Bencana di Pelupuk Mata, Hidup Perempuan di DAS Meninting Terancam: Pulihkan Kawasan Hutan dan DAS Meninting, Tinjau Ulang Proyek Bendungan Meninting

Siaran Pers
Lombok, 19 Juni 2022
Untuk disiarkan segera!

Tanggul proyek bendungan Meninting yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Meninting, Kabupaten Lombok Barat jebol pada Jumat 17 Juni 2022. Tanggul tersebut jebol karena hujan yang terjadi di kawasan gunung dan hutan yang terindikasi mulai rusak karena alih fungsi kawasan. Ditambah, bendungan Meninting yang merupakan Proyek Strategi Nasional juga dibangun di atas  lahan seluas 90 Ha di mana 4,95 Ha masuk ke dalam kawasan hutan (KemenPUPR, 2020).

Padahal menurut data hasil pantauan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hujan terbilang ringan hingga sedang dengan curah hujan berkisar 0-50 mm. Ini tidak jauh berbeda dengan data yang diungkapkan Badan Pusat Statistik (BPS) di mana bulan Juni hingga Oktober merupakan bulan-bulan dengan intensitas hujan terendah. Sementara, curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada akhir tahun dengan curah hujan mencapai 345 mm. Artinya, potensi terjadinya air bah yang lebih besar dapat terjadi di masa yang akan datang saat curah hujan mencapai titik tertingginya.

Potensi ini diperkuat oleh hasil kajian dan pemetaan resiko bencana yang dilakukan Solidaritas Perempuan (SP) Mataram bersama dengan perempuan-perempuan di beberapa desa di kawasan DAS Meninting pada Mei 2022. Bahwa pembangunan bendungan Meninting dapat menimbulkan ancaman banjir bandang karena semakin berkurangnya wilayah resapan air akibat alih fungsi lahan dan hutan. Di sisi lain, proyek bendungan Meninting juga semakin menjauhkan akses air bagi masyarakat setempat karena jutaan kubik air yang akan ditampung oleh bendungan diperoleh dari air terjun Tibu Tereng dan air terjun Aiq Kelep yang selama ini menjadi sumber air masyarakat.

Sementara, kawasan DAS Meninting semakin kritis akibat tambang pasir dan batu, timbulan sampah, pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sendimentasi, serta bantaran sungai yang semakin tergerus dari semula lima meter kini hanya mencapai satu meter. Resiko bencana juga semakin menguat karena posisi pemukiman sedikit lebih rendah dari tinggi muka air sungai.

Situasi tersebut mengancam kehidupan masyarakat, tidak hanya korban jiwa namun keseimbangan ekosistem menjadi terganggu dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat sekitar, terutama perempuan yang kerap memanfaatkan hutan aren untuk industri rumah tangga yang kini semakin hilang akibat pembangunan bendungan Meninting.

“Perempuan di sekitar bendungan Meninting rata-rata bekerja sebagai petani, buruh tani, dan memanfaatkan tanaman aren. Jika bendungan terus dilanjutkan ditambah kawasan hutan dan DAS Meninting yang sudah semakin kritis maka perempuan pasti akan sangat terdampak terutama dari sisi ekonomi. Kalau sudah kehilangan sumber ekonominya, perempuan akan menghadapi kerentanan lainnya yang jauh lebih luar biasa, seperti kemiskinan dan kekerasan” ungkap Nurul Utami, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mataram.

Dalam memori kolektif masyarakat di kawasan DAS meninting, banjir besar hanya pernah terjadi satu kali, yakni pada tahun 1985, dan terjadi lagi pada tahun 2015. Setelah tahun 2015, frekuensi banjir menjadi lebih sering terjadi seiring dengan kerusakan kawasan hutan dan DAS Meninting. Namun, setelah dimulainya proyek pembangunan bendungan banjir terjadi berturut-turut dengan intensitas yang lebih besar dan membahayakan masyarakat.

Atas situasi tersebut, Solidaritas Perempuan Mataram mendesak pemerintah untuk:

  1. Melakukan upaya mitigasi bencana secara masif yang melibatkan seluruh kelompok rentan, terutama perempuan, untuk mengantisipasi bencana yang berpotensi terjadi pada intensitas hujan yang lebih tinggi pada akhir tahun.
  2. Melakukan upaya pemulihan kawasan hutan dan DAS Meninting secara komprehensif dan mengembalikan fungsi kawasan agar masyarakat dapat terhindar dari bencana.
  3. Meninjau ulang proyek bendungan Meninting yang dilaksanakan tanpa musyawarah, terutama bersama perempuan sebagai kelompok rentan, dan telah terbukti mengancam keberlangsungan hidup masyarakat, baik dari sisi ekonomi, budaya, politik, dsb.

 

 

Mba Nurul-SP Mataram

Translate »