Siaran Pers Solidaritas Perempuan Anging Mammiri
Makassar, 05 Juni 2018. Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati di tengah penghancuran lingkungan hidup dan sumber kehidupan yang semakin massif di Sulawesi Selatan. Dari tahun ke tahun penghancuran Lingkungan terus terjadi dan semakin meningkat akibat berbagai proyek untuk kepentingan investasi, di antaranya proyek infrastruktur dan perkebunan skala besar. Proyek reklamasi untuk pembangunan pelabuhan Makassar New Port (MNP) yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh PT.Pelindo di Kel. Buloa – Tallo yang merusak lingkungan bahkan mematikan ekosistem laut. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu Perempuan pencari kerang yang terkena dampak langsung dengan adanya proyek pembangunan pelabuhan Makassar New Port, “ Sekarang sudah tidak bisamaki cari tude dan kanjappang (kerang) sudah banyak lumpur dan sampah karena sudah tidak ada lagi arus air semenjak di banguni tanggul, jadi itu tude-tude mati semua.”
Hal ini menunjukkan bahwa berbagai kebijakan/program di pesisir Kota Makassar, tidak hanya merusak/mencemari lingkungan hidup pada kawasan pesisir, tetapi juga merampas pangan dan sumber kehidupan masyarakat. Hak masyarakat nelayan, perempuan nelayan atas pesisir dan sumber kehidupannya di laut hilang dan mati akibat pencemaran dari aktivitas pembangunan dan limbah indusrti. Laut yang dijadikan perempuan nelayan/pesisir dan perempuan produsen pangan kecil sebagai sumber pangan dan mata pencaharian untuk mencari ikan, kerang, udang, dan kepiting tergantikan dengan pembangunan pelabuhan, hotel, mall, dll. Perusakan lingkungan dan penghancuran ekosistem laut juga mengancam kelestarian lingkungan hidup bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Selain itu, hadirnya PTPN XIV di Kabupaten Takalar telah mengakibatkan sungai yang berada di sekitar pabrik tercemar akibat limbah yang dihasilkan oleh pabrik. “Semenjak ada itu pabrik gula, kalau dari sungai ki pasti gatal-gatalka, airnya juga berwarna coklat karena itu sampah pabrik kalau sudah menggiling langsung dibuang ke sungai”. Ungkap Daeng Lina salah satu Perempuan Petani Kab.Takalar yang harus kehilangan lahan pertanian seluas 2 Ha. Sungai tersebut dijadikan oleh Perempuan petani untuk mencari ikan dan melakukan aktivitas kesehariannya. Tidak hanya itu, PTPN XIV juga telah mengalihfungsikan lahan pertanian ke perkebunan monokultur (perkebunan tebu skala besar). Lahan yang dijadikan Perempuan sebagai sumber pangan dan sumber kehidupan tergantikan dengan perkebunan tebu skala besar yang menyebabkan masyarakat khususnya Perempuan dengan sangat terpaksa harus beralih profesi sebagai PRT, IRT, Buruh bangunan, Buruh tani dan tidak sedikit dari mereka memilih bermigrasi dengan perlindungan dari Pemerintah yang sangat minim. Peran gender yang dilekatkan pada Perempuan sehingga ketika lahan pertanian dialih fungsikan maka Perempuan yang paling merasakan dampaknya, perempuan harus berfikir dan bekerja ekstra untuk memastikan kebutuhan keluarganya terpenuhi.
Situasi tersebut telah membuktikan bahwa Perusahaan dan Negara telah menjadi aktor perusak Lingkungan hidup dan telah gagal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam memenuhi, melindungi dan menghormati Hak Masyarakat. Pemerintah telah abai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan cenderung berpihak pada kepentingan investasi/perusahaan dengan membuka kerang yang sebesar-besarnya untuk merusak dan mengeksploitasi lingkungan dengan menghadirkan berbagai macam produk kebijakan yang semakin menghilangkan akses dan kontrol masyarakat khususnya Perempuan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam bahkan memandang SDA sebagai “obyek” komoditas sehingga tidak heran jika hari ini masih terus kita saksikan bersama Petani, Nelayan tradisional, Perempuan pencari kerang, dan perempuan pesisir harus menjerit akibat perampasan ruang hidup dan ruang kelolahnya. Negara juga tidak memiliki kemampuan untuk mencegah dan menangani pelanggaran HAM, perampasan sumber kehidupan masyarakat dan perusakan ligkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Pada momentum hari Lingkungan hidup tahun ini yang juga merupakan momen Politik dimana Propinsi Sulawesi Selatan akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pada bulan Juni, tentunya akan menjadi ruang untuk mengusung langkah perubahan yang adil bagi Masyarakat khususnya Perempuan dalam pengelolaan Lingkungan Hidup, Keadilan Ekologi Harus Menjadi Agenda Prioritas Pemimpin ke depan. Pemimpin kedepan harus mampu merubah pola pengelolaan Lingkungan dengan melihat sumber daya alam dan lingkungan sebagai kehidupan bukan “Komoditi”.
SP Anging Mammiri bersama Perempuan Nelayan/pesisir dan Perempuan Petani di Provinsi Sulawesi Selatan, berharap Pemimpin yang terpilih nantinya, memiliki perspektif terhadap keadilan ekologi dan memiliki komitmen untuk menindak tegas para pelaku/actor yang telah dan/atau merusak Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan. “Pada hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini yang juga merupakan momen tahun politik, Penting untuk kita semua mengetahui track record masing-masing kandidat dengan memastikan seluruh kandidat/Calon pemimpin Daerah bukan perusak lingkungan dan tidak memiliki keterikatan politik terhadap perusahaan perusak lingkungan, menagmbil langkah nyata untuk mereview izin-izin proyek/program (Reklamasi Pantai Kota Makassar dan Perkebunan tebu Kab.Takalar) yang merusak lingkungan, serta menyusun kebijakan/kerangka hukum untuk menindak tegas perusak lingkungan hidup dan pelanggaran HAM”. Ungkap Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri.
Kontak Person :
Suryani (Koordinator Program)
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (085 255 955 291)