Dicari Pemimpin Negara (Caleg, Capres/Cawapres Untuk: “Selamatkan Perempuan dari Pengrusakan Lingkungan dan Konflik Sumber Daya Alam”

Pesta demokrasi di Indonesia akan segera dimulai. Dalam hitungan bulan, masyarakat Indonesia akan menentukan keputusan politiknya menuju pemilu 2014, sekitar 190an juta pemilih Indonesia akan menggunakan hak pilihnya dan memilih anggota legislative, Presiden serta Wakil Presiden 5 tahun kedepan. Momentum  politik tersebut,  belum juga dibarengi dengan pendidikan politik yang secara kritis dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk secara mendiri menentukan keputusan politiknya dalam pemilu. Pengalaman  Solidaritas Perempuan menunjukkan bahwa proses Pemilu maupun Pemilukada belum menunjukkan hasil yang signifikan dalam pemenuhan hak-hak dan kepentingan ekonomi, social, budaya dan politik terkait kehidupan perempuan[1]. Saat ini Perekrutan pengurus partai maupun calon legislatif  belum memperhatikan perempuan bahkan memposisikan perempuan hanya sebagai pelengkap pemenuhan kuota 30% seperti diamanatkan UU pemilu no 12/2003. Posisi perempuan masih termarginalkan, tidak hanya pada konteks politik pemilu, tetapi juga pada aspek dan ranah kehidupan lainnya, diantaranya dalam mengakses sumber kehidupannya.

Persoalan perempuan selama 10 tahun terakhir sangat kompleks, dimana perempuan semakin terpinggirkan dari sumber-sumber kehidupannya. Pola pembangunan yang masih bertumpu pada modal dan industri ekstraktif, merupakan salah satu faktor penghancuran sumber-sumber kehidupan perempuan. Meningkatnya izin tambang, industri ekstraktif dan berbagai proyek infrastruktur telah mengakibatkan perempuan kehilangan akses dan kontrolnya atas sumber-sumber kehidupannya, seperti tanah, air, udara, dan kekayaan alam lainnya. Perampasan sumber kehidupan oleh perusahaan multinasional dan transnasional, yang didukung oleh kebijakan negara, seperti UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Perkebunan, dan sebagainya, serta lembaga keuangan Internasional (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan sebagainya).

Kehadiran perusahaan pertambangan, perkebunan skala besar, pembangunan infrastukrur, yang diperparah dengan kehadiran proyek iklim, telah berdampak pada meningkatnya konflik lahan.  Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),  selama 2 periode kepemimpinan SBY, sejak tahun 2004-2013 konflik agraria yang telah terjadi mencapai 987 kasus, dengan areal tanah seluas 3.680.974,58 hektar dan melibatkan 1.011.090 kepala keluarga. Konflik dan perampasan tanah telah merampas hak perempuan untuk mendapatkan sumber kehidupannya. Akibat dari situasi tersebut perempuan: (a) Semakin terpinggirkan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alamnya, (b) kehilangan sumber mata pencahariannya, (c) meningkat ancaman terhadap kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi akibat pencemaran tanah, air dan udara, (d) Hilangnya rasa aman, akibat konflik, (e) Meningkatnya KDRT, pekerja seks, dan trafficking di wilayah industri ekstraktif, (f) Meningkatnya Buruh Migran Perempuan di wilayah konflik agraria, (g) Kriminalisasi pembela hak perempuan, dan (h)  Semakin menguatnya ketidakadilan gender.

Ini terlihat dari temuan Solidaritas Perempuan di beberapa wilayah kerja SP, seperti (a) 325 perempuan pekerja purun di Desa Secondong, Sumatera Selatan, terancam kehilangan mata pencaharian dan mengalami krisis air[2] akibat kehadiran perkebunan kelapa sawit,  (b) Buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit yang didiskriminasi, (c) Perempuan di Kec. Mantangai – Kalimantan Tengah yang tidak dapat lagi mengakses hutan, (d) Gangguan kesehatan dan kesehatan reproduksi perempuan akibat perusahaan tambang, dan lain sebagainya[3].

Maraknya pembangunan industri ekstraktif dan infrastruktur menrupakan salah satu penyebab utama dari pemanasan global, dimana dampak pemanasan global telah dirasakan oleh seluruh dunia. Salah satunya adalah banyaknya bencana alam, banjir, longsor yang kini terjadi. Sebut saja banjir diawal tahun 2014 yang telah mengepung sebagian wilayah di Indonesia, melumpuhkan perekonomian Indonesia, bahkan telah menelan korban dan materi. Ketika banjir datang masyarakat dan pemerintah pun tidak siap menghadapi bencana Banjir dan Longsor. Berbagai strategi pun tak luput dilakukan untuk mengatasi banjir namun hasilnya nihil. Seperti banjir yang merendam Jakarta hampir 2 pekan ini, yang kemudian dijadikan segelintir caleg untuk pencitraan dan berkampanye, dengan memberikan bantuan pada korban banjir, tentunya dengan harapan para korban banjir ini akan memilih mereka di Pemilu 2014 ini.

Sementara persoalan lainnya belum menjadi perhatian serius bagi anggota legislatif maupun pejabat Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden terpilih. Pasca pemilu 2004 dan 2009 misalnya,belum menunjukkan adanya keberpihakan pada situasi dan kepentingan perempuan, termasuk  belum terpenuhi hak-hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.  Selama 5 tahun terakhir perempuan semakin kehilangan hak akses dan kelola perempuan atas sumber daya alam,  yang dipicu oleh konflik sumber daya alam, termasuk konflik agrarian[4].  Bisa dikatakan usaha pemerintah untuk mencegah kerusakan yang lebih parah terhadap sumber kehidupan perempuan dan perlindungan hak perempuan masih sangat jauh. Pemerintah lebih asyik dengan menfasilitasi pesta demokrasi untuk perebutan kekuasaan ditahun politik ini. Sementara konflik sumber daya alam dan lingkungan terus terjadi bahkan semakin masif.

Perempuan merupakan kelompok marginal dari situasi tersebut, dan sering dilupakan dalam setiap perdebatan dan keputusan politik. Padahal suara perempuan sangat signifikan dalam setiap proses demokrasi di Indonesia. Perempuan masih dianggap sebagai kelompok minoritas, dinomor duakan, bahkan kebutuhan perempuan tidak terpikirkan oleh laki-laki. Sehingga keputusan yang lahirpun sangat patriarki. Hal ini terjadi karena keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan sangat terbatas. Padahal perempuan sangat berperan dalam memastikan proses demokrasi berjalan sesuai sistem Pemilu dan Konstitusi Negara yang akan membawa perubahan atas pemenuhan Hak Sipil Politik dan hak Ekonomi, Sosial dan Budaya , khususnya perempuan.[5]

Atas situasi diatas, maka sudah saatnya Indonesia memiliki sosok anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan perempuan, terutama hak atas pengelolaan sumber daya alam. Saatnya Indonesia memiliki pemimpin yang tidak mendukung terhadap pembangunan yang berbasis pada industri ekstraktif seperti tambang, perkebunan skala besar, HTI, HPH, termasuk proyek iklim. Saatnya pemimpin Indonesia menolak dan menghilangkan segala bentuk intervensi kebijakan dan program/proyek dari perusahaan, Lembaga Keuangan Internasional (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, IFC, JBIC, dan sebagainya) yang secara nyata telah menghancurkan lingkungan dan seluruh sumber kehidupan termasuk tanah, hutan dan pengelolaan sumber pangannya, karena secara nyata pula berdampak pada seluruh kehidupan perempuan dan menguatkan ketidakadilan gender, serta semakin akut pula pemiskinan yang mendera kehidupan perempuan (feminisasi pemiskinan/pemiskinan berwajah perempuan). Perempuan menanti pemimpin-pemimpin negara Indonesia sebagaimana yang disebut diatas, dan secara tegas berkomitmen dan melakukan langkah-langkah terhadap penyelesaian berbagai kasus konflik sumber daya alam dan kriminalisasi pembela hak perempuan yang terjadi di Indonesia.

Mia Djail dan Nisa Anisa


[1] Data Solidaritas Perempuan pendidikan politik bagi pemilih perempuan 2013
[2] Data Solidaritas Perempuan Komunitas Palembang tahun 2009.
[3] Buku “Mengurai Realita Perempuan dalam Konflik Sumber Daya Alam”, Solidaritas Perempuan, 2012
[4] http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/26/terjadi-987-konflik-agraria-selama-pemerintahan-sby, “Terjadi 987 Konflik Agraria Selama Pemerintahan SBY”, 26 Desember 2013,
[5] Data solidaritas perempuan pendidikan politik bagi pemilih perempuan tahun 2013
Translate »