Pemenuhan hak perempuan penyintas dan Pengarusutamaan gender dalam penanggulangan bencana merupakan kewajiban negara, dan telah masuk ke dalam seperangkat aturan hukum di berbagai tingkatan. Satu tahun dua bulan pasca terjadinya bencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, berbagai persoalan masih dialami perempuan penyintas. Trauma psikologis, berbagai bentuk kekerasan, hingga hilangnya sumber- sumber kehidupan perempuan. Sejatinya, negara bertanggung jawab untuk memastikan penanganan pasca bencana benar-benar dapat mengatasi berbagai persoalan tersebut, maupun memenuhi kebutuhan dan hak-hak perempuan. Banyak dari perempuan penyintas menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual serta Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tidak sedikit anak-anak perempuan yang terjerat dalam pernikahan usia dini karena kemiskinan akibat bencana, dan banyak perempuan yang terjerat dalam bujuk rayu calo untuk menjadi pekerja migran di luar negeri di tengah perlindungan negara yang lemah karena sumber ekonominya hilang akibat bencana.
Sementara, yang menjadi hak dasar perempuan sebagai korban bencana tidak juga terealisasi. Hingga detik deklarasi ini disampaikan, masih banyak perempuan penyintas yang tidak mendapatkan akses hunian layak dan aman dengan fasilitas yang memadai bagi perempuan untuk hidup secara bermartabat. Pemulihan ekonomi dan sumber-sumber kehidupan perempuan juga hanya dilaksanakan melalui progam-program yang seringkali salah sasaran dan tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan perempuan pasca bencana. Persoalan lainnya adalah minimnya keterlibatan perempuan, sehingga penanggulangan bencana, termasuk di dalamnya program pembangunan pasca bencana tidak didasari pada kebutuhan, kerentanan, kepentingan, kapasitas, dan strategi penyesuaian diri perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Respon terhadap bencana yang mengatasnamakan perempuan pun masih sangat programatik, dan tidak
sanggup mengatasi persoalan ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk di dalamnya ketidaksetaraan dalam pembagian peran, akses dan kendali terhadap sumber daya, kuasa pengambilan keputusan, dan kesempatan untuk pengembangan kapasitas dan keterampilan.
Sebaliknya, pemerintah justru gencar mengundang investor dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, serta kembali menjeratkan diri dalam utang yang difasilitasi Lembaga Keuangan Internasional (LKI). Tata ruang dan zonasi di wilayah bencana yang seharusnya menjadi ruang berdaulat bagi penyintas bencana justru menjadi ajang transaksional pemerintah dan investor. Perempuan yang memiliki relasi dengan alam, baik sebagai sumber ekonomi, ruang sosial politik, maupun budaya dan spiritualitas, yang secara turun temurun menjaga kearifan lokal sehingga terjalin relasi yang mutual justru dieliminasi dalam rapat-rapat pengambilan keputusan. Masyarakat, khususnya perempuan, hanya dipandang sebagai objek kebijakan yang tidak berdaya dan tidak memiliki pengetahuan. Pembangunan yang demikian, telah memanfaatkan kondisi dan korban bencana untuk mengeruk keuntungan.
Merespon penanggulangan bencana yang gagal memenuhi hak dan kebutuhan perempuan, setidaknya, 200 perempuan penyintas bencana dan relawan 29 desa/kelurahan di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Poso berkumpul, saling memperkuat dan mengkonsolidasikan diri di dalam Temu Perempuan Penyintas pada 2-3 Desember 2019 di Kota Palu. Kami menegaskan:
Kepada pemerintah untuk:
- Mengakui perempuan sebagai subjek di dalam setiap tahapan penanganan pasca bencana Sulawesi Tengah
- Perempuan adalah warga negara yang dijamin haknya oleh konstitusi dan peraturan hukum untuk terlibat aktif secara bermakna dalam seluruh proses pengambilan keputusan dalam pembangunan dan pemulihan pasca bencana, termasuk penentuan pemanfaatan ruang
- Membuka dan menyediakan informasi dan data terpilah gender terkait kebencanaan serta melakukan peningkatan kapasitas kebencanaan kepada perempuan penyintas secara menyeluruh dan
- Melakukan pemulihan ekonomi dan sumber-sumber kehidupan perempuan harus dilakukan secara mendasar dengan menjamin akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi untuk mengatasi persoalan kemiskinan struktural perempuan.
- Membangun program yang berbasis dan berorientasi pada kepentingan, pengetahuan, pengalaman dan kearifan lokal perempuan penyintas bencana untuk mendukung kemampuan bertahan perempuan untuk bangkit dan
- Memastikan pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak dan aman bagi perempuan dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan sumber-sumber ekonomi perempuan yang berkelanjutan, termasuk memperhatikan akses terhadap ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat
- Menjamin perlindungan perempuan dari kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan secara berkeadilan dengan memperhatikan kepentingan perempuan korban kekerasan maupun perempuan
- Memastikan anggaran kebencanaan memiliki perspektif gender dengan memperhatikan kepentingan khusus perempuan, baik dari pemulihan ekonomi, sosial, kapasitas perempuan dan pengambilan keputusan, kesehatan, penanganan kekerasan terhadap perempuan, dan kebutuhan khusus lainnya bagi perempuan.
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat di Sulawesi Tengah untuk:
- Membentuk gugus tugas untuk melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan, program, dan anggaran kebencanaan di Sulawesi Tengah yang berkeadilan gender secara akuntabel, partisipatif, dan berpihak pada masyarakat penyintas, khususnya
- Mendorong kebijakan yang mengakui, melindungi, dan memenuhi hak perempuan dalam situasi khusus bencana di Sulawesi Tengah
Kepada Organisasi Masyarakat Sipil untuk:
- Memberikan penguatan kapasitas bagi perempuan penyintas untuk berdaya-ulih melalui berbagai program penguatan yang dibangun bersama dengan perempuan penyintas
- Memberikan pendampingan dan pembelaan bagi perempuan penyintas dan perempuan korban kekerasan dengan berorientasi pada kepentingan
- Bersama perempuan dan masyarakat penyintas melakukan advokasi hak-hak perempuan dan masyarakat penyintas
Kepada Masyarakat penyintas untuk:
- Terus memperkuat dan organisir diri untuk bertahan dalam situasi bencana dan bergerak secara kolektif untuk pulih, bersuara, dan mengadvokasi diri dan perempuan penyintas lainnya untuk mendapatkan perlindungan, pengakuan, dan pemenuhan hak-hak perempuan
- Berkonsolidasi dan memperkuat solidaritas untuk bangkit dan pulih bersama, sebagai masyarakat penyintas yang
Dideklarasikan di Palu pada Selasa, 3 Desember 2019
Dalam Forum Temu Perempuan Penyintas Bencana Sulawesi Tengah