Dalam filosofi Cina, angka 8 merupakan angka keberuntungan. Bagi Indonesia, angka 8 memiliki makna tersendiri khususnya dalam posisinya sebagai anggota pendiri di Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).
Pertemuan kepala negosiator yang dilaksanakan di Jakarta pada 3 – 4 November 2015 merupakan pertemuan ke 8 yang secara khusus membahas kerangka kerja sosial dan lingkungan. Selain itu, Indonesia juga sebagai Negara yang memiliki kontribusi saham terbesar ke 8 di bank yang terbentuk atas inisiasi Cina tersebut. Dari angka 8 yang menghiasi keterlibatan Indonesia di AIIB, apa maknanya juga adalah keberuntungan?
Yuk ! simak 8 ancaman terkait keterlibatan Indonesia di AIIB.
- AIIB memiliki kerangka kerja untuk sosial dan lingkungan. Dalam kerangka kerja tersebut disebutkan mekanisme pendekatan bertahap (Phased Approach). Pendekatan ini berisiko karena memungkinkan persetujuan pembiayaan dan pelaksanaan proyek tanpa terlebih dahulu menyelesaikan analisis dampak lingkungan dan sosialnya. Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus pertambangan emas PT. Newmont Minahasa Raya (NMR). Dimana proyek berjalan sementara analisis dampak lingkungannya belum final. Hal ini berakibat pada penolakan warga Teluk Buyat akibat pencemaran tailing hingga berujung pada tuntutan pengadilan.
- AIIB juga tidak memiliki kategorisasi proyek yang mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang. Jika mempertimbangkan saja tidak, maka penanganan pun akan nihil.
- AIIB, yang tidak secara eksplisit menyertakan perlindungan terhadap dampak lingkungan dan sosial dalam setiap proyek yang disponsorinya, memberi ancaman nyata bagi masyarakat terkait hilangnya akses terhadap sumber-sumber kehidupan. Kalau sumber-sumber kehidupan sudah tidak terjangkau maka banyak angka yang akan meningkat. Yakni; angka kelaparan, angka buruh migran, angka kematian ibu dan anak, dsb.
- Pertanggungjawaban terhadap lingkungan dan sosial yang tidak ada membuat proyek-proyek yang disponsori AIIB rentan mendapat penolakan dari masyarakat terdampak. Sebagaimana pengalaman dibanyak daerah, untuk mengatasi penolakan tersebut dilibatkanlah aparat yang akhirnya merepresi masyarakat hingga terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di daerah bahkan juga melibatkan mobilisasi preman-preman berbayar sehingga menyulut konflik horizontal.
- Selain itu, proyek-proyek yang disponsori AIIB juga berpotensi membuat masyarakat adat menjadi tercerabut kehidupan sosial dan budayanya. Contohnya seperti yang dialami oleh suku Malind di Merauke yang menggantungkan hidupnya di Hutan. Setidaknya 18 orang suku Malind tewas akibat tersesat di hutan sawit seluas 2,1 juta Ha. Hal ini terjadi karena demografi hutan yang berubah total.
- AIIB juga tidak mengatur transparansi proyek sehingga sulit bagi masyarakat untuk melakukan control dan memastikan kepentingan masyarakat tidak terpinggirkan akibat proyek tersebut.
- AIIB masih permisif terhadap penggunaan batu bara yang tinggi emisi karbon. Hal ini bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan pengurangan emisi hingga 29% di muka Konvensi Perubahan Iklim.
- Situasi dan kebutuhan spesifik perempuan hanya menjadi wacana, tanpa adanya pengaturan mengenai mekanisme lebih lanjut untuk kebijakan dan proyek yang sensitive dan responsive gender. Misalnya saja, AIIB tidak memiliki ketentuan untuk menyediakan informasi dan data terpisah secara gender (gender segregated information and data) terutama untuk analisis dampak dan resiko, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang proyek, ketersediaan informasi secara sensitif gender, dan mekanisme pengaduan yang sensitif dan responsif gender. Padahal dampak buruk dari pengembangan proyek-proyek akan lebih banyak menyasar perempuan dan anak. Dalam proyek batu bara misalnya, partikel halus yang dihasilkan menyebabkan gangguan janin dan kelahiran premature serta gangguan metal dan fisik (sumber : www.epa.gov/IRIS). Di Indonesia, kasus semacam ini terjadi di masyarakat sekitar PLTU Cilacap. Di Aceh setidaknya ada 400 orang, yang dominan terdiri dari perempuan dan anak, mengalami keracunan amoniak yang dihasilkan batu bara.
Itulah 8 ancaman yang akan dihadapi Indonesia terkait keterlibatannya dalam AIIB. Selama ini, sudah banyak persoalan dan kekerasan terhadap masyarakat yang diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur. Jangan biarkan kehadiran AIIB semakin memperkuat kekerasan dan peminggiran masyarakat, terutama perempuan.
Dibuat Oleh : Suci Fitriah
Solidaritas Perempuan