Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Jakarta, 13 Mei 2020. Di tengah situasi pandemi dan penolakan dari masyarakat, DPR RI tetap mengesahkan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) pada Selasa, 12 Mei 2020. Hingga sidang paripurna dilakukan, penolakan masyarakat terus mengalir, salah satunya melalui karangan bunga yang berjejer di depan DPR RI dengan pesan dukacita atas perilaku para anggota Dewan yang mengabaikan kepentingan masyarakat untuk membatalkan pembahasan UU Minerba tersebut. Pasalnya, kebijakan ini semata memberikan keuntungan bagi investor tambang, dan akan semakin memberikan dampak buruk kepada masyarakat, terlebih perempuan “Investasi tambang hari ini secara nyata telah telah merusak lingkungan dan merampas kehidupan masyarakat terlebih perempuan. Di Lhoknga Aceh, pertambangan perusahaan semen, mengakibatkan rusaknya kawasan karst, sehingga debit air yang semakin sedikit. Sementara proses blasting yang dilakukan di awal masuknya perusahaan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan warga, tetapi juga menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghasilan dari perkebunan karena sayuran dan cengkeh yang ditanam tidak bisa hidup atau mati akibat kekeringan dan tebalnya abu tambang.” ucap Dinda Nuur Annisa Yura Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
Tak hanya di Aceh, perempuan di Apar Batu dan Dusun Gunung Karsik Barito Timur, Kalimantan Tengah mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), serta kesulitan mengakses air bersih. Hal ini dkarenakan sungai yang merupakan sumber mata air mereka telah digali untuk pertambangan batu bara. Permasalahan lainnya adalah lubang-lubang tambang yang dibiarkan menganga dan menyebabkan bahaya hingga hilangnya nyawa. Di Kalimantan Timur saja, sejak 2011, setidaknya 36 orang, yang sebagian besar anak di bawah umur, meregang nyawa di lubang tambang bekas galian batu bara[1]. Kematian anak-anak di lubang tambang, akan berdampak pada pengalaman traumatis terlebih bagi ibu. Peran gender perempuan sebagai pengasuh dan perawat keluarga, memberikan dampak berlapis secara psikologis, di antaranya perasaan bersalah, dan tidak bertanggung jawab, atau merasa lalai dalam pengasuhan anak sehingga menyebabkan kematian anak mereka. Padahal situasi ini disebabkan tidak bertanggungawabnya pemerintah dan perusahaan yang tidak mereklamasi lubang tambang. Selain itu, perempuan juga rentan mengalami gangguan kesehatan akibat pencemaran dari aktivitas industri ektraktif misalnya ganguan reproduksi, maupun pernafasan.
Berbagai persoalan yang terjadi akan semakin buruk dengan UU Minerba yang baru saja disahkan. Secara substansi, UU ini memberikan kemudahan pada investor, baik terkait perpanjangan kontrak, jangka waktu izin operasi, maupun potensi eksplotasi berlebihan. Tak hanya itu, kebijakan ini juga tidak menjadikan perempuan sebagai pemangku kepentingan, yang harus didengar pendapat dan kepentingannya. Padahal, perempuan mengalami dampak berbeda dan lebih berat saat terjadi perampasan dan pengancuran wilayah kelola maupun sumber-sumber kehidupannya akibat pertambangan.
Absennya perlindungan perlindungan perempuan di sekitar wilayah lingkar tambang dalam UU Minerba ini, juga terlihat dari tidak diwajibkannya perusahaan untuk melakukan kajian analisis dampak tambang secara terpilah (perempuan dan laki-laki), hal ini sangat penting agar masyarakat terinformasi dengan jelas dampak pertambangan bagi mereka, sehingga mereka dapat memberikan keputusan, mau tidaknya wilayah mereka dijadikan wilayah pertambangan.
Tidak hanya dari segi substansi, permasalahan juga muncul pada proses pembahasan UU yang dilakukan selama bertahun-tahun dengan terus disertai penolakan masyarakat ini. Proses perumusannya minim partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat marginal yang terdampak dari berbagai aktivitas tambang. Hal ini bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mewajibkan adanya pelibatan masyarakat dalam pembentukan suatu kebijakan. Bahkan, RUU ini merupakan bagian dari kebijakan yang ditolak dan tercantum dalam tuntutan Aksi-aksi Reformasi Dikorupsi yang digawangi gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pada September 2019 lalu. Merespon berbagai penolakan tersebut, DPR justru memanfaatkan situasi Pandemi COVID 19, di saat aturan pemerintah menjaga jarak fisik dan sosial diberlakukan, sehingga rakyat berada dalam situasi terbatas di dalam menyuarakan aspirasinya. “Pengesahan RUU Minerba menjadi UU dalam masa Pandemi adalah wujud pengkhianatan negara terhadap rakyat. Negara seharusnya melakukan upaya optimal untuk mengatasi pandemi dan menyelamatkan rakyat, bukan malah memproduksi kebijakan yang akan semakin memperkuat pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan,” tegas Dinda.
Dengan disahkan UU Minerba inipun masyarakat yang menolak tambang harus waspada, karena masyarakat yang dianggap menghalang-halangi aktivitas tambang dapat mengalami kriminalisasi. “UU Minerba tidak memberikan ruang bagi rakyat, baik perempuan maupun laki-laki untuk memberikan persetujuan apakah wilayahnya mau dijadikan wilayah pertambangan atau tidak. Sebaliknya, pemerintah justru memberlakukan pasal yang dapat mengkriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan hak mereka,” ungkap Dinda. “Solidaritas Perempuan jelas berdukacita dengan pengesahan UU Minerba ini, karena UU ini akan membunuh perempuan, menghilangkan akses perempuan atas sumber-sumber kehidupannya, juga membungkam masyarakat marginal untuk memperjuangkan hak dan menyuarakan aspirasi mereka” tegasnya.
Secara lebih luas, UU Minerba juga merupakan cerminan dari keberpihakan negara kepada investor dengan melindungi investasi secara maksimum. Padahal praktik perlindungan investasi selama ini, telah menempatkan Negara pada posisi rentan menghadapi gugatan pada lembaga arbitrase internasional (ICSID dan UNCITRAL) ketika dinilai tidak mampu melindungi investasi. Hal ini salah satunya dimungkinkan melalui mekanisme Investor-State Development State (ISDS) yang ada dalam berbagai perjanjian internasional. Di Indonesia hampir 75% dari seluruh kasus yang dibawa ke ICSID ataupun UNCITRAL atas dasar BITs ada di sektor sumber daya alam, khususnya pertambangan dan migas.[2]
Perlindungan investasi, terutama di sektor tambang di atas, tentunya juga bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk solusi krisisi iklim. “Mempermudah investasi tambang, artinya mendukung semakin masifnya penggundulan hutan, termasuk kawasan hutan lindung, perusakan lingkungan dan meningkatkan laju perubahan iklim, serta krisis iklim di Indonesia,” pungkas Dinda.
Narahubung :
Ega Melindo : 081288794813
[1] https://regional.kompas.com/read/2019/10/31/06260001/36-anak-di-kaltim-tewas-tenggelam-di-lubang-tambang-saya-lihat-cucu?page=all.
[2]Perjanjian Perlindungan Investasi Internasional dan Gugatan Investor Melawan Indonesia, Indonesia for Global Justice, 2014.