AGENDA POLITIK PEREMPUAN: MEWUJUDKAN KEDAULATAN PEREMPUAN UNTUK INDONESIA YANG BERKEADILAN

Indonesia akan menggelar perhelatan pemilihan umum 2019 (pemilu 2019) yang meliputi pemilihan presiden dan wakilnya, 575 anggota DPR RI, 139 anggota DPD RI, 2.207 anggota DPRD Provinsi dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten. Pemilu 2019 ini merupakan pertama kalinya pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara serentak dengan pemilihan para anggota legislatif. Ada 16 partai politik dan 4 partai daerah khusus di Aceh yang akan berkompetisi pada pemilu 2019 ini.

Hiruk pikuk pemilu 2019 sudah terasa jauh sebelum tahapan formal dimulai. Berbagai narasi di ruang publik hingga polarisasi yang kental dirasakan oleh masyarakat hingga ke akar rumput selalu dikaitkan dengan agenda elektoral ini. Bahkan tak jarang mengalihkan perhatian publik dari persoalan rakyat yang lebih substantif. Padahal secara resmi, tahapan formal pemilu 2019 baru dimulai pada September 2019 dan akan mencapai puncaknya pada hari pencoblosan pada 17 April 2019.

Memenangkan Suara Perempuan?

Pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipublikasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tercatat sebanyak 185.732.093 orang yang terdiri dari 92.802.671 pemilih laki-laki dan 92.929.422 pemilih perempuan yang akan memilih di 805.075 tempat pemungutan suara (TPS).

Dari jumlah tersebut, nyata bahwa suara perempuan mencapai lebih dari setengah jumlah pemilih. Dengan demikian, secara angka sudah sewajarnya persoalan persoalan perempuan, termasuk di dalamnya persoalan ketidakadilan gender menjadi agenda politik bagi para kandidat yang akan berkompetisi. Ironinya, tidak ada sikap maupun agenda politik perempuan yang cukup jelas dari para bakal calon legislatif di tingkat DPR RI dan terlebih di tingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota karena minimnya data dan informasi. Hal ini karena kampanye yang dilakukan oleh partai politik beserta calon legislatifnya lebih banyak mewacanakan dukungan dari kelompok tertentu, sebagai strategi ‘unjuk kekuatan’ ketimbang usulan program yang nyata sebagai agenda politik. Tidak banyak yang secara spesifik menyebutkan persoalan perempuan atau kelompok perempuan sebagai fokus perhatian dalam agenda politiknya. Pada level kandidat calon presiden – wakil presiden pun sesungguhnya tak jauh berbeda. Pendekatan yang digunakan masih merupakan pendekatan simbolik. Jika merujuk pada pemberitaan di media massa maupun keriuhan di sosial media, kedua kubu

kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden menggunakan istilah khusus bagi pemilih perempuan. Pasangan Prabowo – Sandi melontarkan istilah ‘emak-emak’, sedangkan pihak Jokowi – Amin menyebut perempuan sebagai ibu bangsa, yang menunjukkan keduanya terjebak dalam simbolik order.

Istilah ‘emak-emak’ lebih banyak dilontarkan oleh Sandiaga Uno dalam akun sosial medianya ketika melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk kampanye. Substansinya berkisar pada keinginan pasangan calon Prabowo – Sandi untuk menjadikan harga bahan pangan pokok stabil dan lebih terjangkau bagi ‘emak-emak’. Sementara, tidak ada sama sekali penyebutan mengenai isu ataupun program khusus terkait perempuan di dalam visi misi pasangan ini.

Pada dokumen visi misi Jokowi – Amin, disebutkan bahwa “Sebagai ibu bangsa, perempuan mendidik anak-anak sebagai penerus masa depan bangsa, memperbaiki mentalitas bangsa, menjaga moral keluarga, serta menggerakkan ekonomi keluarga dan masyarakat”.

Kedua statement di atas justru memperkuat konstruksi gender yang melekatkan perempuan untuk tanggung jawab domestik, dan bukan pada pengakuan peran signifikan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, maupun jaminan hak-hak perempuan secara holistik. Cara pandang ini juga memperlihatkan objektifikasi terhadap perempuan yang semata-mata dilihat sebagai penerima program, sekaligus berorientasi pada mobilisasi perempuan melalui program yang terkesan populis untuk kepentingan perolehan suara. Pada dua kali debat, kandidat presiden – wakil presiden juga gagal melihat kekhususan situasi perempuan dan masih melihat masyarakat sebagai kelompok yang homogen dalam konteks isu hak asasi manusia, pangan, lingkungan dan sumber daya alam. Tidak ada debat yang substantif terkait perempuan menunjukkan kedua pasang kandidat tidak memiliki pemahaman maupun perhatian terhadap isu perempuan.

Perempuan Memaknai Politik

“Personal is Political”

Sekitar lima puluh tahun yang lalu, prinsip personal is political telah menjadi panduan gerakan feminisme gelombang kedua. Prinsip ini secara jelas dan singkat merangkum gagasan bagaimana dan mengapa pengalaman perempuan menjadi penting untuk didorong sebagai agenda politik. Hal ini yang seringkali diabaikan dalam proses demokrasi di Indonesia, khususnya demokrasi elektoral. Perempuan diposisikan dalam peran-peran reproduksi sosial saja sehingga tidak dianggap sebagai subyek/pelaku yang pengalaman dan pengetahuannya penting untuk menjadi rujukan.

Situasi dinamika politik di Indonesia saat ini semakin jauh dari sistem dan proses demokrasi yang menghargai setiap pilihan politik warga Negara. Berbagai isu dijadikan alat untuk memenangkan kekuasaan politik, terutama pada isu SARA. Politik Identitas dimainkan oleh berbagai pihak kepentingan semata-mata untuk menggalang suara termasuk di dalamnya dengan menjatuhkan pihak lain. Momentum politik hari ini masih berorientasi pada demokrasi prosedural, namun kehilangan substansinya sebagai sebuah proses untuk mencapai Hak Asasi Manusia terlebih Hak Asasi Perempuan. Lebih lanjut, politik identitas disertai dengan politik ketakutan, juga menghancurkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, serta menambah lapisan penindasan terhadap perempuan.

Melihat situasi di atas, Politik bagi perempuan bukan sesempit menentukan pilihan kandidat, mengkampanyekan pilihannya hingga datang ke bilik suara untuk mencoblos. Bukan hanya soal memilih siapa, memilih yang lebih sedikit keburukannya, atau bahkan memilih untuk tidak memilih. Politik bagi perempuan adalah membangun kesadaran kritis bagi diri dan komunitasnya terhadap situasi penindasan dan ketidakadilan yang dihadapinya dan kemudian bergerak secara kolektif untuk memperjuangkan hak-haknya. Bahwa proses elektoral untuk mengisi jabatan publik adalah salah satu momentum, namun tidak bisa menjadi tumpuan, untuk mendorong kepentingan perempuan sebagai prioritas dalam agenda politik.

Kepentingan Perempuan sebagai Agenda Politik

Berdasarkan pengalaman Solidaritas Perempuan selama 29 tahun bekerja bersama dengan perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan pembudidaya ikan, perempuan buruh migran dan keluarganya, perempuan yang hidup di bawah kebijakan diskriminatif, perempuan di wilayah pertambangan, perempuan di perkebunan kelapa sawit, perempuan berhadapan dengan konflik agraria yang menahun dan lainnya, berikut beberapa kepentingan perempuan yang penting untuk didorong.

Menjamin Penegakan Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya Hak Asasi Perempuan

Indonesia merupakan negara yang berkomitmen terhadap penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Berbagai instrumen hukum internasional telah diratifikasi berikut dengan institusi, rencana aksi maupun mekanismenya juga telah menjadi bagian dari agenda pemerintah Indonesia selama ini. Tapi fakta temuan Solidaritas Perempuan di lapangan, pelanggaran hak asasi manusia terlebih hak asasi perempuan masih kerap terjadi dalam konteks hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Untuk itu, agenda politik perempuan akan mendorong:

  1. Langkah-langkah nyata dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai bentuk, melalui implementasi UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW
  2. Penghapusan seluruh Kebijakan-kebijakan Diskriminatif, baik di level nasional maupun daerah, termasuk di antaranya Qanun Jinayat di Aceh
  3. Penghentian dan penindakan secara tegas berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, tindakan intoleransi maupun persekusi terhadap perempuan kelompok minoritas
  4. Penyusunan kebijakan perlindungan perempuan di berbagai konteks, termsuk di dalamnya Undan-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender, serta UU Penghapusan Kekerasan Seksual
  5. Keterlibatan perempuan secara substantif di dalam setiap proses pengambilan keputusan baik terkait kebijakan maupun program di berbagai tingkatan

Memastikan Akses, Kontrol, Partisipasi dan Manfaat bagi Perempuan dalam Pengelolaan Pangan dan Lingkungan Hidup

Solidaritas Perempuan melihat ancaman serius terhadap realisasi hak atas pangan akibat menguatnya pengaruh korporasi transnasional yang menguasai modal dan pasar; mendorong perjanjian bebas; perampasan tanah, air dan sumber kehidupan rakyat lainnya untuk kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur. Ancaman ini diperparah oleh Negara yang sangat buta gender dalam kebijakan maupun program yang terkait dengan realisasi hak atas pangan. Beberapa poin penting yang harus didorong antara lain:

  1. Pengakuan peran, posisi dan hak-hak perempuan dalam pengelolaan pangan yang harus terefleksi dalam setiap tahapan kebijakan dan program dengan memastikan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat terhadap perempuan.
  2. Perombakan dan penataan kembali struktur agraria melalui reforma agraria sejati yang adil gender sebagai penataan sumber pangan yang adil untuk memastikan perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap pangan dan sumber produksinya melalui keterlibatan secara luas dan kritis.
  3. Terobosan politik dan hukum dengan tindakan nyata dalam penyelesaian konflik agraria secara adil serta inklusif, sensitif dan berkeadilan gender. Termasuk tidak lagi menggunakan pendekatan militerisme dalam konflik agraria.
  4. Penyusunan kebijakan-kebijakan yang menjamin hak perempuan atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, di antaranya Undang-undang Pertanahan yang adil gender
  5. Kepastian jaminan keamanan dan keselamatan perempuan pejuang kedaulatan pangan yang memperjuangkan haknya, termasuk ancaman dari intimidasi dan kriminalisasi.
  6. Dibangunnya sistem data dan informasi yang tepat dan akurat, mencakup namun tidak terbatas pada data terpilah gender.
  7. Jaminan perlindungan wilayah kelola perempuan (tanah dan pesisir) dari berbagai ancaman, termasuk yang mengatasnamakan pembangunan.
  8. Penyusunan dan Pelaksanaan program dan kebijakan iklim yang berkeadilan gender, dengan berkomitmen pada adaptasi bagi masyarakat pertanian dan pesisir yang terkena dampak perubahan iklim. Serta penghentian solusi palsu proyek iklim yang menghilangkan kedaulatan perempuan.
  9. Harmonisasi kebijakan terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar memiliki perspektif keadulan gender di semua tingkat.
  10. Penghentian berbagai proyek pembangunan yang merampas sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup rakyat. Termasuk di dalamnya yang didukung oleh lembaga keuangan internasional.

Melindungi Hak Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya

Berbagai persoalan yang dialami perempuan buruh migran dan keluarganya turut diakibatkan oleh lemahnya kebijakan dan langkah-langkah pemerintah dalam perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Menguatnya berbagai penindasan yang dialami oleh perempuan buruh migran (PBM), terutama yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), bukan hanya akibat dari ketidakmampuan pemerintah terhadap penanganan yang komprehensif,  tetapi juga dihasilkan oleh kebijakan diskriminatif yang mengabaikan akar persoalan perempuan buruh migran. Tidak hanya itu, pemberlakuan kebijakan diskriminatif berdampak nyata terhadap menguatnya kerentanan perempuan terhadap trafficking, dengan kompleksitas perempuan yang juga semakin meningkat. Kasus-kasus di Arab Saudi dan negara Timur tengah lainnya, terus terjadi di tengah penutupan penempatan Perempuan Buruh Migran sektor domestik di berbagai negara tersebut. Data Solidaritas Perempuan menunjukkan setidaknya 13 kasus trafficking telah dilaporkan dengan modus penempatan unprocedural paska pemberlakukan Keputusan Menteri No. 260 Tahun 2015. Atas situasi tersebut, beberapa agenda penting yang harus didorong antara lain:

  1. Implementasi UU No. 18 Tahun 2017 sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan dalam Konvensi PBB Migran 1990 dan CEDAW, dengan memprioritaskan pada agenda perlindungan perempuan Buruh Migran yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.
  2. Pembahasan dan pengesahan segera 28 peraturan pelaksana UU No. 18/2017 sesuai dengan mandat yang diatur dalam UU tersebut, dengan memuat situasi dan kepentingan perempuan, sebagai kepastian hukum bagi PBM dalam memperjuangkan hak-haknya.
  3. Agenda perlindungan Perempuan Buruh Migran sebagai prioritas agenda secara substantif, dengan melibatkan buruh migran, terutama perempuan serta masyarakat sipil dalam penyusunan setiap kebijakan maupun program perlindungan buruh migran termasuk dalam pembahasan peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 2017.
  4. Evaluasi menyeluruh sebagai langkah pembatalan terhadap Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 karena bertentangan dengan Konvensi PBB Migran 1990 dan CEDAW. Termasuk pembatalan terhadap program uji coba penempatan ke Arab Saudi yang dinilai tidak berlandaskan pada kepentingan perlindungan bagi BMI khususnya perempuan.
  5. Pengakuan dan perlindungan hak bagi PBM-PRT melalui ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.
  6. Penyelesaian kasus PBM korban kekerasan dan pelanggaran hak termasuk korban trafficking dengan mengintegrasi prinsip dan mekanisme yang sensitif dan responsif gender

Sistem Ekonomi yang Berorientasi pada Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat, serta Berkeadilan antara Perempuan dan Laki-Laki

Perspektif pembangunan ekonomi yang selama ini diusung pemerintah hanya berpusat pada pertumbuhan ekonomi dengan berpatokan pada kinerja perdagangan dan bagaimana membuka akses pasar serta investasi yang sebesar-besarnya. Hal ini justru berimplikasi pada keberpihakan kebijakan-kebijakan pada investor besar yang berdampak pada perampasan sumber-sumber kehidupan dan pemiskinan struktural masyarakat. Sistem ekonomi yang demikian juga akan menghilangkan kedaulatan dan pengetahuan masyarakat tradisional, terutama perempuan, dan secara keseluruhan mengancam kedaulatan bangsa yang kian tunduk pada hegemoni korporasi dan pemodal. Untuk itu, agenda politik perempuan akan mendorong:

  1. Penghentian pembahasan perundingan-perundingan perdagangan bebas yang mengancam hak-hak masyarakat, sumber-sumber kehidupan perempuan, dan kedaulatan pangan
  2. Kebijakan dan program yang mengakui dan melindungi inisiatif-inisiatif perempuan dalam sistem ekonomi yang berbasis pengetahuan, dan pengalaman perempuan, serta pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan
  3. Keterlibatan substantif perempuan di dalam pembahasan berbagai program dan kebijakan ekonomi maupun pembangunan di berbagai level
  4. Penguatan mekanisme mitigasi dan pencegahan pelanggaran HAM maupun penghancuran lingkungan di dalam proyek-proyek investasi
  5. Pengehentian dan penindakan secara tegas terhadap perampasan sumber ekonomi dan kehidupan perempuan, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh perusahaan (swasta maupun BUMN), termasuk di dalamnya melalui sistem pertanggungjawaban HAM perusahaan yang mengikat secara hukum

Penutup

Persoalan penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan terjadi di berbagai konteks dan aspek kehidupan perempuan. Karenanya, Agenda Politik Perempuan merupakan sebuah konsolidasi situasi, pengalaman, tuntutan, maupun strategi perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya yang melampaui momentum elektoral 2019. Agenda Politik ini menjadi sebuah gagasan yang disuarakan kepada masyarakat luas sebagai pemilih cerdas, sekaligus menjadi agenda advokasi ke depan.

Translate »