Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No.7 Tahun 1984, sayangnya kebijakan ini tidak diimplementasikan sebagaimana mestinya oleh pemerintah sebagai tanggung jawab konstitusi dalam menjamin perlindungan, penghormatan dan penghargaan hak asasi perempuan. Faktanya sampai saat ini hak asasi perempuan di berbagai sektor dan situasi masih diabaikan dan dilanggar oleh negara, baik hak dalam pengelolaan sumber daya alam, hak atas pengelolaan sumber daya pangan, perlindungan hak buruh migran perempuan, dan hak atas otonomi tubuh perempuan.
Negara secara terang – terangan menjadi bagian dari skenario ekonomi politik global, menguatkan sistem sosial yang partiarkhi, untuk kepentingan pembangunan (maldevelopment) yang berorientasi pasar, dan dengan sengaja mengabaikan kepentingan dan perlindungan hak asasi perempuan. Penghancuran sistem sosial rakyat, dan menciptakan ketergantungan utang luar negeri dan investasi, yang justru menguntungkan perusahaan multinasional dan transnasional, serta lembaga keuangan internasional, seperti World Bank, Bank Pembangunan Asia, dan sebagainya, serta mempercepat laju perubahan iklim yang memperparah ketidakadilan terhadap perempuan.
Penghancuran sumber kehidupan perempuan semakin meningkat dengan adanya berbagai kebijakan, seperti UU Minerba, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan UU No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, termasuk kebijakan dan program perubahan iklim.
Kebijakan pembangunan SBY – Boediono terus menerus mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya alam, menghilangkan akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, dan memutus mata rantai sumber daya pangan. Kondisi ini mengakibatkan penghancuran sumber – sumber kehidupan perempuan akibat berbagai aktifitas pertambangan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, reklamasi pesisir, privatisasi air, dan pembangunan infrastruktur, yang memperkuat konflik warga dan perusahaan, berdampak pada penggusuran, pengambilalihan lahan, intimidasi, pelecehan seksual, pemerkosaan bahkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer/keamanan, berujung pada kriminalisasi perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan[1]. Pada akhirnya situasi tersebut semakin menguatkan ketidakadilan gender, penindasan dan memperparah pemiskinan perempuan di berbagai sektor dan situasi.
Sementara, ancaman terhadap pelanggaran hak perempuan petani, juga terlihat dalam program maupun kebijakan negara, salah satunya UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. UU tersebut masih diskriminasi dan belum memberikan perlindungan khusus bagi perempuan, padahal selama ini, banyak korban kelaparan, gizi buruk, dan mati kelaparan dialami oleh kelompok-kelompok tersebut. Kebijakan ini, justru semakin menguatkan peran – peran industri di sektor pangan, dan meminggirkan akses perempuan dalam mengolah pangan lokal.
Tidak hanya permasalahan kebijakan, mekanisasi pertanian dan import pangan semakin mendorong pangan instan serta industrialisasi produksi pangan skala besar yang berdampak pada maraknya alih fungsi lahan. Mekanisme tersebut memperkuat peminggiran perempuan petani dalam peran – perannya mengakses sumber pangan.
Hilangnya sumber – sumber kehidupan dan perekonomian perempuan akibat telah dikuasai oleh perusahaan, mendorong perempuan bekerja menjadi buruh migran. Hal ini, dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjadikan buruh migran perempuan sebagai komoditas yang menguntungkan bagi negara. Namun, kesempatan tersebut dibatasi oleh pemerintah, salah satunya dengan munculnya roadmap pemerintah untuk menghentikan penempatan pekerja rumah tangga (PRT) Migran, akibat meningkatnya jumlah kekerasan yang dialami oleh PRT migran. Penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan seksual, tidak dibayar gaji, bahkan ancaman hukuman gantung/mati kerap dialami buruh migran perempuan. Pada tahun 2010 saja tercatat 4532 kasus kekerasan terhadap BMI (Kemlu, 2010), sementara tercatat 6.266 kasus Kekerasan seksual selama 1998-2010 (Komnas Perempuan, 2010).
Pembatasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran dan pengabaian hak atas pekerjaan oleh negara terhadap warganya. Padahal, seharusnya pemerintah memberikan perlindungan dan jaminan pemenuhan hak terhadap buruh migran perempuan, sehingga tidak terjadi lagi kekerasan terhadap BMP, khususnya PRT Migran.
Pengontrolan dan pembatasan ruang gerak perempuan diranah publik telah terjadi sejak lahir, melalui sunat perempuan yang kemudian dilegalkan oleh pemerintah melalui regulasi. Padahal berbagai kajian telah membuktikan bahwa praktik sunat perempuan tidak memberikan manfaat kesehatan dan sosial apapun bagi perempuan, sebaliknya, praktik ini memberi dampak negative pada kehidupan seksual perempuan di masa dewasa.
Kontrol negara terhadap tubuh perempuan semakin menguat dengan perda- perda yang diskriminasi terhadap perempuan. Per 2011 telah terdapat 207 perda – perda diskriminatif[2], telah mengancam ruang gerak dan kontrol tubuh perempuan, serta mengintimidasi perempuan. Perempuan tidak memiliki otoritas atas tubuhnya maupun kesempatan untuk menjadi warga negara yang merdeka dan bebas dari kontrol atas tubuhnya. Perda tersebut juga menjadi alat bagi kelompok – kelompok radikal untuk mengintimidasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta melakukan tindakan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok minoritas.
Ironisnya, adanya perda tersebut, tidak membuat angka kekerasan terhadap perempuan menurun, justru sebalik. Polda Metro Jaya mencatat kasus perkosaan di ruang – ruang publik melonjak hingga 13,3 persen. Jumlah kasus pemerkosaan mengalami peningkatan dari 60 kasus selama 2010 menjadi 68 kasus sepanjang 2011 serta 6 kasus perkosaan yang terjadi di sepanjang 2012.Hal ini memperlihatkan kelalaian negara untuk melindungi dan menjamin keamanan perempuan.
Berbagai situasi tersebut telah mempertegas peran negara dalam menguatkan ketidakadilan gender. Negara secara sadar dan sistematis telah melakukan pengabaian terhadap hak – hak perempuan, bahkan tidak ada pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak – hak perempuan, terlebih lagi dengan kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), yang semakin menyulitkan situasi perempuan.
Pada peringata Hari Perempuan Sedunia, GADIS (Gerakan Anti Diskriminasi Terhadap Perempuan) kembali menggugat tanggung jawab SBY – Boediono atas maksimalnya kekerasan dan pemiskinan perempuan yang dibiarkan dan dilakukan oleh negara dan minimnya tanggung jawab dan perlindungan negara terhadap hak asasi perempuan, dengan berbagai tindakan nyata yaitu :
- Mencabut kebijakan larangan penempatan PRT Migran, dan memastikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak buruh migran perempuan melalui ratifikasi Konvensi Migran 1990 mengenai Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan anggota Keluarganya dan Revisi UU No. 39 tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri berdasarkan Konvensi Migran 1990 dan CEDAW.
- Mendesak negara menyelesaikan konflik perampasan tanah rakyat akibat pertambangan, perkebunan kelapa sawit serta pembangunan infrastruktur; serta kasus-kasus kriminalisasi perempuan, termasuk perempuan pejuang HAM.
- Mencabut kebijakan UU No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, pengrusakan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan perempuan, dan memperluas industrialisasi produksi pangan skala besar.
- Mendesak negara untuk segera membangun mekanisme standar perlindungan perempuan yang menjadi acuan dalam kebijakan dan proyek iklim.
- Mendesak negara melakukan langkah konkrit atas krisis pangan dan pelanggaran hak atas pangan dan mengembalikan kedaulatan rakyat dengan merevisi UU Pangan No. 7 Tahun 1996 untuk memastikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak Perempuan atas pangan. Memperbaiki system produksi pangan dalam negeri dengan melakukan pembaharuan agraria sehingga rakyat baik laki-laki maupun Perempuan mampu memproduksi, mendistribusi dan mengkonsumsi pangannya sendiri dan tidak tergantung pada pangan impor.
- Menindaktegas pelaku kekerasan atas nama agama yang mendiskriminasikan dan mengkriminalisasikan perempuan. Mencabut serta berhenti memproduksi peraturan diskriminatif terhadap Perempuan, yang melanggar Konstitusi Negara, yaitu UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
Jakarta, 8 Maret 2012
Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Jl. Siaga 2 No. 36, Pasar Minggu
Jakarta Selatan Telp: (021) 7918.3108, Fax: (021) 798.1479
Website: www.solidaritasperempuan.org
Contact Person:
Puspa Dewy (0852 6024 1597)/ Thaufiek Zulbahary (0812.193.4205)/ Tini Sastra (0813.8674.6494)
Andy Cipta (0856.9300.6315)/ Aliza Yuliana (0818 129770)
[1]Tercatat tahun 2010, terjadi terjadi 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik (Data KPA, 2012) [2] Data Komnas Perempuan, 2011