16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan : Perempuan Berdaulat, Akhiri Ketidakadilan: Menggugat Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi

16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan : 
Perempuan Berdaulat, Akhiri Ketidakadilan:Menggugat Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi

Jakarta, 25 November 2017 – Tiga tahun Jokowi-JK memegang tampuk tertinggi penyelenggaraan negara, semakin nyata bahwa kepemimpinan pada periode ini belum mampu membawa perubahan yang mengarah pada upaya mengakhiri segala bentuk 

kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Negara tidak hanya luput melihat situasi khusus perempuan dengan berbagai lapisan identitas yang melekat pada dirinya, tetapi justru semakin memapankan segala bentuk ketidakadilan yang selama ini dialami perempuan, baik melalui kebijakan atau program yang dilahirkan maupun pembiaran terhadap berbagai praktik sosial yang mendiskreditkan perempuan.

Maraknya aksi-aksi yang dilakukan kelompok ekstrimisme agama dan dibiarkan oleh negara telah secara arogan memaksakan penggunaan tafsir-tafsir agama untuk mengontrol tubuh, pikiran, dan ruang gerak perempuan. Hal ini bahkan dilegitimasi oleh berbagai kebijakan diskriminatif yang melanggar hak perempuan dan digunakan sebagai marketing politik untuk memperoleh simpati publik mayoritas namun mengorbankan kepentingan kelompok lain, khususnya perempuan.

Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat/Pidana (Qanun Jinayat) merupakan salah satu kebijakan daerah yang mengatasnamakan agama dan moral justru melanggar  Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, serta menimbulkan berbagai persoalan. Dalam pasal perkosaan, korban diberi beban pembuktian yang seharusnya dilakukan penyidik. Sementara pelaku, hanya dengan mengucapkan sumpah sudah bisa terbebas dari jeratan hukum. Hal ini mengakibatkan perempuan korban perkosaan kesulitan untuk melaporkan kasusnya, dan mendapatkan keadilan. Tak hanya itu, eksekusi hukuman cambuk yang dilakukan di hadapan publik juga menghasilkan trauma yang mendalam terutama bagi perempuan, serta dampak berkepanjangan seperti stigmatisasi, pengusiran, dan lain sebagainya.[1]

Di sisi lain, kebijakan negara yang fokus pada agenda investasi turut melahirkan kekerasan dan ketidakadilan berlapis bagi perempuan. Di sepanjang 2016, pemerintah telah menyediakan 14 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan untuk mempermudah para pengusaha berinvestasi. Implikasi nyata dari dibukanya peluang investasi sebesar-besarnya adalah meningkatnya konflik agraria. Perkebunan skala besar seperti sawit dan tebu, pertambangan, proyek infrastruktur, hingga proyek atas nama perubahan iklim, telah mengakibatkan dirampasnya rumah, tanah, dan sumber-sumber kehidupan masyarakat. Pada 2016 saja, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terdapat 450 konflik agraria sepanjang tahun 2016, dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Dari luas wilayah konflik tersebut, perkebunan menempati urutan pertama dalam luasan wilayah, yakni 601.680 hektar. Konflik agraria tersebut juga disertai dengan kekerasan yang kerap melibatkan aparat militer, serta intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga.

Investasi juga masuk ke dalam sektor hak dasar masyarakat, salah satunya adalah air. Di Jakarta misalanya, privatisasi air mengakibatkan perempuan tidak bisa mendapatkan air minum dan air bersih yang layak dan terjangkau. Situasi tersebut juga menambah beban perempuan, yang harus mencari air di tempat yang jauh, menunggu air hingga tengah malam, ataupun bekerja lebih berat untuk dapat membeli air. [2]

Sementara Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 yang berbicara tentang kedaulatan pangan, dalam 3 tahun perjalanan pemerintahan Jokowi, nyatanya terjadi sesat pikir dalam memaknai kedaulatan pangan sebagai swasembada pangan yang hanya berorientasi pada peningkatan produksi pangan dengan memaksakan petani untuk menanam komoditi yang dianggap diminati dan dibutuhkan pasar. Bukannya berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan dan kebutuhan pangan masyarakat, perempuan produsen pangan justu dipaksa

menyesuaikan diri dengan kepentingan pasar dan kehilangan kearifannya dalam pengelolaan pertanian termasuk dalam hal pemuliaan benih. Sementara, kesejahteraan tidak dapat dirasakan karena pemerintah tidak mampu memutus rantai tengkulak.

Di sektor perikanan, disahkannya UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Petambak Garam, dan Pembudidaya Ikan tidak lantas memberikan dampak pada kesejahteraan nelayan, terlebih perempuan nelayan. Pembangunan di wilayah pesisir seperti proyek reklamasi yang digalakan pemerintah dengan investasi swasta di berbagai wilayah di Indonesia menimbukan persoalan penggusuran dan hilangnya mata pencarian nelayan. Dalam situasi di atas, Perempuan akan mengalami ketidakadilan berlapis akibat kehilangan sumber-sumber kehidupannya, juga akibat masyarakat yang patriarki, di mana perempuan tidak mendapatkan akses informasi maupun akses terhadap forum-forum pengambilan keputusan. Hal ini turut diperparah dengan berbagai kebijakan negara yang tidak mengakui dan melindungi peran dan kepentingan perempuan di berbagai sektor.

Peran gender yang dilekatkan kepada perempuan sebagai pengurus keluarga mendorong perempuan untuk berpikir dan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. Hilangnya sumber-sumber kehidupan perempuan juga akan mengakibatkan perempuan terlempar jauh dari lingkungan dan komunitasnya. Solidaritas Perempuan mencatat, ada relasi yang kuat antara hilangnya akses dan kontrol perempuan atas sumber-sumber kehidupannya, dengan meningkatnya angka perempuan buruh migran di Indonesia. Pendidikan yang rendah pun membuat perempuan buruh migran tidak punya pilihan pekerjaan yang cukup di luar negeri selain sektor informal, seperti pekerja rumah tangga maupun buruh perkebunan kelapa sawit.

Nyatanya, menjadi buruh migran di tengah lemahnya perlindungan negara justru menambah lapisan ketidakadilan perempuan. Berdasarkan catatan penanganan kasus SP, Perempuan Buruh Migran mengalami kekerasan dan penindasan dalam setiap proses migrasi, seperti penganiayaan, dicaci maki, perkosaan, gaji tidak dibayar, beban kerja dan waktu kerja yang eksploitatif, larangan berkomunikasi dengan keluarga, larangan beribadah, tidak mendapat fasilitas kerja yang layak, deportasi, hingga kriminalisasi dan menjadi korban perdagangan orang/trafficking. Data SP menunjukkan sebanyak 90% kasus-kasus yang dialami perempuan buruh migran pekerja rumah tangga. Sayangnya, perubahan UU No.39 Tahun 2004 pun belum secara menyeluruh melindungi buruh migran, tertutama perempuan pekerja rumah tangga migran. Sistem yang berlaku sekarang terus melanggengkan ketergantungan perempuan terhadap pihak swasta, dengan tidak diakuinya pekerja rumah tangga mandiri di dalam UU yang baru.[3]

Dalam situasi tersebut, perempuan yang terus melakukan inisiatif dan perlawanan, untuk mendapatkan hak-haknya juga harus berhadapan dengan ancaman kriminalisasi dan intimidasi dari berbagai pihak. Sepanjang Januari-Juni 2017 ini saja, kriminalisasi dan kekerasan dalam konflik agraria terjadi di berbagai wilayah, di mana kasus-kasus tersebut telah meningkatkan beban dan dampak berlapis yang dialami perempuan. Di antaranya juga terdapat perempuan petani yang dikriminalisasi,[7] ataupun mendapatkan kekerasan yan dilakukan oleh aparat.[8] Sikap pemertintah Jokowi-JK dengan mengeluarkan Perppu Ormas yang saat ini telah disahkan menjadi UU Ormas semakin menunjukkan karakter represif pemerintah. Alih-alih melindungi perempuan, kebijakan ini justru akan mengancam demokrasi, meningkatkan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai konteks. Perempuan akan semakin kehilangan ruang untuk berpikir dan bersikap kritis dalam memperoleh hak-haknya, dan kelompok perempuan berada pada situasi terancam oleh penindasan dan ketidakadilan. Perjuangan perempuan korban konflik agraria, perempuan nelayan/pesisir, perempuan buruh migran dan perempuan marginal lainnya, yang mengalami penindasan dan ketidakadilan akibat kebijakan, proyek maupun program yang dilahirkan pemerintah Indonesia akan semakin terbungkam karena ancaman tuduhan melanggar ketertiban umum atau melawan ideologi negara.[4]

Pemaparan di atas telah menjadi bukti bahwa 3 Tahun pemerintahan Jokowi-JK sama sekali tidak melihat perempuan sebagai bagian penting dari kelompok masyarakat. Kebijakan yang dilahirkannya tidak mengakui dan mengakomodir situasi khusus maupun peran dan posisi perempuan, sehingga gagal mewujudkan hak perempuan di berbagai konteks. Padahal telah jelas, Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan yang mengharuskan keterlibatan perempuan dalam pembangunan nasional dan Indonesia juga telah meratifikasi kovenan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak seluruh warga negaranya, tidak terkecuali perempuan. Nyatanya, selama lebih dari 3 tahun pemerintahannya, Jokowi-JK justru memperkuat kekerasan itu sendiri. Karena itu, Solidaritas Perempuan menilai, bahwa selama sisa kepemimpinan mereka, Jokowi-JK, harus melakukan langkah nyata, dalam mengakui, melindungi, menghormati, dan memenuhi hak perempuan. 

[1] https://www.upr-info.org/sites/default/files/document/indonesia/session_27_-_may_2017/sp_upr27_idn_e_main.pdf

[2] Keterangan lebih lanjut dapat melihat hasil penelitian Solidaritas Perempuan di tautan berikut: http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2013/04/Booklet-Pemantauan-Hak-Atas-Air-Jakarta.pdf

[3] http://www.solidaritasperempuan.org/hrwg-dan-solidaritas-perempuan-ruu-ppmi-harus-berdasarkan-standar-konvensi-pekerja-migran-1990/

[4] http://www.solidaritasperempuan.org/sikap-politik-solidaritas-perempuan-atas-ancaman-penghancuran-demokrasi-dan-gerakan-masyarakat-sipil-melalui-perppu-nomor-2-tahun-2017-perppu-ormas/

 

Sumber: http://www.savebumn.com/2017/11/16-hari-anti-kekerasan-terhadap.html

Translate »