“Hak Asasi Perempuan atas Air Vs Kepentingan Investasi : Solidaritas Perempuan Menuntut Negara Untuk Memenuhi Hak Perempuan Atas Air”

Penyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Hari Air Sedunia 2020

Di tengah maraknya wabah Virus Corona dan himbauan pemerintah untuk rajin mencuci tangan sebagai bagian antisipasi untuk memutus penyebaran virus Corona, tidak sejalan dengan kenyataan bahwa tidak semua masyarakat dapat mudah melakukan hal tersebut. Nyatanya, meskipun air merupakan hak dasar warga negara, namun masih banyak masyarakat yang mengalami krisis air, dan tidak dapat mengakses air bersih untuk kebutuhan mereka.  

Air adalah hak asasi manusia, sudah menjadi kewajiban negara untuk (1) untuk menghormati (to respect), (2) untuk melindungi (to protect), (3) untuk memenuhi (to fulfill) hak warganya. Alih-alih menjalankan kewajiban tersebut, negara justru menghasilkan kebijakan dan langkah-langkah yang secara terang-terangan melanggar, atau mengakibatkan terlanggarnya hak warga negara atas air. Krisis air yang terjadi semakin melanggengkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Pasalnya,  peran gender yang dilekatkan menempatkan prempuan untuk lebih banyak bersinggungan dengan air, seperti memasak, mencuci baju, mencuci peralatan makan, maupun memandikan anak. Perempuan memiliki kebutuhan dan kerentanan lebih besar atas air untuk kesehatan reproduksinya.  Krisis air juga membuat perempuan mengalami beban berlapis, karena harus berpikir dan bekerja lebih berat ataupun  menyiasati pengelolaan uang rumah tangga untuk membeli air, demi memastikan ketersediaannya untuk kebutuhan keluarga dan rumah tangga. Lebih jauh lagi, krisis air yang mengakibatkan kehancuran dan hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat, juga akan berdampak secara berlapis bagi perempuan. Perempuan seringkali harus beralih profesi, karena lahan pertaniannya tidak lagi bisa ditanam, tidak bisa menangkap ikan di sungai, dan lain sebagainya. Untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga, perempuan juga seringkali harus bermigrasi hingga bekerja di luar negeri dan mengalami berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM.

Berbagai persoalan krisis air yang terjadi tidak terlepas dari skema kebijakan negara yang beroritentasi pada investasi dibandingkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak warga negaranya atas air. Air dan sumber mata air hanya dilihat sebagai komoditas yang diprivatisasi pelayanannya, dimonopoli, ataupun dibiarkan rusak dan/atau tercemar akibat aktivitas industri atas nama investasi dan pembangunan. Hal ini turut diperparah oleh krisis iklim, yang menghancurkan sumber mata air secara masif.

Pada peringatan Hari Air Sedunia 2020, Solidaritas Perempuan mencatat beberapa persoalan dialami masyarakat, utamanya perempuan sebagai berikut:

Pertama, Privatisasi Air, di antaranya terjadi di Jakarta, di mana pengelolaan air diserahkan kepada PT. Aetra dan Palyja. Meski terus membayar dengan tarif tinggi untuk pelayanan air, masyarakat di Rawa Badak dan Cilincing terus mengalami  permasalahan seperti air bau, keruh, debit air yang sedikit, bahkan hanya ke luar di waktu tertentu. Akibatnya, perempuan harus terjaga hingga dini hari untuk menampung air yang biasanya keluar pada tengah malam. Mereka juga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli air isi ulang demi memenuhi kebutuhan air minum dan memasak makanan, karena air dari perusahaan tidak layak konsumsi.  

Kedua, Monopoli Sumber Mata Air oleh perusahaan. Penguasaan dan penyedotan air besar-besaran untuk aktivitas pengolahan bahan tambang atau perkebunan skala besar, maupun untuk penyediaan layanan air perumahan dan pengolahan air minum dalam kemasan, dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar. Seperti yang terjadi di Aceh Besar, di wilayah tambang semen oleh PT. Solusi Bangun Andalas (PT SBA).[1] Perusahaan melakukan penguasaan atau monopoli terhadap sumber air masyarakat, dengan melakukan penyedotan menggunakan mesin berkekuatan besar di daerah dekat hulu untuk kebutuhan produksinya dan mengakibatkan debit air sungai yang sampai ke perumahan penduduk terus menurun sehingga masyarakat kesulitan air.[2] Situasi ini juga dialami oleh masyarakat di Desa Lassang Barat Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, di mana debit air sumur warga semakin lama semakin menurun akibat penyedotan air tanah oleh perusahaan air minum dalam kemasan.

Ketiga, Pencemaran Sumber Air Karena Limbah, di mana massifnya industri perkebunan skala besar, seperti sawit, maupun tebu telah berdampak pada pencemaran air. Seperti yang terjadi di Desa Mantangai Hulu Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, dimana Sungai Kapuas yang merupakan sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tercemar karena limbah dari pertambangan emas di hulu sungai dan perkebunan sawit di sepanjang daerah aliran sungai. Sedangkan perempuan di Ogan ilir Sumatera Selatan, sekarang tidak bisa lagi menangkap ikan dari sungai karena PTPN VII Cinta Manis, telah membuang limbah ke sungai, membuat air sungai menjadi kuning dan ikan-ikan mati. Hal ini berdampak pada menyusutnya penghasilan warga. Di kedua daerah ini perempuan juga mengalami ganguan kesehatan reproduksi dan gatal-gatal pada kulit mereka. Selain itu, perkebunan skala besar yang rakus air, juga membuat sumber mata air semakin dangkal dan air yang tersedia berkurang.

Keempat, Penghancuran Sumber Mata Air Masyarakat, salah satunya juga terjadi di Aceh Besar, di mana tambang semen yang saat ini dikuasai oleh PT. SBA, selama lebih dari 35 tahun telah mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhok Nga. Penambangan batu gamping menggunakan ledakan telah mematikan goa-goa air di Kawasan Karst tersebut. Padahal berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Karst Aceh menunjukkan bahwa Kawasan karst Lhok Nga merupakan Kawasan karst kelas 1 yang seharusnya tidak diperbolehkan adanya aktivitas penambangan.

Tidak hanya dengan memfasilitasi perusahaan dan industri, keberpihakan Negara kepada investor, juga diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Pasca dibatalkannya UU Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi karena terbukti melanggar hak warga negara, DPR dan Pemerintah justru menghasilkan UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UUSDA), yang lagi-lagi mencerminkan deregulasi dan privatisasi pelayanan publik dengan keberpihakan pada investasi. Dalam UU tersebut tidak ada ketentuan yang melarang secara tegas praktik privatisasi pelayanan penyediaan air yang selama ini menimbulkan pelanggaran hak masyarakat atas air. Dalam pasal 46 dalam UU ini membahas mengenai izin penggunaan air untuk kebutuhan berusaha, dan keterlibatan swasta memang diperbolehkan, dengan berbagai ketentuan yang tidak tegas, karena diserahkan kepada peraturan pelaksana di bawahnya. Pada praktiknya, ketentuan yang dimaksudkan sebagai pembatasan tersebut dapat saja dipenuhi, dengan menggunakan kedok kesejahteraan rakyat. Sementara, untuk penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), swasta juga dimungkinkan terlibat, seperti yang tercantum dalam pasal 50 yang membuka ruang privatisasi terhadap pengelolaan air dan sumber air.

Tidak cukup dengan pengaturan di dalam UU SDA, penguatan deregulasi dan paradigma air sebagai komoditas akan dilakukan melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kebijakan yang isinya mempermudah berbagai jenis investasi ini menyelaraskan 79 Undang-undang, termasuk UU SDA, dengan menghapus dan mengganti pasal-pasal yang dianggap menghambat laju investasi. Di antaranya, Pasal 55 ayat (11) yang menghapus Pasal 17 UU SDA, mengenai peran Pemerintah Desa dalam pengelolaan air di wilayah desa dan menutup peluang partisipasi masyarakat desa dalam Pengelolaan Sumber Daya Air. Selain itu, pasal 55 ayat (24) mengubah Pasal 51  UU SDA, yang menyerahkan persyaratan minimal untuk perizinan berusaha oleh pihak swasta untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung merupakan wujud pelanggaran hak asasi rakyat, baik perempuan maupun laki-laki yang dilakukan negara demi memastikan keberlanjutan investasi di Indonesia.

Berdasarkan berbagai situasi dan persoalan tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak Presiden Jokowi untuk memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak perempuan atas air dengan mengeluarkan kebijakan yang setidaknya:

  1. Menghentikan segala bentuk privatisasi dan monopoli air oleh perusahaan serta menindak tegas perusahaan yang melakukan pencemaran dan pengrusakan sumber air.
  2. Memberikan jaminan partisipasi dan keterlibatan penuh perempuan serta keterwakilan kepentingan perempuan dalam kelembagaan, kebijakan, program dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan air dan sumber daya air di semua tingkatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi, untuk memastikan pengelolaan air dapat sesuai sasaran/kebutuhan dan keberkelanjutan, berdasarkan kebutuhan serta manfaat, baik kuantitas dan kualitas air yang dibutuhkan atau digunakan sehari-harinya.
  3. Memberikan jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan atas air yang cukup, aman, dan terjangkau secara fisik serta finansial untuk penggunaan pribadi, keluarga dan rumah tangga, maupun untuk kebutuhan produksi dan irigasi, dengan memastikan akses dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki atas hak atas air serta untuk mendapatkan manfaat dan hasil yang setara, baik bagi dirinya, keluarga dan komunitasnya.
  4. Memberikan jaminan perlindungan serta sarana dan prasarana pendukung untuk pengelolaan air berbasis komunitas oleh kelompok masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki.

 

Jakarta, 22 Maret 2020

 

Dinda Nuur Annisa Yura
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

[1] Sebelumnya Semen Andalas Indonesia kemudian menjadi PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI), kemudian diakuisisi oleh PT Holcim dan akhirnya sekarang bernama PT. Solusi Bangun Andalas (PT. SBA) setelah diakuisisi oleh Semen Indonesia.

[2] Berdasarkan data AMDAL Lafarge, dikatakan bahwa setiap harinya perusahaan itu membutuhkan 980 ton air /hari. Dimana 550 ton air/hari digunakan untuk pabrik semen dan 430 ton air/hari dipergunakan untuk PLTU.

Translate »