pada dialog ini, perempuan komunitas SP Anging Mamiri Makasar  menyampaikan persoalan perempuan petani yang kehilangan tanahnya akibat dirampas PTPN Talakar – Sulawesi Selatan. “Persoalan ini dapat diatasi dengan agenda reforma agraria Presiden Joko Widodo. Kami mendorong KPPPA untuk memastikan pelaksanaan Reforma Agraria adil bagi perempuan dengan  menjadikan perempuan sebagai subjek penerima tanah objek reforma agraria (TORA) dan dalam pengelolaan sumber-sumber lahan” Ungkap Musdhalifa dari SP Anging Mammiri. Desakan juga disampaikan oleh Solidaritas Perempuan Kendari, dimana massifnya reklamasi di Indonesia telah menghancurkan sistem sosial dan sumber kehidupan perempuan pesisir/nelayan. Ini terlihat pada perempuan pesisir di Kendari, Makassar dan Jakarta. “Saat ini, pemerintah sedang menyusun kebijakan RZWP3K. Kami meminta KPPPA untuk memastikan kebijakan RZWP3K tidak menggusur dan menghancurkan kehidupan perempuan nelayan” Ungkap Sarni – Solidaritas Perempuan Kendari.

Selanjutnya….

 

Translate »