Daeng Bau, begitu nama sapa perempuan kelahiran 28 Agustus 1967 sebagai anak kedua dari empat bersaudara yang menyelesaikan sekolahnya sampai SMA (Sekolah Menengah Atas). Aslinya, ia bernama Lili Ernayanti yang diberikan oleh orang tuanya yang dibesarkan oleh keluarga petani di Gowa. Orang tuanya sering berpindah tempat tinggal sebab ayahnya bekerja pada instansi pemerintah mengharuskan Daeng Bau tinggal bersama neneknya yang bekerja sebagai petani.
Kehidupannya sebagai petani ia lakoni sejak masih mengenyam sekolah formal. Ia membantu neneknya mulai dari menyiangi rumput sampai menuai padi yang telah memasuki musim panen. Di usianya 16 tahun, pekerjaan sebagai petani ini berhenti karena adanya pembangunan BTN[1]. Daeng Bau harus kehilangan sawahnya sebagai mata pencaharian dan pemenuhan pangan keluarganya. Sawah merupakan satu-satunya peninggalan neneknya harus dijual secara paksa untuk pembangunan, walaupun masih ada sedikit garapan sawah yang hanya dapat mencukupi pangan keluarganya, tidak ada jalan lain akhirnya Daeng Bau dan keluarganya juga mengarap lahan sayuran untuk menambah perekonomian keluarganya. Hasil panen yang biasanya dapat menutupi kebutuhan keluarga bukan hanya dikonsumsi juga dapat dijual untuk membiayai sekolah Daeng Bau dan adik-adiknya.
Ketika Daeng Bau menikah, ia tetap menjalankan kesehariannya sebagai petani sekaligus menjalankan peran-peranya sebagai Ibu rumah tangga. Bertani di sawah yang seadanya dan ladang sayuran yang juga hanya mencukupi sehari-hari sedangkan kebutuhan hidup yang terus meningkat mengharuskan ia juga menjalankan pekerjaan sebagai tukang cuci dan menerima jahitan payet untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Selain lahan yang sempit akibat lahan yang digarap hanya menjadi hak guna dan biaya produksi yang membengkak membuat Daeng Bau dan petani di wilayahnya tidak dapat menggantungkan hidup mereka dari hasil pertanian. Penggunaan bibit, pupuk dan pestisida yang mengharuskan membeli dari dinas pertanian kemudian menambah biaya produksi dan menyingkirkan bibit lokal. Sebelum masuknya mekanisasi pertanian pada awal tahun 1980an, Daeng Bau dan petani di wilayah Gowa menggunakan bibit lokal yang mereka kembangkan dari hasil bibit yang ditanam sebelumnya. Bibit lokal itupun sirna karena adanya gempuran bibit transgenik, yang biasa disebut IR.
Penggunaan bahan-bahan kimia yang terus-menerus dipakai oleh petani sangat menggangu kesehatan, begitu pun yang dirasakan oleh Daeng Bau dan petani perempuan lainnya. Mereka sudah mulai mengalami gangguan kesehatan pada tubuhnya dari sesak nafas dan “ngilu-ngilu”, meskipun belum menyadari bahwa gangguan tersebut akibat penggunaan bahan-bahan kimia.
Semua pekerjaan telah dijalaninya untuk menghidupi dan menambah perekonomian keluarganya, dari menjadi buruh cuci sampai menerima jahitan payet pun diambilnya sebagai strategi untuk tetap survive menjalani kehidupan saat ini dimana daya beli masyarakat sudah tidak terjangkau.
Adalah semangat Daeng Bau untuk mengikuti diskusi-diskusi yang iadakan oleh organisasi yang konsern dengan isu pertanian alternatif tanpa menggunakan bahan-bahan kimia, mengubah kesadaran individu dan berbuntut pada perubahan kesadaran kolektif perempuan. Ia mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang membuka wawasan Daeng Bau bahwa situasi yang dialami oleh petani perempuan di wilayahnya merupakan rentetan persoalan. Keinginannya untuk merubah kondisi tersebut dan berbagi informasi kepada petani perempuan lainnya-lah yang menambah energinya untuk terus mencari dan mempraktikkan pengetahuan yang pernah ia dapatkan dari diskusi dan training-training.
Bukan persoalan mudah bagi Daeng Bau untuk mengubah pemikiran dimana masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan bibit, pupuk dan pestisida yang mereka beli dari dinas pertanian yang siap pakai kembali memakai bibit, pupuk dan pembasmi hama. Ia sadar betul perubahan memerlukan proses yang tidak sebentar. Menurutnya, kendala ini juga berasal dari kesadaran semu perempuan. Ketika ia mengajak perempuan-perempuan untuk mendiskusi hal ini dan menggunakan pupuk organik, perempuan-perempuan lain memilih untuk tidak hadir dan merasa bodoh untuk hadir dalam diskusi. Menurut perempuan, diskusi hanya untuk orang-orang yang pintar dan mencicipi pendidikan formal. Peran mereka sebagai ibu rumah tangga yang sibuk tidak memberi mereka peluang untuk menggunakan akses lain. Situasi ini tidak menyurutkan keinginan Daeng Bau.
Perjuangan Daeng Bau bukan hanya melawan sistem yang telah lama mengakar dan membuat petani bergantung. Ia juga ingin mengubah situasi perempuan ke arah yang lebih baik. Meski lelah, Daeng Bau tidak menyerah begitu saja, karena baginya sebagai perempuan tidak boleh sekedar menerima nasib tetapi dapat melakukan sesuatu.
Daeng Bau menerapkan ilmu yang ia dapatkan dengan mempraktikkannya dalam pembuatan pupuk organik dan mengelola bibit organik di sawah miliknya sendiri, hasilnya sangat memuaskan sawah dan hasil panen sayuranya sangat memuaskan. Usaha tidak percuma menjadikan hasil panen yang bagus tersebut menjadi daya tarik perempuan-perempuan di wilayahnya. Pembuktian ini kemudian membuat perempuan ingin mencoba hal yang sama. Meski melalui proses yang panjang, hasil panen yang didapatkan justru lebih baik dengan biaya yang lebih murah. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa kealamian produksi mereka tidak akan menggangu kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi perempuan.
Situasi itu pun dimanfaatkan Daeng Bau untuk membuka ruang diskusi bagi perempuan-perempuan dengan topik hak-hak perempuan hingga tentang peran dan pentingnya keterlibatan perempuan dalam menentukan pemilihan bibit dan pola tanam. Ia pun menjalarkan daya kritisnya pada perempuan lain yang membuat laki-laki mencibir dan menganggap diskusi tersebut menjadikan perempuan lebih berani dan ekspresif untuk melawan suaminya. Daeng Bau pun menanggapinya dengan bijak, “Mereka bukan melawan, tapi mereka sudah mulai pintar dan paham akan hak-haknya”.
Perjuangan Daeng Bau membuahkan hasil manis. Saat ini, kelompok petani perempuan sudah dapat menghasilkan pupuk organik. Bukan hanya itu, terdapat ruang untuk mengembangkan dan mengelola bibit sayur organik. Daeng Bau selalu menjadi motivator dan penggerak bagi perempuan-perempuan di wilayahnya.
Apa yang dilakukan oleh Daeng Bau sesungguhnya berawal dari pemetaan struktur kekuasaan terhadap faktor dan aktor baik yang mendukung maupun yang melemahkan diri mereka. Ketika Daeng Bau sudah mampu memetakan siapa dan apa kekuatan yang mendukung dan melemahkan mereka, tahapan selanjutnya adalah narasumber mampu merefleksikan pemetaan yang dibangun berdasarkan pengalaman dan situasi kehidupan sehari- hari mereka untuk kemudian menyampaikan inisiatif diri untuk membentuk aksi yang mampu meminimalisir terjadinya pelemahan terhadap dirinya.
Agensi ini juga mampu merangkum, mengemukakan dan menyampaikan inisiatif individunya secara eksplisit. Inisiatif- inisiatif individu dianalisa secara bersama dalam setiap pertemuan/ diskusi kampung untuk menghasilkan strategi yang efektif dan efisien. Strategi inilah yang kemudian dinyatakan dalam bentuk aksi kolektif yang tetap menguatkan posisi individu, bahwa hak- hak individu mereka dapat tetap dihargai dan diperjuangkan. Aksi kolektif menegaskan bahwa perjuangan setiap individu dirangkum dalam sebuah rasa solidaritas bersama, menjadikan strategi mereka lebih efektif dan mempunyai ‘kekuatan’ yang lebih besar.
Daeng Bau yang menjadi agent of change[2] disebut sebagai pelaku perubahan indigenous karena mereka mampu menjadi contoh bagi perempuan akar rumput lainnya. Mereka mampu ‘menularkan’ keberanian mereka dengan membangun kesadaran kritis perempuan akar rumput lainnya, mengajak mereka untuk aktif berpartisipasi dalam diskusi/ pertemuan kampung yang mereka tentukan sendiri dan berasal dari inisiatif diri mereka. pelaku perubahan indigenous inilah yang diangap oleh komunitas mereka sebagai ‘pemimpin’, vocal point untuk menampung keluh kesah perempuan akar rumput lainnya, promotor penggerak kesadaran kritis perempuan akar rumput dalam komunitasnya.
Daeng Bau juga berperan sebagai fasilitator bagi perempuan akar rumput yang kemudian juga berperan memobilisasi perempuan akar rumput di komunitasnya untuk terlibat dalam diskusi atau pertemuan kampung dan membahas serta menentukan strategi kolektif bersama.
Peran-peran ini memperlihatkan bahwa Daeng Bau secara individual menjadi subjek pemberdayaan. Tindakan Daeng Bau yang dilatarbelakangi oleh pengalaman dan pengetahuan bersinergis untuk perubahan yang kemudian menular pada ranah kolektif. Keputusan perubahan berdasarkan pengalaman Daeng Bau di tingkat individu yang kemudian dirasakan bersama oleh perempuan lainnya dan menjadi inisiatif perubahan bersama, bukan hasil dari proses-proses struktural pada pemegang kekuasaan[3].
Kisah ini juga menunjukkan bahwa perubahan di tingkat individu memerlukan waktu yang tidak sebentar dan modal yang kompleks. Pengalaman mereka atas kekerasan dalam rantai patriarki sangat berlapis, sehingga, kesadaran untuk keluar dari satu lapisan ke lapisan lain tidaklah mudah dan membutuhkan daya bertahan yang cukup tinggi.
Perubahan di tingkat individu menuju ke ranah kolektif tidak linear. Gerak maju mundur selalu terjadi ketika kesadaran bersentuhan dengan masalah kritis berkaitan dengan orang lain. Keputusan untuk maju terus tanpa melihat realitas perempuan lain yang semakin terintimidasi akibat perilakunya menjadikannya referensi dalam mengambil keputusan. Tidak jarang perempuan kemudian mengambil langkah mundur dan diam di tempat demi perubahan yang lebih besar. Perempuan menyadari kesadaran selalu dibentuk pengetahuan dan pengalaman yang sifatnya sangat personal. Kesadaran tidak lahir dari keterpaksaan.
Rantai kekerasan yang terus menerus ddialami membuat perempuan tidak pernah dapat mendefinisikan dirinya sendiri sebagai perempuan yang juga memiliki hak seperti manusia yang lain. Pengalaman perempuan dan sejarahnya sebagai objek dominasi kekuasaan dari tingkat keluarga membentuk persepsi bahwa menjadi perempuan adalah makhluk subordinat yang sepantasnya diabaikan. Seperti pendidikan yang tidak pernah diprioritaskan pada mereka sebab sedari kecil mereka telah menjadi faktor produksi dalam skala rumah tangga pun mereka juga terlalu sibuk dengan urusan domestik sehingga pemikiran bagaimana cara perubahan dapat diwujudkan seperti tampak jauh dari realitas. Namun bagi perempuan-perempuan ini yang telah memiliki modal karakter sebagai pemimpin baik yang lahir dari bawaan psikologis maupun melalui proses penciptaan melalui berbagai pengalaman pahit, perubahan bukan hal yang tidak mungkin. Perempuan-perempuan ini kemudian mengabdikan dirinya sebagai agensi perubahan yang menjadikan mereka sebagai sosok teladan. Sosok perempuan yang patut ditiru. Faktor keteladanan ini kemudian yang menjalar pada perempuan lain.
[1] bantuan perumahan kredit kecil
[2] Agent of change atau agen perubahan adalah pihak-pihak yang menginisiasi perubahan dan mempengaruhi orang lain dalam mengambil keputusan sesuai dengan yang diharapkan oleh perubahan itu sendiri.
[3] Perbedaan konstruksi pemikiran penelitian ini dengan Karen Oppenheim Mason berasal dari keprihatinan kita masing-masing. Ia memikirkan tentang pengukuran pemberdayaan, yang berangkat dari asumsi bahwa ’pemberdayaan’ sendiri sudah ada untuk diukur. Sementara kita berkutat pada proses pemberdayaan dan pelemahan sebagai suatu dinamika yang berfluktuasi sebagai hasil dari perselisihan-perselisihan kekuasan yang sedang berlangsung.