Somasi Terbuka untuk DPR RI

Somasi ini ditujukan untuk 2 hal yaitu:

  1. Rencana tes khusus Covid-19 yang akan dilakukan oleh anggota DPR dan anggota keluarganya.
  2. Pengawasan DPR atas Pemerintah khususnya terkait penanganan Covid-19.

Somasi ini didasarkan atas hal-hal berikut ini.

  1. Rencana tes khusus Covid-19 yang akan dilakukan oleh anggota DPR dan anggota keluarganya
  1. Rencana tes khusus Covid-19 yang akan dilakukan oleh anggota DPR dan anggota keluarganya yang diperkirakan mencapai 2.000 orang adalah perlakuan tidak etis bahkan mengarah pada korupsi karena menggunakan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri dan keluarga. Arogansi dan merasa lebih berhak mendapat perlakuan khusus ini juga diperlihatkan oleh anggota DPRD dari beberapa daerah, seperti Blora dan Pematang Siantar. Ada yang menolak diperiksa dan memaki petugas kesehatan karena diduga terpapar Covid-19 seperti yang diperlihatkan anggota DPRD Blora (​https://regional.kompas.com/read/2020/03/21/12300061/saat-petugas-medis-kena-sem prot-anggota-dprd-blora-yang-menolak-cek​) dan DPRD Pematang Siantar (​https://kabarmedan.com/tak-terima-diberi-status-odp-corona-para-anggota-dprd-pemata ngsiantar-ngamuk/​).
  2. Seharusnya para wakil rakyat memperhatikan ketentuan dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Keadaan Bencana yang mengatur tentang prinsip dan asas dalam penanggulangan bencana. Salah satu asas penanggulangan kebencanaan adalah asas kemanusiaan, keadilan, dan keserasian sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU No. 24/2007. Pemeriksaan anggota DPR beserta keluarganya bertentangan dengan ini karena orang-orang yang seharusnya menjadi prioritas adalah mereka yang sudah terpapar dan dalam kondisi rentan.
  3. Adapun prinsip yang terlihat dengan sengaja dilanggar oleh anggota DPR dan DPRD ini adalah prinsip prioritas dan akuntabilitas yang tercantum dalam pasal 3 ayat 2 UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Anggota DPR beserta keluarganya bukanlah prioritas untuk mendapatkan akses tes Covid-19. Pertanggungjawaban DPR secara kelembagaan untuk akses Covid-19 ini sama sekali tidak memenuhi aspek akuntabilitas sehingga hilang sudah legitimasi DPR untuk mengusahakan perlakukan khusus tersebut.
  4. Tindakan tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar prinsip kesetaraan. Pemenuhan hak kesehatan harus memenuhi prinsip aksesibilitas, di mana fasilitas

kesehatan, barang dan jasa harus dapat diakses tiap orang tanpa diskriminasi dan mengutamakan kelompok rentan dan prioritas. Apalagi bila merujuk ke pasal 32 UU No. 36/2006 tentang Kesehatan, terdapat ketentuan pemberian fasilitas kesehatan dalam situasi darurat haruslah memprioritaskan pada penyelamatan nyawa terlebih dulu; suatu hal yang sama sekali tidak terlihat dalam permintaan anggota DPR tersebut.

  1. Apalagi tindakan ini dilakukan dalam masa kedaruratan/bencana sehingga patut diduga melanggar aturan kebencanaan karena menghalangi hak orang-orang yang lebih membutuhkan, seperti mereka yang rentan, tenaga medis, orang dalam pemantauan (ODP) bahkan orang yang mengalami gejala awal.
  2. Dalam situasi genting seperti sekarang, DPR seharusnya mengajak konstituennya untuk melakukan langkah-langkah pencegahan menyebarnya Covid-19 ketimbang meminta perlakuan khusus bagi diri dan kelompoknya. Apalagi bila mengingat begitu banyak keluhan publik akan minimnya akses akan pengetesan Covid-19 meskipun orang-orang tersebut sudah menunjukkan gejala. Masih adanya kesenjangan pengetahuan publik soal bahaya Covid-19 ini seharusnya menjadi pemicu bagi anggota DPR/D untuk menginfokan pada konstituen mereka di berbagai daerah, ketimbang menuntut perlakuan khusus untuk akses tes Covid-19 bagi dirinya pribadi dan keluarganya.

 2. Pengawasan DPR atas Pemerintah khususnya terkait penanganan Covid-19

  1. Sejak kasus pertama diumumkan hingga hari ini, tidak ada kebijakan yang jelas dari Pemerintah, baik mengenai penanganan seperti untuk orang yang memiliki gejala, tes Covid-19, maupun pencegahan agar virus tidak menular dan meluas.
  2. Bahkan sebelum pasien pertama Covid-19 diumumkan hingga beberapa hari setelahnya para pejabat publik kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan tidak berdasar yang menunjukkan mereka tidak menganggap serius hal ini.
  3. Pemerintah (pusat) menolak ​lockdown tetapi seruan untuk diam di rumah semakin lama semakin berkembang menjadi paksaan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan polisi untuk membubarkan orang dan pengumuman dikriminalkan untuk orang yang melanggar.
  4. Kebijakan yang tidak jelas ini telah menempatkan rakyat (khususnya buruh harian, pengemudi transportasi ​online, pedagang di pasar-pasar tradisional serta mereka yang tidak memiliki simpanan yang cukup sehingga harus bekerja setiap hari) berada pada situasi tanpa pilihan. UU No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah maupun Wilayah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
  5. Bahwa yang dimaksud dengan Karantina Rumah adalah pembatasan penghuni dalam suatu rumah beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Adapun      Karantina  Wilayah  adalah  pembatasan  penduduk  dalam  suatu  wilayah
termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

  1. Jelas sekali saat ini Pemerintah dan sebagian Pemerintah Daerah telah melakukan karantina rumah dan wilayah. Oleh karena itu menolak ​lockdown melalui kebijakan formal tetapi sesungguhnya memberlakukannya adalah perbuatan curang dan korup untuk menghindar dari kewajiban sebagai pemerintah.
  2. Ketidakjelasan penanganan Pemerintah ini telah membuang nyawa banyak orang termasuk di dalamnya tenaga medis. ​Trace, Test, Treat yang seharusnya dilakukan tidak jelas mekanismenya. Banyak fakta-fakta orang ditolak untuk melakukan tes meskipun mampu membayar karena kegagalan antisipasi ini.
  3. Di tengah situasi ini tidak terdengar langkah-langkah pengawasan DPR terhadap Pemerintah untuk mempertanyakan dan memperbaiki penanganan Pemerintah terhadap penyebaran virus Covid-19 ini.

Berdasarkan hal-hal di atas kami mendesak DPR

  1. MEMBATALKAN rencana tes yang khusus diperuntukkan bagi anggota DPR dan anggota keluarganya.
  2. Melakukan fungsinya untuk melakukan pengawasan terhadap Pemerintah terkait dengan penanganan Covid-19.

Kami menunggu respons baik DPR, jika tidak akan menempuh jalur hukum.
Kami memanggil lembaga dan individu untuk bergabung dalam gerakan bersama menyerukan somasi terbuka untuk para wakil rakyat ini. Silakan cantumkan nama dan sebarkan ke komunitas dan jaringan.

Jakarta, 24 Maret 2020

Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi ini digerakkan oleh:
Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Asia Justice and Rights (AJAR)
AMAR Law Firm & Public Interest Law Offic​e
Amnesty International Indonesia
Auriga
Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Bem Kema UNPAD)
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI)
Bina Desa
Greenpeace
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Konsolidasi Mahasiswa Unpad (KMU) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), Lokataru
Migrant Care
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Sajogyo Institute
Serikat Buruh Kebun
Serikat Buruh Kebun Bersatu
Serikat Buruh Kebun Kalimantan Barat
Serikat Buruh Kebun Toba
Serikat Buruh Kebun Setawar
Solidaritas Perempuan
Transparency International Indonesia (TII)
Trend Asia
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Translate »