Bermigrasi keluar negeri untuk bekerja telah lama menjadi pilihan terakhir bagi perempuan sebagai strategi untuk bertahan hidup demi keluarganya maupun dirinya sendiri. Keputusan ini biasanya dilandasi berbagai faktor antara lain meluasnya situasi kemiskinan di desa tempat tinggalnya yang tidak saja berdampak pada laki-laki, namun juga pada perempuan, dengan kehilangan akses terhadap penghasilan, dan sumber-sumber kehidupannya. Kondisi ini secara lebih khusus, sebenarnya dapat dikatakan sebagai feminisasi kemiskinan yang termanifestasi ke dalam feminisasi migrasi. Feminisasi migrasi ini menunjukkan bagaimana sebenarnya proses globalisasi tidak hanya berdampak pada perampasan sumber produksi dan sumber penghidupan masyarakat di dalam negeri, tetapi juga dapat mempengaruhi pola hidup dan konsumsi masyarakat sehari-hari, sehingga mendorong pergerakan tenaga kerja yang melampaui batas-batas nasional, semakin memperdalam pembagian kerja secara seksual, dimana perempuan ditempatkan pada sektor domestik, dan laki-laki pada sektor publik. Faktor lainnya karena adanya peningkatan permintaan dari Negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja yang dapat mengurus pekerjaan domestik dengan bayaran relatif lebih rendah dibanding standar setempat atau Negara lain.
Pemiskinan terhadap Perempuan Buruh Migran jauh terjadi sebelum mereka memasuki proses perekrutan. Keputusan perempuan untuk menjadi buruh migran sebagian besarnya adalah hasil dari relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Keputusan biasanya dipengaruhi oleh anggota keluarga laki-laki yang dianggap sebagai wali yang berhak atas diri perempuan, seperti suami, ayah, paman, kakek, atau kakak laki-laki. Perempuan dituntut sebagai pihak yang harus turut bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga ketika ayah atau suami mereka tidak mampu memenuhinya. Tentu saja tanpa mempertimbangkan dan dengan mengabaikan kepentingan perempuan. Dengan keadaan ekonomi yang semakin mendesak, perempuan yang sulit mendapatkan akses pekerjaan dengan tingkat pendidikan rendah semakin sulit bergerak dan tidak memiliki pilihan lain selain bekerja keluar negeri sebagai Pekerja Rumah Tangga. Selama proses pendaftaran, penempatan sampai pemulangan, Perempuan Buruh Migran rentan menjadi korban kekerasan dan mengalami penindasan. Minimnya informasi yang diterima, berbagai kontrol dan represi oleh keluarga juga agensi, termasuk lemahnya kebijakan dan sistem perlindungan yang tidak berpihak menjadikan perempuan sebagai sasaran dari praktik-praktik traficking dan berbagai kekerasan lainnya. Penindasan yang dialami Perempuan Buruh Migran masih berlanjut hingga di tempat kerja. Kondisi ini ditunjukkan dari berbagai laporan kasus seperti situasi dan kondisi kerja yang tidak layak, terbatasnya akses informasi dan mobilitas, kurangnya pengetahuan bahasa setempat dan hak-hak dalam kontrak kerja, tertutupnya akses terhadap perlindungan hukum yang tersedia. Budaya patron klien, feodalisme dan patriarki yang hidup subur di masyarakat Negara tujuan juga merupakan faktor lain yang membuat kerentanan Perempuan Buruh Migran semakin tinggi. Perempuan Buruh Migran tidak memiliki kemampuan tawar menawar dan dipaksa patuh pada majikan. Ditambah masih tingginya kasus-kasus kekerasan fisik, psikis, seksual hingga kematian yang dialami Perempuan Buruh Migran Indonesia.
Lebih Lengkapnya:
Briefing Paper “Menyoal Visi Misi Capres dan Cawapres 2019-2024 dalam Mewujudkan Perlindungan bagi Perempuan Buruh Migran”