Hari Agraria Nasional: Hentikan Agenda Reforma Agraria Palsu, Perempuan Mendesak Tegakkan Konstitusionalisme Agraria yang Adil Gender

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Memperingati Hari Agraria Nasional
Untuk Disiarkan Segera

Jakarta, 24 September 2022. Pada peringatan Hari Agraria Nasional 2022, Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah dan MPR untuk menjalankan reforma agraria sebagaimana tertuang dalam TAP MPR NOMOR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam konsideran yang tercantum, sumber daya agraria sudah seharusnya dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tak hanya itu, TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan sumber daya alam juga menjamin prinsip keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Sayangnya, 62 tahun pasca lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), konflik agraria masih menjadi ancaman bagi perempuan dan masyarakat dalam menjaga ruang hidupnya dan tidak ada kemauan politik pemerintah dalam menuntaskan persoalan agraria.

Di wilayah pengorganisiran Solidaritas Perempuan, tercatat ada empat PSN yang merampas ruang hidup perempuan dan menimbulkan konflik agraria, di antaranya Makassar New Port (MNP) di Makassar, Pembangunan Bendungan Bener di Wadas – Purworejo, Bendungan Meninting di Mataram, dan Food Estate di Kalimantan Tengah. Selain itu, konflik agraria berkepanjangan juga dialami masyarakat yang berhadapan dengan perkebunan skala besar, seperti yang terjadi di PTPN Cinta Manis dan PTPN Takalar. Kemudian di Palu, Sulawesi Tengah, akses perempuan terhadap hutan dibatasi akibat adanya perampasan lahan untuk areal kawasan Taman Nasional Lore Lindu.

Dalam pola konflik agraria, kriminalisasi menjadi cara negara dalam membungkam perlawanan masyarakat, ditambah dengan penanganan secara represif yang melibatkan militer dan aparat. Di tahun 2012, konflik agraria di PTPN Cinta Manis telah memakan korban dan mengkriminalisasi masyarakat. Pola tersebut juga terjadi pada salah satu petani di Desa Lassang Barat – Sulawesi Selatan. Secara sepihak pihak perusahan mencabuti hingga menggusur tanaman padi milik masyarakat menggunakan alat berat dan menggantinya dengan tanaman tebu. Bentuk perlawan masyarakat justru dijadikan sebagai celah melakukan upaya kriminalisasi dengan melakukan pemanggilan melalui surat terkait Dugaan Tindakan Pidana Pengrusakan. Komite CEDAW melalui Concluding Observations dalam Sesi ke-88 Review CEDAW pun mempersoalkan intimidasi, ancaman, dan kekerasan yang sering dialami perempuan pejuang HAM yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya.[1] Untuk itu, Komite CEDAW mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera mengadopsi kebijakan perlindungan perempuan pembela HAM untuk yang memperjuangkan hak atas tanah.

Akibatnya, konflik agraria dirasakan berlapis oleh perempuan. Perempuan yang berada di tengah konflik agraria harus menghadapi ancaman hilangnya sumber kehidupan yang selama ini ia kelola dan menjadi sumber dalam penghidupannya. Tak ayal, perempuan yang berujung kehilangan ruang kelolanya terpaksa mencari penghidupan lain dengan bermigrasi. Bayangan memperbaiki kehidupannya, akhirnya mendorong perempuan menjadi buruh migran dengan beban berlapis yang melekat dalam dirinya. Tak jarang, proses migrasi yang sulit justru dimanfaatkan oknum dan menjadikan perempuan menjadi korban perdagangan manusia.

Alih-alih menyelesaikan persoalan dalam situasi tersebut, Pemerintah menjadikan agenda reforma agraria yang tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni ketimpangan penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Melalui kemudahan perizinan yang dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja, korporasi dengan semena-mena menggusur perempuan dari ruang hidupnya. Berdasarkan analisis Solidaritas Perempuan terkait kondisi agraria hari ini, di mana proyek-proyek pemerintah digencarkan atas nama pemulihan pasca Pandemi, maka dalam Hari Agraria Nasional 2022, Solidaritas Perempuan mendesak:

  1. MPR untuk menjalankan TAP MPR NO. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam guna menjamin pengelolaan sumber agraria kembali pada perempuan dan masyarakat;
  2. Presiden untuk menjalankan Reforma Agraria sebagaimana diatur melalui UUPA;
  3. Pemerintah untuk menghentikan proyek-proyek yang merampas ruang hidup perempuan dan mengembalikan pengelolaan berdasarkan kearifan lokal yang telah tumbuh lestari di komunitas;
  4. Pemerintah untuk menghentikan tindakan represif dalam konflik agraria;
  5. Pemerintah untuk membuat kebijakan perlindungan perempuan berhadapan dengan konflik agraria.

 

 

Narahubung:
Annisa (087884446640)

[1] CEDAW/C/IDN/CO/8 Para. 33

Translate »