Press Release -16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
”Sayangi Uroeng Inong Aceh”
Kehidupan perempuan Aceh, sampai hari ini masih mengalami kekerasan dalam berbagai ranah, baik ranah domestik maupun ranah publik. Situasi kekerasan terhadap perempuan baik ketika terjadi konflik sumber daya alam di Aceh, diskriminasi terhadap perempuan dalam penerapan Syariat Islam, hak-hak perempuan survivor konflik yang sampai hari ini belum dipenuhi oleh pemerintah, bahkan kekerasan terhadap perempuan juga masih terjadi diranah politik.
Setelah konflik, kehidupan perempuan lebih seperti ’pihak yang tidak diperhitungkan’ karena yang terlibat konflik selama ini lebih dapat disebut sebagai dunia laki-laki, dan perempuan hanya bisa menjadi ’larut’ dalam dinamika konflik selama ini tanpa dapat melakukan apa-apa. Padahal, ketika konflik terjadi perempuan-perempuan banyak menjadi negosiator, salah satunya kasus Pusong, dimana perempuan dan anak-anak membuat pertahanan untuk melindungi laki-laki dari TNI di desanya, bahkan ada perempuan yang mengirimkan surat ke TNI untuk meminta dihentikannya perang. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi perhatian dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat, pasca perjanjian damai masih banyak perempuan yang belum mendapatkan hak-haknya termasuk perempuan korban pemerkosaan yang hari ini membutuhkan pemulihan trauma.
Selain itu, penerapan Syariat Islam hari ini, juga masih diskriminatif terhadap perempuan, salah satu penyebabnya adalah perempuan kurang dilibatkan dalam proses-proses pembentukan kebijakan terkait Syariat Islam. Penafsiran agama juga masih menjadikan salah satu faktor terjadinya diskriminasi tersebut, salah satu contohnya adalah sering terjadinya sweeping terhadap pakaian perempuan, hal ini terkesan syariat hanya mengontrol tubuh dan pakaian perempuan saja, sementara laki-laki diabaikan dari jaringan hukum syariatnya.
Perempuan merupakan kelompok masyarakat yang selama ini merasakan dampak atas berbagai situasi tersebut, akan tetapi situasi tersebut sering diabaikan bahkan tidak diperhatikan bagi pihak-pihak pengambil kebijakan. Akses informasi yang sangat terbatas juga terjadi pada perempuan, menjadikan perempuan tidak mengetahui berbagai perkembangan situasi terkini khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian kasus yang terkait dengan dirinya. Hal ini terbukti dari hasil dialog publik melalui Radio talk tanggal 22 Nov 2010.
Radio Talk tersebut bertema ”Sayangi Inong Aceh” yang merupakan bagian dari memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang juga merupakan cita-cita yang selama ini diharapkan dapat terwujud, kehidupan tanpa kekerasan terhadap perempuan dalam segala aspek.
Oleh karena itu, dalam radio talk tersebut SP Aceh menyampaikan beberapa rekomendasi terkait dengan situasi perempuan yaitu :
- Pentingnya Keterlibatan perempuan dalam proses-proses pembentukan kebijakan-kebijakan terkait dengan Syariat Islam serta sosialisasinya.
- Perlu Menyediakan pusat imformasi tentang kebijakan Syariat Islam yang bersifat adil dan bisa diakses publik
- Mendesak pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam setiap perencanan pembangunan dan juga dalam merancang setiap kebijakan mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi.
- Mendesak pemerintah melakukan pengkajian ulang terhadap pemberlakuan syariat Islam
- Mendorong perempuan Aceh untuk proaktif terlibat dalam politik melalui pendidikan politik dan juga pro-aktif dalam merespon setiap kebijakan yang tidan bersifat adil terhadap perempuan.
Badan Eksekutif Komunitas
Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh
Ketua Badan Eksekutif Komunitas
Donna Swita Hardiani