Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera
“Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara” (Nawacita Jokowi-JK)
Keputusan pemerintah Indonesia mengeksekusi hukuman mati Warga Negara Asing terpidana narkoba, turut menjadi ancaman bagi upaya perlindungan hak warga Negara, termasuk hak atas rasa aman bagi Buruh Migran Perempuan (BMP). Siti Zaenab, BMP yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Arab Saudi kehilangan haknya akibat tidak adanya perlndungan dari Negara. Dia mengalami hukuman mati pada Selasa (14/04). Hanya selang satu hari, Karni, Buruh Migran Perempuan asal Brebes juga diekseskusi pada Kamis (16/04).
Bukan hanya Siti Zaenab dan Karni BMP yang menjadi korban atas kegagalan Negara dalam melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Sebelumnya, Ruyati, BMP PRT juga telah dieksekusi hukuman mati di Arab Saudi. Saat ini pun, masih ada ratusan BM yang juga teracncam hukuman mati di berbagai Negara tujuan. Kemlu mencatat sepanjang 2011-2014 ada lebih dari 400 kasus ancaman Hukuman mati yang dialami oleh Buruh Migran di berbagai Negara tujuan. Selama 2014, ada 46 Buruh Migran yang berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Namun di 2014 itu pula muncul 47 kasus baru.
Sebagian Buruh Migran terancam hukuman mati karena tuduhan pembunuhan terhadap majikan. Padahal, beberapa pengalaman BMP menunjukan bahwa tindakan yang dilakukan merupakan upaya pembelaan diri atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh majikan atau pihak lainnya. Situasi ini dipicu oleh terisolasinya buruh migran dari lingkungan luar. Mereka seringkali tidak diperbolehkan ke luar rumah dan dilarang berkomunikasi, sehingga tidak mempunyai akses untuk mengadukan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami.
Kasus yang menimpa Siti Zaenab, Karnu dan Ruyati adalah bentuk kegagalan sistem Negara dalam perlindungan Buruh Migran yang masih mengacu pada UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Presiden terpilih telah menjanjikan untuk segera merevisi UU No. 39 tahun 2004. Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah belum memperlihatkan langkah-langkah nyata dalam upaya perlindungan Buruh Mkigran. Padahal, revisi UU ini telah didesakan oleh masyarakat sipil sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Hal ini menunjukan perlindungan BMP dan keluarganya belum menjadi prioritas.
Konvensi Migran 90 yan telah diratifikasi Indonesia belum diimplementasikan secara maksimal. Pemerintah masih mengedepankan paradigma komoditas melalui penempatan BMP, tanpa adanya jaminan perlindungan. Solidaritas Perempuan mencatat telah terjadi 106 kasus kekerasan dan pelanggaran hak BMP dan keluarganya.[1] Di antaranya adalah kasus ancaman hukuman mati yang dialami Warnah (31 tahun) dan Sumartini (39 tahun).[2] Keduanya sempat diancam hukuman mati akibat tuduhan sihir oleh majikannya. Mereka dipaksa menandatangani surat pengakuan dengan cara ditanam setengah badan di dalam pasir. Keduanya saat ini masih berada di penjara dengan keterbatasan akses informasi dan komunikasi. Mereka masih menantikan kehadiran Negara untuk menjamin perlindungan dan keadilan bagi mereka.
Tidak Cukup Hanya Bilateral Agreement
Indonesia telah menandatangani Persetujuan Bilateral (Bilateral Agreement) dengan Kerajaan Arab Saudi terkait Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Indonesia sektor domestik. Persetujuan tersebut juga menekankan mengenai kewajiban pemerintah Arab Saudi untuk menginformasikan kepada pemerintah Indonesia terkait buruh migran yang ditangkap, dipenjara, atau ditahan di Arab Saudi. [3] Faktanya, persetujuan tersebut tidak cukup melindungi kepada Buruh Migran Indonesia di Arab Saudi secara komprehensif.
Persetujuan ini tidak bersifat legally binding (mengingat secara hukum) sehingga lemah dalam penegakannya. Selain itu, persetujuan ini juga tidak mencakup seluruh aspek perlindungan BMP, seperti mekanisme perlindungan hukum termasuk mekanisme pencegahan kriminalisasi terhadap Buruh Migran.
Di sisi lain, diplomasi politik yang dibangun pemerintah Indonesia terhadap Negara tujuan masih lemah, terbukti dengan hukuman mati yang dialami oleh Buruh Migran Indonesia di berbagai Negara tujuan. SP menilai bilateral agreement tidak cukup untuk melindungi Hak-hak Buruh Migran Perempuan dan keluarganya. Perlu ada sebuah mekanisme dan standar yang dibangun oleh pemerintah Indoneeia dengan Negara tujuan, yang memiliki kekuatan hukum untuk menjamin perlindungan hak BMP sebagaimana yang dijanjikan oleh presiden dan wakil presiden terpilih.
Atas situasi tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah Indonesia untuk segera:
- Bahas dan sahkan Revisi UU No 39 Tahun 2004 dengan menjamin hak-hak Buruh Migran sebagaimana termuat di dalam Konvensi Migran 90, CEDAW, dan Konvensi ILO No. 189
- Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT
- Bahas dan sahkan UU Perlindungan PRT yang mengaku Pekerja Rumah Tangga sebagai Pekerja dengan hak-hak dan kondisi kerja layak, serta benar-benar melindungi Pekerja Rumah Tangga baik di dalam maupun di luar negeri
- Membangun mekanisme pencegahan, pengawasan dan pendampingan untuk menjamin perlindungan hak bagi Buruh Migran di dalam dan luar negeri.
- Memperkuat upaya diplomasi politik Negara dalam penyelesaian kasus-kasus Buruh Migran yang berhadapan dengan hukum secara tuntas dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak mereka terpenuhi.
Jakarta, 16 April 2015
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
CP: Nisaa Yura (081380709637)