Enam Dekade UUPA: Perempuan Mendesak Tuntaskan Ketimpangan dan Ketidakadilan Agraria

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional 2020

Jakarta, 24 September 2020. Pada peringatan 60 tahun UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, perempuan mendesak Negara untuk menuntaskan ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia. Pasalnya setelah enam decade cita-cita Reforma Agraria untuk merombak struktur kuasa atas kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria, perempuan maupun laki-laki justru semakin menjauh. Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan agraria justru semakin tajam di mana ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai rasio 0.68. Bagi perempuan, ketimpangan dan ketidakadilan agraria yang dihadapi menjadi berlapis, bukan hanya ketimpangan kepemilikan lahan antara korporasi besar, namun juga ketimpangan kepemilikan lahan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini diakibatkan langgengnya budaya patriaki di dalam masyarakat Indonesia, yang masih mendiskriminasi dan meminggirkan perempuan termasuk dari sumber-sumber agraria. Berdasarkan data Solidaritas Perempuan pada tahun 2019, menunjukan bahwa dalam tanah milik bersama, kepemilikan tanah atas nama perempuan hanya mencapai angka 24.2%, dan mayoritas kepemilikan tanah adalah atas nama suami. Perempuan juga kerap tidak diakui peran signifikannya dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan pangan. Padahal, selama ini perempuan menyimpan pengetahuan dan sistem pengelolaan pangan yang subsisten dan selaras dengan alam, baik dalam konteks pertanian maupun pesisir. Ibu Herni, perempuan petani dari Kulon Progo menceritakan masih berlakunya sistem pembagian waris sepikul segendong. “Dalam hal pembagian warisan tanah, perempuan hanya dapat sepikul (satu bagian) sedangkan laki-laki segendong (dua bagian) yang biasanya adalah tanah produktif (sawah). Sementara untuk tanah yang didapat dalam pernikahan seringnya atas nama laki-laki” ujarnya.

Tidak hanya soal ketimpangan, pada momentum HTN tahun ini juga terus terjadi konflik agraria yang tidak kunjung selesai, dengan disertai intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya. Pada setiap konflik yang terjadi, perempuan menjadi kelompok paling rentan serta mengalami dampak yang berlapis. Kerentanan tersebut mencakup ancaman kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat. Seperti yang dialami oleh perempuan masyarakat adat Pubabu, yang pada Mei lalu melakukan aksi spontan membuka baju untuk mempertahanakan tanah leluhur sekaligus ruang hidup mereka dari penyerobotan dan penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aksi ini merupakan benteng terakhir dari rangkaian perjuangan yang sudah mereka lakukan sejak tahun 2012. Namun, terhadap perjuangan tersebut, mereka mendapatkan intimidasi dan stigma dari berbagai pihak karena dianggap melakukan porno aksi. Selama proses penggusuran mereka juga mendapatkan pelecehan seksual dari aparat. “Kami menjaga agar tidak ada yang merusak hutan, karena kalau hutan rusak kami mengalami kekeringan. Dari tahun 2003 sampai sekarang kami mengalami kekeringan, kami mau makan mau minum susah, untuk ambil air kami harus berjalan 10 km. Kami berjuang bukan untuk kepentingan orang lain, jika ada yang bilang kami dieksploitasi untuk berjuang, itu tidak benar” ujar Mama Ester, perempuan Adat Pubabu.

Perampasan tanah rakyat juga dilakukan oleh BUMN yang beroperasi dalam perkebunan skala besar seperti PTPN VII Cinta Manis di Ogan Ilir – Sumatera Selatan dan PTPN XIV Takalar – Sulawesi Selatan selama bertahun-tahun. Ibu Ati, perempuan petani dari Takalar tegas menuntut pemerintah agar tidak memperpanjang HGU PTPN XIV Takalar yang selama ini telah menimbulkan kesengsaraan bagi petani di Takalar. Selain itu, tidak hanya wilayah daratan namun perampasan ruang hidup perempuan juga dilakukan di wilayah pesisir. Atas nama proyek strategis Nasional, pembangunan Makassar New Port telah

menyebaban perempuan pesisir Makassar kehilangan sumber-sumber kehidupan mereka. “Meski pemerintah pura-pura buta, pura-pura tidak melihat, tapi kami akan terus teriak. Bahwa di Indonesia ini masih banyak ketidakadilan seperti yang kami alami di pesisir Makassar ini akibat proyek pemerintah. Biar semua tahu”, tegas Ibu Zainab, Perempuan Pesisir Talo – Makakasr. Situasi ini memperlihatkan bahwa komitmen dan janji Presiden Jokowi untuk menjalankan reforma agraria telah sesat arah. Reforma agraria justru dikerdilkan di dalam Perpres No.86 Tahun 2018 dan diterjemahkan hanya melalui program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Langsung). PTSL yang dijalankan dengan utang dari Bank Dunia senilai USD 200 juta melalui program One Map Policy hanyalah legalisasi tanah yang sudah dikuasai oleh masyarakat, dan justru menjadikan tanah rakyat rentan menjadi spekulatif pasar. Reforma agraria yang dilakukan tidak betul-betul merombak kepemilikan dan penguasaan tanah oleh para tuan tanah atau korporasi besa yang merupakan permasalahan utama. Tak hanya itu, dalam menangani kasus konflik agraria, pemerintah cenderung melakukan pendekatan kekerasan serta hanya melihat aspek formil administratif.

Ketimpangan dan ketidakadilan agraria juga akan semakin menguat dengan ambisi tinggi pemerintah terhadap proyek-proyek investasi besar. Ambisi tersebut juga didorong melalui Omnibus Law/RUU Cipta Kerja yang akan memudahkan prosedur investasi dengan meminggirkan aspek lingkungan, hak masyarakat, serta hak buruh. Misalnya saja aturan Pertanahan pada RUU Cipta Kerja, diantaranya memperluas cakupan kepentingan umum dalam hal pengadaan tanah, pemangkasan konsultasi publik, hak pengelolaan tanah hingga 90 tahun, pengaturan Bank Tanah, dan lain sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur semata-mata agar mempermudah investor untuk menguasai tanah. “Ambisi pemerintah untuk terus membahas RUU Cipta Kerja di masa Pandemi, dan di tengah penolakan masyarakat menunjukkan Negara secara sadar mengorbankan masyarakat demi kepentingan investasi. Jangankan menjalankan cita-cita Reforma Agraria pemerintah justru menghabisi UU Pokok Agraria melalui RUU Cipta Kerja,” pungkas Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura

Untuk itu, Solidaritas Perempuan terus bergerak bersama para perempuan pejuang agraria untuk mengkonsolidasikan kekuatan, pengetahuan dan gerakan. Serta mempererat kembali simpul-simpul koletivitas yang sejak awal sudah menjadi bagian dari kehidupan kita untuk merebut dan mempertahakan kedaulatan ruang rakyat, kedaulatan perempuan. Sebagaimana mestinya, bahwa tempat perempuan adalah di jantung perjuangan. Perempuan mendesak Negara untuk menuntaskan ketimpangan dan ketidakadilan agraria dengan:

  1. Berhenti menghasilkan regulasi yang berpihak kepada kepentingan investasi dan merampas kedaulatan perempuan.
  2. Meninjau ulang izin-izin usaha yang merampas sumber agraria rakyat, berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia.
  3. Berhenti menggunakan tindak kekerasan, militerisme dan kriminalisasi kepada rakyat yang tengah mempertahankan ruang hidupnya.
  4. Selesaikan konflik-konflik agraria secara adil bagi masyarakat, dengan keterlibatan bermakna seluruh elemen masyarakat, termasuk perempuan, serta mengedepankan perlindungan hak asasi manusia.
  5. Mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan gender sebagai kewajiban konstitusional Pemerintah dan Parlemen. Adil gender berarti reforma agraria yang dijalankan harus merombak lapisan struktur kuasa dan penindasan yang menghilangkan kedaulatan perempuan. Di antaranya tapi tidak terbatas pada menjadikan perempuan sebagai subjek, , dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait tanah yang diberikan, serta mendapatkan segala fasilitas pendukung, seperti modal, dan peningkatan kapasitas.
  6. Menghentikan kejahatan korporasi yang selama ini turut andil dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan.
  7. Mengentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang akan mengeksploitasi sumber-sumber agraria, merampas sumber kehidupan masyarakat serta mengancam demokrasi. Di mana perempuan akan merasakan dampak yang lebih berat dan mendalam.

 

Jakarta, 24 September 2020

 

Dinda Nuur Annisaa Yura
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

 

Narahubung Dian Prawitasari 0878-1708-3572

Translate »