Ada Lembaga Keuangan Internasional di Balik Privatisasi Air

Jenewa, 25 Oktober 2017. Aktivis Solidaritas Perempuan, Ariesta Kurniawaty, menilai kerja sama pemerintah dan swasta banyak didorong lembaga keuangan internasional. Itu seperti yang terjadi dalam kasus privatisasi air di Jakarta. “Ide privatisasi air di Jakarta dimulai saat Bank Dunia menawarkan pinjaman kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastruktur di tahun 1992. Dan kemudian, pada tahun 1999, Bank Dunia kembali memberikan pinjaman (water resources sector adjustment loan/Watsal) yang membuka peluang keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan layanan air,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima rilis.id di Jakarta, Rabu (25/10/2017).

Skema kerja sama tersebut, tambahnya, membuat pemerintah melepaskan tanggungjawabnya untuk memenuhi hak warga atas layanan publik, seperti terjadi di banyak negara. Di sisi lain, perusahaan dapat mengambil keuntungan besar dari sektor layanan publik. Alhasil, kebanyakan warga seringkali tak mendapatkan air. Kalaupun ada, berkualitas buruk dan alirannya kecil. “Bagi perempuan yang karena peran gendernya paling lekat dengan air, maka dampak yang lebih berat dan mendalam dirasakan oleh perempuan,” ungkapnya. Fakta tersebut sesuai hasil pemantauan Solidaritas Perempuan bersama perempuan akar rumput di lima wilayah ibu kota pada 2015.

Kualitas air yang buruk menimbulkan penyakit kulit dan mengakibatkan gangguan kesehatan reproduksi. Perempuan pun harus bangun sejak dini untuk menampung air, karena tak mengalir kala pagi. Bahkan, mengharuskan perempuan mencari sumber air bersih lain. “Sehingga, biaya yang harus dikeluarkan oleh perempuan juga lebih banyak,” urainya.

Bagi Solidaritas Perempuan, privatisasi air merupakan langkah keliru. Soalnya, air kebutuhan dasar dan HAM serta tanggung jawab negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi dari ancaman aktivitas korporasi. “Perusahaan yang tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan, tidak boleh terlibat dan menghambat realisasi HAM, termasuk hak asasi perempuan,” tegasnya dalam diskusi “Mind the Gap: A Feminist Approach to the Binding Treaty”, sela sesi sidang ketiga Kelompok Kerja Antar-Pemerintah di Markas Besar PBB, Jenewa, Selasa (24/10/2017) waktu setempat.

Karenanya, Solidaritas Perempuan meminta Pemerintah Daerah (Pemda) DKI segera mengakhiri kontrak dengan Palyja dan Aetra, sebagaimana Keputusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31 K/Pdt/2017. Apalagi, putusan itu menyebut penyerahan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada swasta melalui perjanjian kerja sama merupakan perbuatan melawan hukum. Selanjutnya, MA memerintahkan tergugat menghentikan swastanisasi air di Jakarta serta mengembalikan pengelolaan air minum sesuai norma hak atas air, sebagaimana tertuang dalam Kovenan Hak Ekosob dan Komentar Umum Hak atas Air PBB. “Kasus ini menegaskan fakta, bahwa skema kerja sama pemerintah dan swasta merupakan praktik gagal, merugikan negara, dan melanggar hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan,” tandas Aries, sapaannya.

 

Sumber:
Rilis.ID (http://rilis.id/ada-lembaga-keuangan-internasional-di-balik-privatisasi-air.html)

Translate ยป