Sejarah SP

profil_02

Dipenghujung 1980-an, penggusuran dan perampasan dibanyak tempat telah memunculkan berbagai kelompok solidaritas untuk masyarakat/rakyat yang tergusur dan terampas hak-hak dasarnya diantaranya adalah kelompok perempuan untuk solidaritas  Badega (KPSB) yang mengadakan demonstarasi untuk mendukung perjuangan rakyat petani Badega – Purwakarta. Bersamaan waktu dengan berdirinya kelompok tersebut, juga lahir Kelompok Kerja Solidaritas Perempuan (KSP) yang melakukan investigasi dan pembelaan kasus-kasus Pulau Panggung-Lampung, Sugapa-Sianipar Sumatera Utara dan Sugapa tahun 1989. Pada waktu itu, kelompok solidaritas tersebut hadir secara spontan dengan struktur organisasi yang sederhana, bersifat sementara dan lebih banyak dibimbing oleh spirit voluntarisme (kesukarelaan). Bentuk aktivitasnya meliputi mulai dari pengumpulan fakta-fakta di lapangan hingga melancarkan aksi-aksi protes secara terbuka. Fokus sasarannya secara umum diarahkan pada satu agenda utama pada waktu itu yaitu penguatan perjuangan rakyat untuk merebut kembali tanah-tanah garapannya. Disadari bahwa aksi organisasi yang seperti itu sifatnya spontan, jangka pendek, dan terbatas, sehingga perlu dibangun secara sistematis. . Telah terbukti bahwa aksi yang sifatnya spontan tidak akan membawa hasil yang signifikan. Permasalahan penggusuran, kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM memiliki dimensi yang sangat kompleks dan bercorak struktural.

Pendiri dan Berdirinya Solidaritas Perempuan.

Pada tanggal 10 Desember 1990 KSP yang terdiri dari Ati Nurbaiti Karta Hardimadja, Gracia Tjita Andangsedjati, Nursyahbani Katjasungkana dan Taty Krisnawaty bersama dengan beberapa sahabat perempuan profil_03mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan Yayasan Solidaritas Perempuan. Susunan Dewan Pengurus 1990 – 1993, terdiri dari Ati Nurbaiti (Ketua), Nursyahbani Katjasungkana (Wakil Ketua), Gracia Tjita A. Sedjati (Bendahara), Tati Krisnawaty (Sekretaris merangkap Koordinator Program). Program dari yayasan ini adalah pengembangan institusi yayasan dan pengembangan hak asasi perempuan dengan cita-citanya adalah untuk mencapai masyarakat yang demokratis dan egaliter.

Proses dari yayasan ke perserikatan

Dalam perjalanannya, pada tahun 1992 mulai mendiskusikan perumusan visi dan perubahan bentuk organisasi, dari yayasan menjadi sebuah perkumpulan. Sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi perubahan bentuk organisasi tersebut. Pertama, selama ini bentuk yayasan hanya mampu memberi ruang gerak organisasi secara terbatas. Kedua, secara internal semakin dirasakan bahwa bentuk yayasan tidak lagi memadai sebagai wahana untuk membangun kehidupan demokrasi secara nyata dan meluas di masyarakat. Ketiga, menegaskan upaya menentang kesewenang-wenangan pemerintah Orde Baru yang menindas kebebasan berserikat. Jadi, perubahan bentuk organisasi dari yayasan menjadi perserikatan pada intinya merupakan hasil proses interaktif antara perkembangan dinamika internal dan eksternal. Kesepakatan untuk melakukan perubahan bentuk organisasi ini disepakati dengan melewati sebuah proses semacam masa persiapan yang disebut masa transisi untuk mempersiapkan organisasi berupa perserikatan. Dewan Pengurus selama masa transisi ini adalah sebagai berikut: Nursyahbani Katjasungkana (Ketua), Tati Krisnawaty (Wakil Ketua), Darmiyanti Muchtar (Bendahara), Veronica Indriani (Anggota); dan staf lainnya diantaranya Eri Nurisa, Fransiska Wuryanti, Nursatya KH, Yuniarti Chuzaifah, Amen Komaruddin, dan Hutasoit. Selain Dewan Pengurus, dibentuk juga Dewan Pengawas, yang terdiri dari Gracia Tjita AS (Ketua), Ati Nurbaiti (Wakil Ketua), dan Wardah Hafidz (Anggota).

Tidak seperti struktur sebelumnya yang diketuai oleh Direktur, sejak Kongres I tahun 1995 struktur kepemimpinan Solidaritas Perempuan menjadi struktur kepemimpinan kolektif. Perubahan bentuk organisasi menjadi sebuah perserikatan ini pun disertai dengan re-definisi visinya secara lebih spesifik: ‘memperjuangkan hak-hak perempuan dengan berpedoman prinsip-prinsip demokrasi, emansipasi, egalitarian, dan non-sektarian’. Visi inilah yang hendak dijadikan titik orientasi PSP dalam memperjuangkan cita-cita tercapainya suatu tatanan masyarakat yang simetris, berwawasan ekologik dan gender. Dalam situasi demikian diharapkan baik perempuan maupun laki-laki memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan budaya secara adil.

Translate »