COP23 Bonn Harus Menghasilkan Aksi Nyata Bagi Perempuan

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
 
Kesepakatan pada perundingan iklim COP 23 di Bonn  belum menunjukkan perkembangan signifikan dalam upaya mengatasi krisis iklim untuk mencapai keadilan iklim. Negara maju masih menolak usulan pembahasan percepatan implementasi komitmen dan aksi iklim pra 2020 yang mengharuskan Negara-negara maju untuk meningkatkan upaya penurunan emisi mereka. Begitupun pada pembahasan pendanaan, kemauan politik dari Negara-negara maju untuk menyediakan dukungan pendanaan bagi Negara berkembang untuk operasionalisasi perjanjian Paris [1] masih dilihat sangat lemah.

Meskipun dalam pembahasan aspek gender, telah menunjukkan perkembangan dengan diadopsinya Gender Action Plan (GAP) di COP 23 ini yang mencakup 5 prioritas area[2] dan mencakup elemen mitigasi, adaptasi, pengembangan kapasitas, alih teknologi dan pendanaan. Namun, rancangan rencana aksi ini belum mencakup  sistem integrasi dalam pengembangan kapasitas yang responsive gender ataupun mensyaratkan kebijakan, aturan perlindungan, alokasi khusus dalam pendanaan, serta sistem monitoring, pelaporan dan evaluasi yang dapat memastikan akses perempuan atas informasi, peningkatan kapasitas sosial, partisipasi dalam pengambilan keputusan, beserta kondisi pendukungnya.

Namun, kehadiran GAP tidak menjamin dapat menjawab persoalan perempuan yang diakibatkan krisis iklim dan proyek-proyek solusi palsu, seperti REDD+. Pemiskinan perempuan akan terus terjadi, selama tidak adanya adanya aksi nyata dalam menghadapi laju perubahan iklim, terutama oleh Negara-negara industri sebagai penyumbang emisi terbesar. Selain itu, Berbagai proyek solusi palsu perubahan iklim yang mengancam tanah, air dan pangan masyarakat terdampak dan justru menimbulkan masalah baru, khususnya bagi perempuan.

Sayangnya, COP 23 masih mengedepankan upaya-upaya solusi palsu dalam menjawab krisis iklim. Sifat Paris Agreement yang tidak mengikat dan solusi palusi melalui mekanisme pasar dengan skema off-set dengan tetap membuka peluang bisnis iklim bagi Negara maju dan sektor swasta. REDD+,[3] Biofuel kelapa sawit, batubara ‘bersih’ (clean coal technology), geothermal, fracking, bibit transgenik, hingga rekayasa sistem bumi (geo engeneering) dijadikan skema solusi perubahan iklim  yang justru mereplikasi masalah baru, berbahaya, merusak lingkungan dan menyebabkan masyarakat, perempuan dan laki-laki, kehilangan sumber kehidupannya serta merusak nilai-nilai sosial, budaya dan spiritual mereka. Solusi ini juga memiliki dampak berlapis pada perempuan, meningkatkan beban perempuan dan ketidakadilan gender, akibat peran gender yang dilekatkan pada perempuan.

Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) telah mengakui bahwa perempuan merupakan kelompok terdampak perubahan iklim dan negara maju bertanggung jawab secara historis atas situasi pemanasan global dan percepatan perubahan iklim, sebagai dampak dari aktivitas mereka selama berabad-abad mengeksploitasi sumber daya alam, dan merusak lingkungan untuk kepentingan industri mereka. Sebagai penyebab masalah, dengan kapasitas yang besar untuk bertindak seharusnya Negara-negara maju meningkatkan ambisinya untuk melakukan penurunan emisi secara domestik dan non off-set, termasuk menyediakan dukungan pendanaan, teknologi dan pengembangan kapasitas bagi Negara-negara berkembang agar dapat melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, atas dasar prinsip keadilan, termasuk keadilan gender.

Akan tetapi, negara maju terus mengalihkan tanggung jawabnya kepada negara berkembang melalui skema-skema solusi palsu, termasuk di Indonesia. Padahal, Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan tutupan hutan yang luas dan kekayaan alam yang melimpah, menjadi salah satu Negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, sekaligus menjadi ladang uji coba proyek-proyek iklim. Selama tahun 2016 telah terjadi 2.384 bencana alam di seluruh Indonesia[4]. Sebanyak 148,4 juta warga Indonesia tinggal di titik-titik rawan bencana gempa bumi, 5 juta warga lainnya berada di daerah rawan tsunami, 1,2 juta penduduk lainnya hidup di daerah rawan erupsi gunung merapi, sekitar 63.7 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup di daerah rawan banjir, serta 40,9 juta hidup di tanah-tanah pijakan yang rawan longsor. Sayangnya, pemerintah tidak menfokuskan pada upaya-upaya adaptasi, justru fokus pada upaya mitigasi dengan terjebak dalam berbagai skema solusi palsu.

Oleh karena itu, desakan untuk memastikan keadilan iklim berkeadilan gender harus segera dilakukan dengan:
Menuntut negara-negara industri untuk menjalankan komitmen dan aksi pra 2020, dengan mengurangi emisi mereka melalui upaya domestik dan non offset, serta memberikan pengembangan kapasitas dan transfer teknologi tanpa hambatan hak kekayaan intelektual serta pendanaan iklim tanpa syarat, namun tunduk pada prinsip dan standar HAM Internasional,  dan tidak menciptakan utang baru bagi negara berkembang, terutama untuk adaptasi dalam upaya meningkatkan kemampuan dan daya tahan Negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim, dengan alokasi pendanaan khusus bagi peningkatan kapasitas sosial perempuan dan pengarusutamaan gender.

Menolak dan menghentikan segala bentuk solusi perubahan iklim yang mengkomodifikasi sumber daya alam, berbasis pasar, secara offset dan mengancam akses dan kontrol  perempuan, atas sumber daya alam dan lingkungan serta membahayakan kehidupan komunitas masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam, termasuk proyek geothermal, energi terbarukan yang rakus lahan dan air khususnya kelapa sawit, serta skema REDD+.

Memperkuat kebijakan dan rencana aksi gender dengan aturan perlindungan atau gender safeguard yang berlandaskan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender dalam memastikan akses dan kontrol perempuan atas sumber daya alam dan lingkungan, serta memperkuat inisiatif berbasis kearifan lokal dan pengetahuan tradisional perempuan dalam pengelolaannya, serta memastikan akses perempuan atas informasi dan partisipasi penuh perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan, rencana aksi, program serta proyek pembangunan dan perubahan iklim.

 
Jakarta, 20 November 2017

 

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan

 

CP: Aliza (081294189573, aliza@solidaritasperempuan.org)

——————————
[1] Sumber: Third World Network News Updates.
[2] Capacity-building, knowledge sharing and communication; Gender balance, participation and women’s leadership; Coherence; Gender-responsive implementation and means of implementation; dan Monitoring and reporting.
[3] REDD+ adalah pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan skema offset dan perdagangan karbon
[4] Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Translate »