Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menemui Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) di Kantor Sekretariat Solidaritas Perempuan guna melakukan audiensi berkaitan dengan penyiksaan hingga berujung kematian pada tahanan deportan Indonesia di Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah, Malaysia (30/6). Sebelumnya, publik digemparkan dengan laporan Tim Pencari Fakta KBMB yang diterbitkan 25 Juni 2022. Dalam laporannya, sepanjang Januari 2021 sampai Maret 2022, sedikitnya 17 WNI yang ditahan di Depot Tahanan Imigresen (DTI) Tawau telah meninggal dunia ketika menunggu proses deportasi.
Sebelumnya, dalam proses audiensi KBMB ke Kedutaan Besar (Kedubes) Malaysia (24/06) disebutkan bahwa data kematian tahanan WNI adalah 149 orang. Namun hal tersebut kembali diklarifikasi pihak Kedubes Malaysia melalui akun twitternya yang menyebutkan bahwa data tersebut adalah data keseluruhan WNA, sedangkan total Tahanan WNI yang meninggal adalah 18 orang. Menanggapi hal tersebut, Kepala BP2MI, Benny Rhamdani menyebutkan, “data yang kami dapat justru lebih dari itu, 848 yang dipulangkan dari Malaysia dalam kondisi meninggal”. Tahun 2020 sejumlah 378 orang, tahun 2021 sejumlah 575 orang, dan tahun 2022 sejumlah 98 orang.
Pihak KBMB menegaskan agar masing-masing instansi tidak fokus pada perbedaan jumlah data kematian yang ada, karena bagaimanapun sulit untuk memverifikasi. Bahkan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) tidak pernah mendapatkan akses masuk sejak 2019, yang menandakan bahwa Imigrasi Malaysia tertutup dan tidak akuntabel.
Lebih jauh, KBMB menilai bahwa ada hal yang lebih penting dan substantif berkaitan dengan praktek pelanggaran atas seluruh standar, pedoman, dan prinsip HAM tentang penahanan migran dan keluarganya, mulai dari penangkapan sewenang-wenang, proses peradilan yang tidak adil, dan penahanan berkepanjangan. “Berapa pun angkanya, akan berdampak tinggi pada kematian, yang kematiannya bisa dikategorikan sebagai unpreventable death, kematian yang seharusnya dapat dicegah, bukan kematian alamiah seperti komentar Menteri Dalam Negeri Malaysia, dia bilang orang bisa mati di mana saja kok, gak harus di Depot Tahanan Imigrasi, kalau saya tahu yang saya tangkap akan mati, saya gak akan tangkap juga,” ungkap Abu Mufakhir, Tim Pencari Fakta KBMB.
Buruknya kondisi DTI semakin berdampak berlapis pada tahanan perempuan. Bahkan, 2 orang perempuan yang diwawancarai KBMB mengaku ditangkap dalam keadaan hamil. Sanitasi yang buruk, tidak adanya fasilitas kesehatan, dan tidak adanya pemisahan ruang tahanan membuat tahanan perempuan keguguran. “Situasi perempuan yang mengalami keguguran juga cukup besar, 5 orang yang kita temukan dalam hampir kurang lebih satu tahun ini. Mereka keguguran karena kondisi fasilitas di dalam DTI yang licin. Layanan kesehatan juga di sana, mereka ketika sakit, tunggu sekarat dulu baru dibawa ke rumah sakit,” ujar Nurismi Ramdhani, Tim Pencari Fakta KBMB. Begitu pula dengan perempuan yang keguguran bahkan tidak diberitahu ketika telah keguguran.
Dalam pertemuan, Benny juga menyebutkan bahwa BP2MI sudah berencana untuk melakukan kunjungan ke DTI sejak minggu lalu dan diizinkan pihak Malaysia. Sayangnya, pihak BP2MI baru saja mendapat kabar (30/06) bahwa BP2MI tidak diizinkan untuk datang dan mengecek langsung kondisi di DTI. “Minggu lalu kami dipersilakan datang, kemudian minggu ini disarankan untuk tidak datang,” ujar Benny berdasar pernyataan Konsulat Jenderal.
Mengingat berbagai situasi yang terjadi di seputar kematian, KBMB meyakini sebagian besar peristiwa kematian di dalam pusat tahanan imigrasi seharusnya bisa dicegah. Tingginya angka kematian di dalam pusat tahanan imigrasi yang dialami oleh buruh migran asal Indonesia dan keluarganya telah menunjukan secara jelas bahwa seluruh otoritas terkait di Sabah dengan sengaja tidak memenuhi standar kesehatan yang seharusnya berlaku di setiap Pusat Tahanan Imigrasi. Dengan sengaja dan terus menerus tidak menyediakan layanan dan infrastruktur kesehatan yang semestinya. Jika kejahatan ini tidak segera dihentikan, maka kasus kematian yang tidak perlu (unnecessary death) di dalam pusat tahanan imigrasi akan terus muncul dan semakin mengerikan.
Sebagai penutup, Arieska Kurniawaty selaku Koordinator Program BEN Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa angka yang disebutkan dalam data kematian bukan sekedar nominal, melainkan manusia yang melekat padanya hak-hak asasi. Sehingga penanganan harus dilakukan dengan kerangka hak asasi manusia. Selain itu, perbaikan tata kelola yang sistemik termasuk juga regulasi penting untuk dilakukan dengan mengedepankan partisipasi kelompok masyarakat sipil serta buruh migran dan keluarganya.