Siaran Pers
Memperingati Hari 16 HAKTP dan Hari Hak Asasi Manusia
Jakarta, 9 Desember 2022. Peringatan 16 Hari Anti kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2022 semestinya menjadi momen yang dapat dirayakan secara bebas dalam menuntut kedaulatan hak sebagai warga negara Indonesia. Sayangnya, rakyat Indonesia, termasuk perempuan, justru berduka atas matinya demokrasi, ruang gerak perempuan, gerakan perempuan, gerakan sosial, gerakan buruh dan gerakan lingkungan hidup pasca disahkannya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Selasa, 6 Desember 2022, Pukul 10.56 di Gedung DPR RI.
Prinsip kewajiban Negara merupakan salah satu prinsip dari tiga prinsip dasar Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang juga menjadi prinsip dasar di dalam banyak Kovenan dan Konvensi HAM Internasional lainnya. Dalam prinsip tersebut, negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi dan melindungi Hak Asasi Perempuan, baik melalui kebijakan maupun tindakan-tindakan yang memastikan hak-hak tersebut bisa dinikmati. Namun, faktanya, Negara justru menghasilkan berbagai kebijakan dan proyek/program yang justru memperburuk ketidakadilan dan penindasan bagi perempuan. Berbagai kebijakan yang dirumuskan negara sebagai solusi dalam mengatasi kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan hingga krisis pangan dan iklim kerap tidak menjawab pada akar persoalan dan justru menciptakan terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan hak asasi perempuan (HAP).
Misalnya, mengatasnamakan penanganan krisis iklim dan pandemi Covid-19, Negara justru mendorong berbagai kebijakan dan kemudahan proyek yang semakin mempersulit situasi masyarakat. Pandemi juga dijadikan salah satu alasan negara memuluskan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) dengan dalih untuk bangkit dari kelesuan ekonomi yang terjadi akibat pandemi. Fakta yang terjadi, berbagai proyek hari ini hadir untuk merampas kehidupan dan sumber kehidupan perempuan justru diperkuat dan dilegitimasi oleh berbagai ketentuan di dalam UUCK.
Label Proyek Strategis Nasional (PSN) seolah menjadi jaminan akan terselenggaranya proyek tanpa perlu memperhatikan masyarakat yang terdampak maupun kerusakan lingkungan yang akan dihasilkan. Food Estate yang digadang-gadang sebagai solusi krisis pangan justru mengancam lahan pertanian produktif warga dan keberagaman pangan lokal, serta meminggirkan petani dari lahan pertanian dengan melibatkan militer. Tidak hanya itu, food estate juga memperparah kerusakan hutan. WALHI mencatat lebih dari 3 juta hektar food estate berada di kawasan hutan, dan sebagian berada di kawasan hutan lindung. Begitu pun dengan PLTA dan berbagai proyek energi skala besar lainnya yang mengatasnamakan energi terbarukan sebagai solusi dari krisis iklim, nyatanya justru merendam lahan pertanian, merusak ekosistem, merampas sumber mata pencaharian rakyat, hingga menghancurkan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Keterlibatan aparat keamanan di dalam mengamankan proyek-proyek investasi semakin memperlihatkan wajah negara yang otoriter dan anti kritik.
Solusi palsu juga terlihat dalam perlindungan PBM, perempuan justru berhadapan dengan Kepmenaker no. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan pelarangan penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah (Kepmenaker 260). Kebijakan ini lagi-lagi mengatasnamakan perlindungan dalam merespon tingginya kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan buruh migran asal Indonesia di wilayah tersebut. Nyatanya, Kepmenaker 260 ini justru melanggar hak perempuan untuk bekerja, dan menghasilkan persoalan yang semakin kompleks bagi perempuan, termasuk menambah kerentanan terhadap trafficking.
Perlindungan palsu Negara yang demikian memperparah pemiskinan dan peminggiran masyarakat serta memperkuat ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan. Sayangnya, negara justru gencar menghasilkan ratusan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan baik di Nasional maupun Daerah juga dibiarkan terus berlaku hingga saat ini. Bahkan negara melalui DPR juga kerap menggagas kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan perempuan tetapi sesungguhnya mengandung aturan untuk membatasi dan menghilangkan hak perempuan. Komnas Perempuan di tahun 2021 merilis setidaknya ada 421 kebijakan diskriminatif yang mempengaruhi terhambatnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan.
Konsistennya negara dalam menghasilkan perlindungan palsu diakibatkan oleh keberpihakan pada kepentingan investasi, bukan keberpihakan pada masyarakat terlebih perempuan. Demi investasi, berbagai upaya dilakukan negara untuk membungkam suara rakyat yang kritis. Berbagai proses kebijakan maupun proyek pembangunan kerap dilakukan tanpa pelibatan bermakna, persetujuan masyarakat dan perempuan yang terdampak. Tak hanya itu, tindakan represif dan pengerahan aparat keamanan senantiasa menjadi pilihan negara dalam menghadapi suara-suara kritis masyarakat. Berbagai cara dilakukan, termasuk di antaranya peretasan gawai/akun media sosial, intimidasi, pembubaran kegiatan, dan kriminalisasi. Pembungkaman juga dilegitimasi melalui kebijakan, di antaranya dengan RKUHP bermasalah yang terus ngotot untuk disahkan. Pada akhirnya, alih-alih menjalankan kewajiban untuk melindungi, negara justru menjadi aktor utama dalam melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM serta Hak Asasi Perempuan. Negara semakin jauh dari cita-cita perlindungan rakyat, termasuk perempuan, yang telah dimandatkan di dalam Konstitusi RI.
Oleh karena itu dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, sekaligus Hari Hak Asasi Manusia, Solidaritas Perempuan, Institute for Women Empowerment, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup, Serikat Buruh Migran Indonesia dan Trend Asia menuntut Negara untuk :
- Menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan dengan menghentikan solusi-solusi palsu;
- Mencabut seluruh kebijakan investasi dan diskriminatif yang mengancam hidup dan sumber kehidupan perempuan;
- Menghentikan pembangunan proyek-proyek solusi palsu yang mengakibatkan konflik, pengrusakan terhadap lingkungan dan sumber-sumber kehidupan perempuan;
- Memberikan perlindungan bagi pembela HAM melalui kebijakan negara, termasuk menjalankan Pasal 66 UU PPLH;
- Menghentikan upaya-upaya kekerasan dan pendekatan militeristik dengan tidak melibatkan aparat keamanan dalam penanganan konflik maupun proses-proses demokrasi di Indonesia.