Akreditasi Green Climate Fund (GCF) terhadap PT Sarana Multi Infrastruktur – Indonesia (PT SMI) Bermasalah

Siaran Pers Bersama

(Jakarta, 19 Desember 2016) – Pada 13-15 Desember 2016, Dewan Direktur Green Climate Fund, sebuah lembaga pembiayaan yang didirikan oleh 194 pemerintah untuk membatasi atau mengurangi emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang, dan untuk membantu beradaptasi masyarakat rentan terhadap dampak yang tidak dapat dihindari dari perubahan iklim, telah mengadakan rapat tahunan di Apia, Samoa. Salah satu agenda dalam pertemuan tahunan ini adalah membahas permohonan akreditasi PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) kepada Dewan Direktur Green Climate Fund (GCF). Akreditasi ini akan menentukan sebuah perusahaan mendapatkan dana dari GCF baik sebagai lembaga perantara pembiayaan pembangunan, maupun sebagai pelaksana kegiatan pembangunan yang akan dibiayai oleh GCF.

Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia telah menyampaikan keberatan disetujuinya akreditasi PT. SMI dalam pertemuan tersebut. Namun pada akhirnya, Dewan Direktur Green Climate Fund (GCF) menyetujui akreditasi PT SMI, dengan sejumlah catatan. Kami tetap menilai bahwa PT. SMI tidak layak untuk mendapatkan akreditasi GCF, dan pengelolaan dana GCF oleh PT. SMI berpotensi untuk merusak lingkungan hidup, tidak memberikan perlindungan kepada masyarakat rentan, khususnya masyarakat adat, perempuan, anak-anak dan penyandang dissabilitas, dan tidak mendorong pembangunan yang rendah karbon. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

  1. PT. SMI Mengabaikan Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sosial. Pedoman lingkungan dan sosial (Enviromental and Social Safeguard/ESS) 2016 baru selesai dan masih membutuhkan pengalaman dalam pelaksanaannya. Pengalaman sangat penting, karena menangani proyek-proyek pembangunan yang beresiko baik kategori A maupun B tidak hanya membutuhkan prosedur yang baik, tetapi juga prilaku kelembagaan yang baik. Rekam jejak PT. SMI yang menjadi pemegang saham utama di PT. Indonesian Infrastruktur Fund (PT. IIF) yang wajib memakai ESS yang sama dengan Safeguards Bank Dunia, baru tujuh tahun sejak didirikan pada tahun 2009, menyusun ESS dan untuk pertama kali pada 2016 hanya menempatkan beberapa ahli lingkungan hidup dan sosial  di PT SMI. Sehingga sesungguhnya PT. SMI sama sekali tidak memiliki “budaya perlindungan lingkungan dan masyakat”.
  2.  “Perlindungan” Sosial dan Masyarakat PT. SMI Baru DIbuat dan Sangat Lemah. Pedoman perlindungan lingkungan dan sosial (ESS) 2016 PT.SMI memiliki kelemahan yang substansial, yaitu belum memenuhi standard minimal dalam: (1) penyediaan informasi dan keterbukaan publik, (2) lemah dalam proses pengembangan partisipasi publik, dan (3) lemah dalam pendekatan AMDAL dan perizinan sebagai instrumen perlindungan lingkungan dan sosial.
  3. Tidak Partisipatif. PT SMI dalam membahas dokumen ESS 2016, maupun proyek-proyek yang dibiayai atau akan dilaksanakannya tidak melakukan proses konsultasi publik yang mencerminkan proses yang bermakna (meaningful participation)
  4. Mendapatkan Penolakan. Tidak adanya pengalaman dan lemahnya perlindungan lingkungan dan sosial mengakibatkan proyek-proyek pembangunan PT. SMI mendapatkan penolakan dari masyarakat. Sebagai contoh, untuk proyek-proyek infrastruktur untuk mitigasi perubahan iklim. PT. SMI dalam permohonannya mengajukan pengalamannya dalam pembangunan bendungan Passeloreng di Sulawesi Selatan, yang diharapkan menjadi credit point dalam proses akreditasi. Padahal, pemantauan kami, masyarakat di lokasi pembangunan bendungan, sedang melakukan penolakan. Mereka menolak untuk dipindahkan dan menolak pemberian kompensasi. Masyarakat yang menolak mendirikan posko-posko perlawanan dan menghadapi intimidasi dari aparat keamanan perusahaan.
  5. Tidak Berpengalaman Dalam Menangani Issue Gender. PT SMI baru membuat gender framework dan gender action plan pada tahun 2016, sehingga masih dibutuhkan pengalaman dan pembelajarannya, serta perubahan perilaku dalam mengelola mainstreaming gender. Kami juga tidak melihat adanya konsultasi publik terbuka kepada masyarakat sipil mengenai kebijakan gender.

Kami menyesalkan GCF dalam melakukan pernilaian akreditasi tidak terbuka dan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat sipil dan korban pembangunan PT. SMI untuk memberikan informasi lain selain dari informasi yang diajukan pemohon. Demikian halnya, pemerintah Indonesia (NDA Indonesia) tidak secara terbuka menyampaikan perusahaan-perusahaan yang akan mengajukan akreditasi. Sampai sekarang, walaupun proses ini mesti terbuka dan diwarnai oleh konsultasi publik, sama sekali tidak diketahui persero dan lembaga pemerintah yang mana yang masih dipersiapkan untuk dijadikan calon penerimaan dana GCF untuk pencegahan dan ameliorasi dampak perubahan iklim. Sehingga, kami menilai pembiayaan pembangunan untuk perubahan iklim tidak akan mencapai sasarannya, yaitu lingkungan hidup akan semakin rusak dan masyarakat rentan semakin termarjinalkan.

Demikian siaran pers ini kami sampaikan

———-

The Ecological Justice (Indonesia); Indonesian Legal Resource Center/ILRC; ELSAM; TUK Indonesia; WALHI– Friends of the Earth Indonesia; WALHI Sulawesi Selatan; WALHI Jawa Barat; Solidaritas Perempuan; Aksi! for gender, social and ecological justice; Yayasan Pusaka; The Institute for National and Democratic Studies (INDIES); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); AURIGA; Spora Institute; LBH Semarang; Jaringan Advokasi Tambang (JATAM); Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA); link-AR Borneo; Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh; Solidaritas Perempuan Palembang; Solidaritas Perempuan Sebay Lampung; Solidaritas Perempuan Jabotabek; Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta; Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso; Solidaritas Perempuan Palu; Solidaritas Perempuan Kendari; Lingkar Sahabat SP Aceh; Serikat Petani Indonesia (SPI) Palembang; Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI); Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar; Solidaritas Perempuan Sumbawa; WALHI Jakarta; Kelompok Pejuang Perempuan Seri Bandung – Palembang; Sawit Watch; BaliFokus Foundation; Walhi Sumatra Selatan; Indonesian Human Rights Committee for Social Justice; Center of Research on Environment, Appropriate Technology, and Advocacy (CREATA); Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR); Perkumpulan Tanah Air, Sumatra Selatan; Lingkar Hijau, Sumatra Selatan; HuMa; DPP Serikat Petani Indonesia; Institute Dayakologi.

Kontak :

Andi Muttaqien  ELSAM                   08121996984
Puspa Dewi       Solidaritas Perempuan  085260241597
Siti Aminah        ILRC                 081908174177

Translate »