Dialog Publik “RUU Pertanahan Harus Mempertegas Perlindungan Hak Rakyat dan Sejalan Dengan Prinsip dan Asas UU Pokok Agraria”

Jakarta, 7 Juni 2017. “RUU pertanahan ini tidak akan mengubah asas dan prinsip dari UUPA, jadi RUU Pertanahan ini tidak untuk mengubah UUPA, tetapi untuk menambah dan menajamkan beberapa poin serta menyelaraskannya dengan kebutuhan masyarakat” Ungkap Dr. Yagus Suyadi, SH., MSi., Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang dalam Dialog Publik “Wujudkan Perlindungan Hak Rakyat Atas Tanah Melalui RUU Pertanahan yang Berkeadilan Gender.” Dialog Publik ini  diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan (SP), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kamis, 7 Juni 2017 di hotel Akamani-Jakarta Pusat.

Kementerian ATR memaparkan bahwa selain menjamin soal prinsip dan asas, juga menjelaskan mengenai materi dalam RUU Pertanahan, salah satunya bahwa RUU Pertanahan akan memperkuat kembali peran Negara dalam penguasaan dan pengelolaan tanah. Hal ini penting untuk memastikan tanah tidak menjadi komoditas, tetapi berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hak masyarakat, termasuk masyarakat adat, agar haknya tidak terdampak oleh kepentingan komoditas tadi. Selain itu, RUU Pertanahan juga melengkapi UU PA, dengan beberapa subtansi antara lain hak penguasaan ruang atas dan ruang bawah, bank tanah, badan hukum yang mengatur perencanaan, serta pengelolaan tanah.

Menanggapi konteks penguasaan tanah oleh negara, staf Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Endi Sugandi, menegaskan bahwa tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA dan Undang-Undang ini, dan/atau tidak merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat serta bukan kawasan hutan. Selain itu, dalam hal tanah yang akan dikelola melalui beberapa hak, antara lain Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pengelolaan yang berasal dari kawasan hutan, maka bagian kawasan hutan dimaksud, wajib dilepaskan dari kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundangan dibidang kehutanan.

Pentingnya RUU Pertanahan untuk mengatasi persoalan perampasan tanah juga ditegaskan oleh Kepala Departemen Advokasi KPA, Yahya Zakaria, yang menjelaskan selama ini banyak sekali tanah masyarakat yang dirampas dan belum menemui keadilan hingga sekarang. “Undang-undang Pertanahan ini harus selaras dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), jadi ketika RUU Pertanahan ini ada, perlu kitakawal bersama” pungkasnya. Selain itu, Yahya juga menjelaskan 4 poin  penting yang harus termuat dalam RUU Pertanahan, yaitu pendaftaran tanah, prioritas hak atas tanah, penyelesaian konflik agraria dan reforma agraria. Terkait pendaftaran tanah, tidak hanya sekedar formalitas administratif saja, tapi tujuannya untuk mengetahui dan menganalisis ketimpangan struktur agraria. Hal itu dibutuhkan karena ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah juga berhubungan dengan tingkat kemiskinan, sehingga harus direspon oleh pemerintah.

Persoalan agraria juga terjadi pada kawasan pesisir. Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati mengingatkan bahwa bicara tentang agraria, harus juga bicara  mengenai kawasan pesisir, termasuk situasi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir tersebut. “Ada proses panjang untuk memasukkan kawasan pesisir dan laut ke dalam UUPA, tapi selama ini wilayah pesisir sering dilupakan dalam Reforma Agraria,  karena itu harapannya kawasan pesisir juga masuk dalam substansi dalam RUU Pertanahan in,i” jelas Susan. Konflik di wilayah pesisir sangat sering terjadi terutama akibat masifnya privatisasi pesisir. Namun, masyarakat kesulitan dalam memperjuangkan hak-haknya, salah satunya karena bukti kepemilikan tanah, mereka hanya memiliki berupa girik yang mereka dapatkan dari orang tua. Meskipun Kementerian kelautan memiliki program sertifikasi tanah, tetapi tidak tersosialisasi dengan baik, sehingga sertifikat tidak menjadi sesuatu yang umum bagi masyarakat pesisir.

Sementara, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy, menegaskan pentingnya perlindungan hak perempuan atas tanah. “Tanah bagi perempuan adalah penyedia sumber kehidupan dan penghidupan perempuan, seperti kebutuhan pangan, sumber produksi, sosial, spiritual, dan kesehatan. Tanah juga memiliki makna politik bagi perempuan untuk keberlangsungan hidup dirinya, keluarganya dan komunitasnya”, ungkap Puspa Dewy. Namun, ironisnya perempuan masih menghadapi ketimpangan dalam kepemilikan, maupun akses dan kontrol atas tanah. Seperti yang terjadi di Desa Berati, Kabupaten Poso, dimana 90 % kepemilikan tanah atas nama laki-laki. Perempuan juga seringkali terdiskriminasi dari ruang pengambilan keputusan terkait wilayah kelola mereka, termasuk dalam negosiasi penyelesaian konfik tanah. “Perlu ada jaminan perlindungan hak perempuan atas tanah, yang harus terintegrasi dalam RUU Pertanahan,” pungkas Dewy. Hal ini harus menjadi komitmen bersama bagi semua pihak terkait, terutama dalam penyusun RUU Pertanahan. “Saya yakin, bahwa kita sepakat dan setuju pentingnya pelibatan perempuan dalam perumusan kebijakan pertanahan, sehingga kebutuhan perempuan dapat terakomodir, dan hak mereka untuk mengakses dan mengkontrol tanah sebagai sumber kehidupan dapat terjamin,” ujar Dewy. “Hal ini sejalan dengan UU Pokok Agraria pada Pasal 9 ayat 2 yang menjamin kesetaraan hak atas tanah antara laki-laki dan perempuan”, lanjutnya.

Sejumlah peserta merespon pemaparan narasumber dengan menyampaikan berbagai permasalahan terkait hak atas tanah di berbagai daerah, di antaranya terkait ketidakjelasan status HGU PTPN VII Cinta Manis di Desa Seribandung-Ogan Ilir Sumatera Selatan, yang menyebabkan masyarakat, terutama perempuan, kehilangan haknya atas tanah. Permasalahan lainnya mengenai perempuan yang menikah dengan laki-laki berkewaganegaraan asing, akan mudah kehilangan haknya atas tanah ketika,  terjadi perceraian. Selain itu, Solidaritas Perempuan Palu menyampaikan, bahwa dalam RUU Pertanahan penting ditegaskan bahwa tanah yang dikembalikan ke masyarakat harus dalam kondisi baik dan masih dapat berproduksi. Berbagai persoalan tersebut mendapatkan respon dari ATR, terutama komitmen untuk berusaha agar pengaturan status HGU menjadi jelas, sehingga tidak melanggar hak masyarakat.

Sementara peserta dari Tenaga Ahli anggota DPR Komisi II, Faisal, memberikan informasi mengenai perkembangan RUU Pertanahan di DPR. Menurutnya, proses RUU Pertanahan di DPR saat ini sedang menunggu DIM dari pemerintah. “Kami juga fokus dengan RUU Pertanahan, karena di DPR hampir setiap minggu ada persoalan pertanahan di seluruh di Indonesia, karena itulah mari kita masukan poin-poin penting dalam diskusi hari ini, dalam RUU Pertanahan, dan kami sangat terbuka dengan masukan kawan-kawan masyarakat sipil”, jelasnya.

Dialog publik yang dihadiri 65 orang peserta, terdiri dari aktivis lingkungan, aktivis perempuan, perempuan komunitas, mahasiswa, media, dan pemerintah ini, telah menghasilkan beberapa poin penting dari diskusi, yaitu ; RUU Pertanahan mutlak harus merujuk kepada  UUPA, tanah bukan hanya memiliki punya fungsi ekonomi, tapi juga ada fungsi social, politik, budaya bahkan spiritual, dan terkait reforma agraria, memang seharusnya menjadi reforma agraria sejati, dengan memastikan keadilan gender termuat didalamnya, bukan hanya soal sertifikasi tapi juga menyelesaikan konfilk-konflik agraria selama ini.

Oleh : Nisa Anisa

Translate »