Patriarki dan kapitalisme bersama-sama mendorong penetrasi budaya globalisasi di negara berkembang dan khususnya Indonesia, yang berimplikasi terhadap kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya perempuan. Dampak yang dialami perempuan di antaranya keterbatasan akses dan kontrol terhadap sumber penghidupan, marginalisasi dan kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam dan manusia, penghancuran nilai sosial budaya dan hilangnya kedaulatan pengetahuan perempuan. Kerjasama patriarki dan kapitalisme menciptakan sebuah situasi di mana perempuan makin mengalami ketidakdilan gender, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan ekologis, demikian juga hilangnya pengetahuan dan kearifan perempuan. Globalisasi ekonomi menghancurkan pranata kehidupan petani lokal, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan yang merupakan produsen utama dalam pertanian maupun perikanan.
Pembangunan berkelanjutan yang dianut pemerintah Indonesia saat ini yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah sistem yang memihak pada negara maju/industri maupun perusahaan multinasional/transnasional untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan tenaga kerja, yang mentransfer kekayaan dari Indonesia keluar, dan mengabaikan kepentingan rakyatnya, terutama kepentingan perempuan. Pola pembangunan saat ini yang bertumpu pada utang luar negeri telah menyebabkan determinasi kepentingan-kepentingan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia dan ADB. Perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia tanpa memberikan perlindungan kepada petani, nelayan, masyarakat adat, miskin kota, pedagang, buruh migran perempuan, pekerja rumah tangga, lebih mewakili sebuah kepentingan korporasi pangan yang memicu perampasan tanah, sumberdaya air, benih, hutan dan keanekaragaman hayati. Pembangunan berkelanjutan seperti ini justru memicu migrasi kerja tanpa perlindungan hak di dalam dan di luar negeri. Pembangunan berkelanjutan juga mengabaikan meningkatnya fundamentalisme dan intoleransi yang terpicu oleh kesulitan ekonomi maupun persaingan hegemoni politik.
Kami, 200 perempuan dan laki-laki dari Aceh, Padang, Palembang, Lampung, Jakarta, Bogor, Karawang, Cianjur, Salatiga, Jogjakarta, Semarang, Madura, Blitar, Surabaya, Bojonegoro, Malang, Lombok, Sumbawa, Kendari, Makassar, Palu dan Poso yang hadir dalam Konperensi Perempuan “Memperkuat Gerakan Perempuan Indonesia Menghadapi Penetrasi Budaya Globalisasi dan Mencari Bentuk Alternatif Pembangunan Berkelanjutan” pada 21-22 Mei 2015 di Jogjakartabersama ini menyatakan sebagai berikut:
- Pembangunan harus dalam bingkai budaya konstruktif, menggali dan menggunakan kembali akar budaya Indonesia yang selama ini ditinggalkan. Ketidakadilan terjadi karena pendidikan berbudaya dihilangkan, dan budaya dijadikan sesuatu yang tidak dipahami ataupun di lain pihak didegradasi menjadi kesenian dan upacara komersial. Menguatkan budaya kita adalah mengurangi globalisasi; mandiri dengan budaya sendiri, nilai-nilai bangsa menjadi pondasi pembangunan untuk menyelesaikan persoalan bangsa.
- Prihatin terhadap meningkatnya fundamentalisme dan intoleransi yang berusaha keras untuk menghapus nilai pluralisme/keberagaman bangsa Indonesia, sehingga menimbulkan kekerasan baik terhadap kelompok agama, kepercayaan dan etnis berbeda maupun pada kelompok minoritas termasuk mereka dengan orientasi seksual dan identitas gender berbeda.
- Pembangunan berkelanjutan tidak boleh bersifat eksploitatif terhadap manusia dan alam serta mampu bertahan terhadap penetrasi kultur globalisasi sehingga mampu menciptakan tatanan kehidupan yang adil gender, adil sosial dan adil ekologis.
- Permasalahan perempuan akibat penetrasi kultur globalisasi, harus segera diselesaikan oleh Pemerintah baik ditingkat desa, kabupaten, propinsi, dan Negara dengan menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan, serta kearifan perempuan, diantaranya perubahan kebijakan dan program Negara yang merupakan bagian dari penetrasi kultur globalisasi.
- Pola-pola terbaik dalam mempertahankan kemandirian komunitas serta membangun kemandiran untuk lepas dari ketergantungan pada pasar yang dipicu oleh globalisasi ekonomi antara lain dengan (1) mengandalkan kepada kemampuan masyarakat sendiri dan apa yang dimiliki oleh masyarakat serta tidak tergantung kepada luar; (2) menjaga sumber-sumber kehidupan, (tanah, air, hutan, laut) dan menjaga keseimbangan alam sama dengan menjaga kehidupan masyarakat, dan juga menjaga hubungan dalam keluarga,
- Kader-kader pemimpin perempuan feminis dapat menjadi panutan bagi generasi muda untuk keberlanjutan pengetahuan dan kearifan perempuan
- Membangun kemandiran dalam kehidupan, memelihara budaya gotong royong, kerja sama, tidak tergantung pada produk luar dan mengolah benih warisan nenek-moyang.
- Untuk memperkuat gerakan perempuan Indonesia menghadapi penetrasi budaya globalisasi perlu menngali, menguatkan dan menggunakan pengetahuan dan kearifan perempuan dalam melawan penetrasi budaya globalisasi; kita juga perlu membangun kesadaran terhadap tokoh-tokoh di masyarakat terhadap penetrasi globalisasi tersebut, memperkuat jaringan dengan berbagai pihak diantaranya masyarakat adat, tokoh agama, pihak pembuat kebijakan serta menuntut pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat terutama perempuan.
Kami berkomitmen untuk terus melakukan penguatan terhadap perempuan dan masyarakat di tingkat akar rumput untuk memperkuat gerakan perempuan dan gerakan masyarakat sipil dalam menyuarakan kepentingan perempuan yang berkeadilan, melindungi hak asasi perempuan di berbagai sektor/isu dan memperkuat nilai pluralisme di Indonesia, dan lebih lanjut berkomitmen untuk terus mendorong perubahan kebijakan mulai dari tingkat internasional, regional, nasional hingga lokal untuk pembangunan berkelanjutan yang berbasis hak, berkeadilan sosial, ekonomi, lingkungan dan berkeadilan gender serta berpihak pada kepentingan rakyat, terutama perempuan.
Jogjakarta, 22 Mei 2015
Kontak Person:
Aliza Yuliana ( aliza@solidaritasperempuan.org)