Tuty Tursilawati, Upaya Pembelaan Diri yang Berujung Eksekusi Mati

Press Release Solidaritas Perempuan

30 Oktober 2018, untuk kesekian kalinya Indonesia kembali menerima kabar duka dari Arab Saudi. Tuty Tursilawati, buruh migran asal Majalengka, Jawa Barat telah dieksekusi mati pada 29 Oktober 2018 setelah mendapat putusan in kracht dari pengadilan Arab Saudi tahun 2011. Tuty dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap ayah majikannya bernama Suud Mulhaq Al-Utaibi serta tuduhan mencuri uang majikannya dalam upaya melarikan diri. Dalam sistem hukum Arab Saudi, pembunuhan berencana masuk dalam kategori hukuman mati terberat Hadd Ghillah yaitu perbuatan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan oleh siapapun. Sama seperti eksekusi hukuman mati terhadap Buruh Migran Indonesia sebelumnya, kasus Tuty menambah deretan panjang eksekusi mati yang dilakukan Arab Saudi tanpa notifikasi resmi kepada Pemerintah Indonesia.

Tuty mulai bekerja di Arab Saudi pada 2009. Menurut penjelasan keluarga, selama bekerja Tuty sering mendapat tindakan kekerasan dan ancaman perkosaan dari majikan. Tuty juga belum mendapatkan gaji selama 6 bulan bekerja hingga terjadi peristiwa pilu tersebut. Tindakan pembunuhan yang dilakukan Tuty tidak lain sebuah upaya pembelaan diri seseorang yang putus asa serta akumulasi rasa kecewa dan marah akibat kekerasan terus menerus yang dilakukan majikan terhadap dirinya. Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy mengatakan, kasus yang dialami Tuty Tursilawati merupakan cermin dari buruknya kondisi kerja Buruh Migran Indonesia di Arab Saudi dan lemahnya perlindungan yang dilakukan pemerintah. Padahal, penempatan Buruh Migran Indonesia ke Arab Saudi masih menduduki jumlah yang terbilang cukup signifikan terutama pada sektor domestik yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Data Solidaritas Perempuan menunjukkan, sepanjang 2015-2017, jumlah Perempuan Buruh Migran yang mengalami masalah di Arab Saudi sebanyak 46 %. Bahkan pasca diberlakukannya kebijakan penghentian permanen penempatan Buruh Migran Indonesia sektor domestik ke negara Timur Tengah melalui Kepmenaker No. 260/2015, praktik penempatan unprosedural dengan berbagai modus masih terus saja berlangsung hingga banyak Perempuan Buruh Migran yang akhirnya terjebak dalam kasus perdagangan manusia. Laporan Tindak Pidana Umum Bareskrim ada 1.164 tenaga kerja Indonesia (TKI) diberangkatkan ilegal ke beberapa negara di Timur Tengah, salah satunya negara Arab Saudi, sejak 2015 hingga Maret 2018.

Ancaman hukuman mati juga pernah dialami oleh Sumartini Bt. Galisung asal Sumbawa dan Warnah Bt. Warta Niing asal Karawang yang didakwa melakukan sihir terhadap anak majikan tanpa satupun bukti atau saksi yang dapat menguatkan dakwaan. Meski upaya  banding yang dilakukan pemerintah Indonesia telah berhasil membebaskan mereka dari hukuman mati, namun hukuman penjara selama 10 tahun tetap harus mereka jalani. Kasus yang ditangani Solidaritas Perempuan sejak 2011 ini masih terus dipantau dan diupayakan agar keduanya segera mendapat rehabilitasi sebagai salah satu bentuk akses keadilan.

Eksekusi mati terhadap Tuty Tursilawati bukan yang pertama terjadi dan pasti bukan pula yang terakhir. Kementerian Luar Negeri RI menyatakan masih ada 13 WNI menanti hukuman mati di Arab Saudi dengan berbagai kasus seperti pembunuhan, zina, dan sihir. Menyikapi situasi ini, Puspa Dewy kembali mengingatkan bahwa sudah saatnya pemerintah serius dan mengambil tindakan diplomatik yang lebih tegas kepada Arab Saudi untuk mengakhiri pelanggaran demi pelanggaran terhadap hak asasi Buruh Migran Indonesia khususnya perempuan. Pelanggaran ini tidak cukup direspon dengan hanya melayangkan nota protes saja lalu dianggap selesai kemudian kasus yang sama akan kembali terjadi. Terlebih saat ini, pemerintah sedang menjalankan rencana uji coba penempatan Buruh Migran Indonesia ke Arab Saudi melalui One Channel System di tengah proses penyusunan sejumlah peraturan pelaksana UU No. 18/2017 yang disahkan akhir tahun lalu.

Kejadian ini harus mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat posisi tawar terhadap Arab Saudi maupun negara tujuan lainnya dengan berlandaskan Hak Asasi Manusia dan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya. Lebih jauh, sudah seharusnya pemerintah berhenti mengeluarkan kebijakan reaktif yang justru menimbulkan persoalan dan diskriminasi terhadap perempuan buruh migran seperti Kepmenaker 216/2015. Sebaliknya, pemerintah harus lebih memprioritaskan perombakan sistem perlindungan di dalam negeri melalui implementasi UU No. 18/2017 yang juga merupakan bagian dari implementasi UU No. 6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

 

Narahubung
Risca Dwi (081219436262)
Ega ( 081288794813)

Translate »