Pada tanggal 4 Februari 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelenggarakan debat kelima atau debat terakhir bagi kandidat capres dalam pilpres yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang dengan mengusung tema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi. Pada pembahas debat yang berdurasi 120 menit tersebut isu perempuan Buruh Migran belum menjawab akar permasalahan secara komprehensif dengan pernyataan yang disampaikan oleh para. Capres nomor urut satu, menyatakan bahwa untuk melindungi buruh migran perlu pelibatan aktivis buruh migran karena para aktivis tersebut yang memiliki pengetahuan dan negara yang memiliki kewenangan, hal yang sama disampaikan Capres nomor urut dua, sedangkan Capres nomor tiga menyatakan untuk menjawab tantangan pelindungan buruh migran, hal utama yang harus dilakukan adalah memastikan legalitas buruh migran.
Jika dilihat dari pernyataan para capres tersebut, arah penyelesaian persoalan Perempuan Buruh Migran hanya kasus per kasus, dan mengabaikan keterlibatan perempuan buruh migran dan keluarganya dalam upaya Kuratif, Preventif sebagai solusi dalam upaya pemenuhan dan pelindungan. Padahal Perempuan Buruh Migran adalah subjek yang paling rentan terhadap situasi ketidakadilan pada seluruh tahapan migrasi. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dalam debat Capres juga tidak disebut sama sekali. Padahal semangat dari undang-undang ini adalah memberikan kepastian dan pelindungan bagi Perempuan Buruh Migran oleh negara.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang dirilis pada tahun 2022 penempatan Perempuan Buruh Migran (PBM) mencapai angka 122.147 (61%), dan Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh PBM. yaitu mencapai angka 60.595 (23.2%). Data penempatan PBM pada sektor PRT yang dirilis oleh BP2MI bisa saja lebih rendah, karena tingginya penempatan buruh migran terutama perempuan secara unprosedural. Sedangkan berdasarkan data kasus Solidaritas Perempuan, sepanjang tahun 2023, jumlah kasus PBM yang mengalami pelanggaran hak, kekerasan serta menjadi korban trafficking sebanyak 43 kasus dan terus meningkat.
Temuan Solidaritas Perempuan, feminisasi migrasi terjadi akibat pemiskinan struktural melalui paradigma pembangunan patriarki berorientasi pada kepentingan investasi yang monopoli dan mengeksploitatif sumber daya alam melalui deregulasi proyek-proyek energi iklim, seperti Smelter dan PLTA di Palu Sulawesi Tengah,Kendari Sulawesi Tenggara. Proyek geothermal di Lampung dan Nusa Tenggara Timur . Selain itu Proyek strategis nasional melalui pembangunan Makassar New Port, food estate di kalimantan, bendungan meninting Mataram serta kebijakan HGU perkebunan skala besar PTPN XIV di Takalar Sulawesi Selatan. Masifnya proyek yang mengatasnamakan pembangunan Nasional berdampak pada meluasnya perampasan lahan, penggusuran dan penghancuran sumber hidup perempuan yang mengabaikan partisipasi bermakna dan pelindungan hak-hak perempuan menciptakan lapisan kekerasan dan ketimpangan ekonomi yang sistematis bagi perempuan petani, perempuan nelayan dan perempuan adat. karena situasi ini telah memaksa mereka untuk meninggalkan kampung halaman dan bekerja menjadi buruh migran di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan ia dan keluarganya dengan berbagai bentuk pelanggaran hak, ketidakadilan, kekerasan, eksploitasi dan bahkan menjadi korban trafficking.
“Calo memaksa saya untuk bekerja ke luar negeri meskipun pada saat itu saya sedang sakit dan butuh pengobatan untuk melunasi hutang saya. Calo menjanjikan penyakit saya akan diobati oleh majikan, gaji yang tinggi 7 juta/bulan, kerja ringan dan pekerjaan yang nyaman. Calo tidak pernah menginformasikan kalau bekerja ke Timur Tengah termasuk Erbil itu dilarang. Saya diberangkatkan tanpa ada kontrak kerja, dan pelatihan sebelum berangkat. Saya harus bekerja pada dua majikan dari jam 00.00-19.00 malam (17 jam). Tolong bantu pulangkan saya ke Indonesia, saya sudah tidak kuat kerja lagi” – Rokayah, Perempuan Buruh Migran Asal Indramayu di Kota Erbil-Irak
Fitriani S Pairunan Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Palu menyatakan “Persoalan pelanggaran HAM Perempuan Buruh Migran masih dilihat sebagai persoalan partikular kasus per kasus, bukan merupakan masalah sistematik. Padahal jika dilihat dari situasi perempuan memilih bekerja keluar negeri karena faktor kemiskinan dan pemulihan ekonomi pasca bencana yang terjadi, covid-19 dan juga diperparah dengan adanya krisis dan proyek iklim . Pilihan bekerja keluar negeri karena perempuan selalu memastikan kebutuhan ekonomi dalam keluarga dapat terpenuhi”.
Sementara itu, Suryani Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri, menyatakan bahwa provinsi Sulawesi Selatan merupakan provinsi ke 7 tertinggi yang mengirimkan perempuan buruh migran, yang mencapai angka 60% dari keseluruhan buruh migran yang berasal dari Sulawesi Selatan, dengan negara penempatan didominasi oleh Malaysia. Suryani juga berpendapat bahwa pemerintah Sulawesi Selatan telah gagal memberikan pelindungan bagi Perempuan Buruh Migran, terutama yang dideportasi dari Sabah, Malaysia pada saat terjadi pandemic Covid 19. “Pengalaman SP Anging Mammiri dalam melakukan advokasi kasus di Sulsel, menunjukkan bahwa pemerintah daerah gagal melindungi, memenuhi hak-hak buruh migran, serta gagal dalam penanganan deportasi dan repatriasi PBM yang dideportasi dari sabah, Malaysia ke Indonesia selama Pandemi Covid-19”, Pungkas tuturnya.
Provinsi Lampung juga merupakan lumbung migran dengan angka kasus yang cukup tinggi. dimana Lampung merupakan provinsi terbesar kelima penempatan pekerja migran. Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Lampung pada bulan Mei 2022 penempatan pekerja migran sebanyak 11.023, pekerja migran laki-laki 3.987 sekitar 36 % dan pekerja migran perempuan 7.036 atau 64% pada sektor formal dan informal dengan lima negara penempatan tertinggi seperti Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan dan Italia. Menurut Reni Yuliana Moetia Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Sebay Lampung “Migrasi tenaga kerja luar negeri hari ini dihadapkan pada persoalan yang kompleks yang disebabkan oleh sangat minimnya implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan undang-undang tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik sampai dengan tingkat pemerintah desa, sehingga pemerintah desa tidak mengetahui kewenangannya sebagai instansi terdekat dengan perempuan buruh migran dan keluarganya”.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi pengirim Perempuan Buruh Migran tertinggi di Indonesia. Tidak hanya sebagai provinsi tertinggi dalam hal pengiriman Perempuan Buruh Migran namun juga sebagai salah satu provinsi tertinggi yang Perempuan Buruh Migrannya menjadi korban trafficking. Pada tahun 2017, NTT dinobatkan sebagai provinsi dengan tindak pidana perdagangan orang tertinggi. Setiap tahun NTT menerima ratusan peti Jenazah. Sepanjang
2023, ada 256 peti jenazah pekerja migran. Dan sudah ada 12 Jenazah selama 2024. Namun hingga saat ini belum ada penanganan yang tepat dan bisa memberi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.
Linda Tagie selaku Ketua Badan Komunitas SP Flobamoratas NTT, berharap bagi capres terpilih dapat menghasilkan sebuah produk hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya “Kami berharap siapapun yang terpilih bisa menghasilkan satu produk hukum yang bisa memberi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya dan ada pengawasan terhadap implementasinya sehingga bisa menjawab kebutuhan korban, bukan sekadar menjadi wacana debat yang tidak substantif, Isu perempuan adalah isu yang serius sehingga benar-benar butuh penanganan yang juga serius, karena itu, kita butuh pemimpin yang berperspektif feminis dan yang memiliki keberpihakan yang jelas pada pemenuhan hak-hak perempuan”, pungkasnya.
Sementara itu di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Perempuan Buruh Migran juga banyak yang menjadi korban trafficking, Salah satu modus trafficking yang digunakan adalah iming-iming atau menjanjikan sesuatu pada calon buruh migran. Iming-iming tersebut tidak jarang disertai dengan informasi palsu yang menyesatkan calon buruh migran. Selain itu tingginya angka trafficking juga disebabkan karena pemberlakukan Kepmenaker 260 Tahun 2015 tentang
Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah, seringkali para calo menyampaikan bahwa penempatan ke negara-negara kawasan Timur Tengah adalah legal.
Menurut Nurul Utami, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Mataram menyatakan “Data penanganan kasus SP Mataram pada tahun 2023 terdapat beberapa kasus yang ditangani diantaranya adalah kekerasan seksual, gaji tidak dibayar, kekerasan fisik dan human Trafficking dengan negara penempatan Arab Saudi”. Situasi yang hampir sama juga dihadapi oleh Komunitas SP Sumbawa yang pada tahun 2023 telah menangani 13 kasus, 8 diantaranya adalah korban human trafficking. Situasi perempuan buruh migran Sumbawa masih syarat akan penindasan dan semakin rentan menjadi korban mulai dari penipuan, gaji tidak dibayar, kekerasan hingga menjadi korban perdagangan orang di setiap tahapan migrasi.
“Harapannya kami kepada calon pemimpin bangsa Indonesia kedepan tidak melakukan diskriminasi hukum kepada buruh migran yang prosedural maupun non procedural. PBM harus mendapatkan jaminan pemenuhan hak dan perlindungan hukum secara adil oleh Negara”. Tegas Hadiatul Hasanah ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Sumbawa.
Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, menilai bahwa situasi Perempuan Buruh Migran dan keluarganya di berbagai wilayah di Indonesia, seharusnya menjadi agenda prioritas didalam visi misi ketiga Capres dan Cawapres. Namun agenda politik perempuan buruh migran tidak menjadi hal yang substansi dibahas pada debat kelima yang menyoal terkait ketenagakerjaan. Feminisasi migrasi juga tidak dimaknai sebagai akar persoalan dari ketimpangan pola pembangunan patriarki yang berorientasi pada proyek investasi dan mengabaikan partisipasi dan perlindungan hak perempuan NTT, Lampung, NTB, Kendari, Palu dan Sulawesi Selatan adalah potret nyata dari pemiskinan yang sistematis bagi masyarakat khususnya perempuan di berbagai wilayah di Indonesia. lemahnya implementasi kebijakan pelindungan buruh migran dan keterlibatan sektor swasta dalam proses perekrutan dan penempatan migrasi menambah lapisan ketidakadilan bagi PBM di seluruh tahapan migrasi. Padahal peran dan kontribusi perempuan buruh migran sangat signifikan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia melalui tingginya remintesni yang diperoleh.
Berdasarkan situasi diatas Solidaritas Perempuan mendesak kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada pemilu 2024 untuk:
- Menjadikan Agenda politik Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya menjadi agenda prioritas jangka panjang untuk menjawab akar persoalan ketenagakerjaan luar negeri;
- Menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan Kepmenaker 260 tahun 2015 yang berdampak terhadap eksploitasi Perempuan Buruh Migran;
- Mengesahkan RUU Pekerja Rumah Tangga sebagai payung hukum dalam memastikan perlindungan dan Pemenuhan Hak bagi Perempuan yang bekerja di sektor Informal (Rumah Tangga);
- Memastikan implementasi kebijakan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indones
Narahubung : 0812-8078-8634