Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Sumartini dan Warnah pernah disetrika, ditanam di gurun pasir dan kedua kaki yang dirantai di dalam ruangan yang sempit sebelum dipenjara di Arab Saudi atas tuduhan sihir
Senin 24 April 2019, Sumartini dan Warnah akhirnya dapat menjejakkan kakinya kembali di Indonesia setelah lebih dari 10 tahun mendekam di penjara Arab Saudi tanpa kepastian hukum. Berlangsung di ruang rapat PWNI BHI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Warnah disambut haru oleh keluarganya. Ibu Sumi, orang tua Warnah menyampaikan perasaannya “saya sangat senang, bahagia. Gunung gede, tapi lebih gede hati saya. Terakhir bertemu Warnah tahun 2004 akhirnya bisa liat dan meluk Warnah”. Hal senada disampaikan oleh Sumartini, “senang rasanya bisa kembali ke Indonesia dan bisa ketemu anak-anak”. Sumartini dan Warnah juga menyampaikan ungkapan terima kasihnya kepada Solidaritas Perempuan yang telah mendampingi kasus ini hingga dapat pulang ke Indonesia.
Warnah bt Warta Ni’ing asal Karawang, Jawa Barat bersama Sumartini bt Manaungi Galisung asal Sumbawa, NTB terpaksa mendekam di penjara selama 10 tahun. Sumartini dituduh melakukan sihir atas adik majikan yang hilang selama 10 hari. Sementara Warnah, dituduh melakukan sihir atas anak majikannya yang berumur 3 tahun. Pengadilan Arab Saudi sempat menjatuhkan hukuman mati atas tuduhan tersebut dengan dasar pengakuan dari keduanya pada tahun 2010. Padahal, Sumartini dan Warnah dipaksa mengaku saat pemeriksaan di kepolisian dengan cara disiksa. Mereka disetrika, ditanam di gurun pasir dan dirantai kakinya di dalam ruangan sempit kemudian dijebloskan ke penjara Riyadh, Arab Saudi sejak tahun 2008. Sebagai pekerja rumah tangga dan warga negara asing di Arab Saudi, Warnah dan Sumartini mengalami ketidakadilan berlapis di tahap penyelidikan, penyidikan maupun peradilan.
Atas vonis tersebut, keluarga dan Solidaritas Perempuan telah berjuang melakukan berbagai upaya dan desakan kepada DPR-RI dan pemerintah, termasuk di dalamnya Kementerian Luar Negeri dan Satgas Hukuman Mati TKI. Keduanya bebas dari hukuman mati pada 20 Desember 2011, namun begitu tetap harus menjalani 10 tahun penjara dengan hukum cambuk sebanyak 1000 kali berdasarkan putusan banding. SP bersama keluarga terus mendesak pemerintah untuk berupaya agar Sumartini dan Warnah mendapat pengurangan masa hukuman dan segera dipulangkan mengingat tuduhan yang dikenakan tidak terbukti selama proses persidangan.
“Kepulangan Sumartini dan Warnah adalah hasil perjuangan panjang keluarga bersama Solidaritas Perempuan untuk keadilan bagi Sumartini dan Warnah. “Kami tetap akan terus berjuang untuk memastikan hak mereka dipenuhi oleh Negara” ungkap Puspa Dewy. Menurutnya, masih banyak perempuan buruh migran yang menghadapi persoalan serupa bahkan lebih parah. Hingga saat ini, berdasarkan data penanganan kasus SP saja, setidaknya masih terdapat 40 kasus yang belum diselesaikan oleh Negara. Angka tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus yang dialami perempuan buruh migran di Indonesia. “Masih banyak perempuan buruh migran yang menanti kehadiran negara, untuk keadila bagi mereka,” pungkasnya.
Kasus Sumartini dan Warnah merefleksikan masih minimnya perlindungan perempuan buruh migran Indonesia. Karenanya, kasus ini harus menjadi pembelajaran bagi pemimpin bangsa ke depan untuk dapat menjamin perlindungan yang komprehensif bagi Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi Indonesia, UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Konvensi Migran 90, dan Konvensi CEDAW. “Solidaritas Perempuan akan terus mengawal dan mengkritisi pemerintah untuk memastikan agenda perlindungan perempuan buruh migran menjadi agenda prioritas bangsa,” tegas Puspa Dewy.
CP : ega : 081288794813 (ega@solidaritasperempuan.org)