Menjelang Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, perempuan di desa Sukamulya justru mengalami kekerasan yang dilakukan oleh negara. Mereka diusir, diancam, dan diintimidasi untuk keluar dari tempat tinggal dan lahan pertanian mereka yang subur. “Kepala saya waktu itu kena selongsong peluru karet, rasanya sakit banget, mata saya pedih, pipi saya panas, saya sampai cuci muka pake air di sawah, supaya ga perih,” ungkap seorang perempuan petani sambil terisak.
Kejadian tersebut terjadi pada 17 November 2016 lalu, ketika BPN melakukan pengukuran tanah desa warga Sukamulya dengan didampingi oleh ribuan aparat. gabungan dari TNI, dan Polri. Warga, termasuk perempuan yang tidak setuju tanah mereka diukur, mencoba mempertahankan tempat tinggal dan lahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan mereka. Peristiwa pengukuran itu berujung ricuh, akibat aparat yang memaksa masuk ke lahan warga dengan menembakan gas air mata berkali-kali, baik ke udara maupun ke arah warga.
Pada peristiwa tersebut, perempuan juga aktif berjuang mempertahankan tanah mereka. Perempuan petani yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam, sawah, dan tanah, berada di garis depan saat konflik terjadi. Empat perempuan dengan putus asa membuka baju, dan berdiri telanjang di hadapan aparat. Tindakan tersebut dikarenakan merasa mereka tidak punya senjata dan cara lain, selain tubuh yang selama ini mereka gunakan untuk bertani. Selain itu, adanya kepercayaan bahwa bila seseorang melihat tubuh telanjang, maka akan mengalami sial, juga menjadi latar belakang 4 perempuan ini bertelanjang menentang aparat. Mereka berharap aparat yang mengepung warga mendapat “sial”.
Namun, perjuangan para perempuan ini tidak mengurungkan niat aparat untuk terus melakukan tindakan represif. Konflik pun terjadi, dan menghasilkan dampak yang berlapis bagi perempuan. Dampak ketakutan dan trauma di rasakan oleh para perempuan lansia, dan ibu dengan bayi yang saat itu dikumpulkan di Balai Desa. Mereka tidak berani pulang, karena rumah-rumah mereka diduduki aparat. Akibatnya, bayi-bayi terpaksa ditidurkan di atas meja, dan perempuan terpaksa beribadah dengan pakaian yang sudah kotor dan basah, karena tidak berani pulang ke rumah.
Dampak psikologis juga dirasakan oleh perempuan Ibu Ty yang menuturkan, “saya, juga stres karena anak saya bertanya, mamah teh salah naon? Mamah emang maling naon, nepika dikejar-kejar polisi, saya terus terang bingung jawabnya, karena anak 8 tahun belum ngerti masalah kayak gini. Anak saya sekarang jadi ga berani ngaji malam-malam, sebelum kejadian mah berani tiap malem ngaji, anak tetangga setelah kejadian sampai ga sekolah 5 hari karena masih takut pergi sekolah”.
Tak hanya itu, kriminalisasi 3 orang petani Sukamulya juga berdampak kepada istri-istri mereka. Ibu Cw, mengalami stress, saat suaminya di tangkap di rumah. Perempuan yang saat itu berada di balai desa tidak bisa berbuat apa-apa, karena meskipun dia ingin segera mengetahui kabar suaminya, tapi dia ketakutan untuk keluar dari balai desa, karena banyak aparat bersenjata di jalan-jalan desa. “Saya ga bisa dan ga mau ngapa-ngapain, diem aja terus, kalau tiba-tiba denger suara keras di jalan, saya jadi deg-degan, inget waktu aparat datang,” ujarnya
Sementara, Ibu Cs, yang suaminya ditangkap dan dipukul berkali-kali di bagian kepala oleh aparat, juga mengalami trauma dan ketakutan. Selama, suaminya ditangkap dia terus memikirkan suaminya, sehingga jarang makan. “Saya nangis terus dan jarang makan selama bapak di tahan, badan jadi lemes. Selain itu, anak saya juga tanya terus, mah, bapak kok ga pulang-pulang, karena saya memang menutupi kalau bapaknya masuk penjara,” ungkap Ibu Cs.
Dampak sosial yang dialami adalah adanya perpecahan antara warga yang mendapat keuntungan dari pembangunan bandara dengan warga yang mempertahankan tanahnya. Perselisihan bukan hanya terjadi antara warga desa, tapi juga antara saudara, orang tua dengan anak, mertua dengan menantu, bahkan suami dengan isteri. Korban kriminalisasi malah disalahkan dan dituduh melawan pemerintah. Hal ini tentunya memperburuk hubungan antara warga. Sedangkan dampak ekonomi yang ditimbulkan karena adanya kejadian tersebut adalah, sawah-sawah warga yang terbengkalai selama beberapa hari. Selama 3 hari aparat berada di desa praktis warga tidak dapat bertani, selain itu, Proses negosiasi yang dilakukan di sawah, telah merusak padi-padi yang hampir panen[Office1] .
Konflik di Desa Sukamulya merupakan satu dari ratusan Konflik Agraria yang terjadi di Indonesia tahun 2016 ini. Sejak tahun 2004-2015, telah terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga. Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia[1]. Dalam situasi konflik agraria, perempuan dan laki-laki sama-sama mengalami kekerasan, namun perempuan mengalami situasi berbeda. “Peran perempuan yang dilekatkan sebagai perawat dan penjaga keluarga dan komunitas memberikan beban tersendiri bagi perempuan,” ungkap Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy. Menurutnya, para isterilah yang harus mencari cara agar anak-anak pulih dari trauma dan tidak terpengaruh oleh konflik yang terjadi. Selain itu, saat terjadi dampak ekonomi dan sosial akibat konflik tanah, perempuan juga memiliki beban lebih karena perempuan yang selama berperan dalam penyediaan pangan dan kebutuhan keluarga lainnya, harus mencari cara untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga di tengah kondisi sawah yang terbengkalai.
“Dalam kasus ini, negara telah melakukan kekerasan terhadap perempuan” pungkas Puspa Dewy. Negara tidak hanya melakukan kekerasan melalui tindakan aparat-aparatnya, tetapi juga kebijakan yang melanggar hak masyarakat, terutama perempuan. “Para perempuan di Sukamulya ini, telah mengalami kekerasan lewat UU no. 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang memudahkan mereka kehilangan tanah-tanahnya untuk proyek yang mengatasnamakan kepentingan umum, pembangunan aerocity ini, tentu saja hanya untuk kepentingan bisnis semata,” ujar Puspa Dewy. “Tidak adanya proses sosialiasi dan konsultasi sebelum terjadi pengukuran, tentu saja telah melanggar hak perempuan untuk mendapat informasi dan mengajukan persetujan,” lanjutnya.
5 Desember 2016
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
[1] http://www.berdikarionline.com/kpa-ada-252-konflik-agraria-di-tahun-2015/
[Office1]Kalo ada data berapa perkiraan kerugian ekonomi bisa dimasukkan