PEREMPUAN PEJUANG KEDAULATAN PANGAN
“Agenda Politik Perempuan untuk Kedaulatan Pangan”
Jakarta, 7 Maret 2018
TEMPOJAKARTA.COM Jakarta – Perempuan dan kedaulatan pangan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Praktik selama ini, pengetahuan kearifan dan pengalaman yang dimiliki perempuan mampu mempertahankan pola pengelolaan produksi pangan alami yang berkelanjutan. Dalam hal distribusi juga bisa dilihat perempuan yang banyak menggerakkan pasar-pasar tradisional di desa dan kota. Termasuk produk pangan rumahan yang banyak dikelola dan dijalankan oleh perempuan. Hingga akhirnya pangan tersedia di atas meja makan untuk konsumsi keluarga pun tetap dilekatkan menjadi tanggungjawab bagi perempuan.Ujar Puspa Dewy, Jakarta, Kamis 8 maret 2018.
Namun perubahan sistem pangan di dunia, termasuk di Indonesia telah meminggirkan peran dan pengetahuan perempuan. Globalisasi ekonomi yang mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi memaksa produsen pangan kecil bersaing dengan korporasi pangan. Sistem pengelolaan pangan tradisional dipandang tidak efektif dan efisien dari segi produksi sehingga digantikan dengan sistem yang modern untuk memacu peningkatan hasil produksi. Petani,nelayan, dan masyarakat adat secara sistemik dijebak dalam teknologi yang tidak mampu diciptakannya sendiri sehingga biaya produksi pangan melangit. Benih telah dikuasai oleh perusahaan, bahkan semakin massif munculnya benih dengan rekayasa genetika yang mengancam kesehatan, keanekaragaman hayati dan lingkungan. Perempuan yang selama ini berperan dalam keanekaragaman hayati dan keberlangsungan alam menjadi tersingkir. Keahliannya dalam konservasi berbagai benih tanaman pangan, merawat tanaman dan mengolah hasil panen digantikan oleh benih unggul, pupuk kimia, herbisida dan pestisida yang diproduksi oleh pabrik. Belum lagi penggunaan teknologi yang sulit diakses oleh perempuan. Di sisi lainnya, perdagangan bebas membuka impor pangan yang menjadikan produsen pangan kecil harus juga bersaingan dengan produk pangan dari luar negeri yang harganya lebih murah dengan kualitas baik karena masih disubsidi. Sementara subsidi pertanian dan perikanan di Indonesia terus dipaksa untuk dicabut.Menurut” Puspa Dewy Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas.Jakarta,Kamis 8 maret 2018.
Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada investasi juga mengakibatkan alih fungsi lahan, perampasan tanah dan sumber kehidupan lainnya yang disertai dengan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Realitas ketimpangan struktur agraria menimbulkan konflik agraria yang diperparah dengan budaya patriarki yang lebih mengutamakan laki-laki. Ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang berimplikasi pada ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah antara perempuan dan laki-laki akibat adat dan budaya. Hilangnya sumber kehidupan tidak hanya dalam hal perampasan hak atas tanah, melainkan juga pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem.
Hal ini dilihat dari ancaman industri ekstraktif yang rakus air dan membongkar bentang alam. Sehingga industri ekstraktif ini merupakan industri yang patriarch/maskulin. Beberapa industri ekstraktif antara lain pertambangan batu bara, nikel, emas, galian c, karst untuk marmer dan semen, juga termasuk perkebunan kelapa sawit. Padahal air adalah hal yang tak terpisahkan dalam perjuangan mewujudkan kedaulatan pangan, baik sebagai sumber produksi maupun sebagai konsumsi. Namun, seperti halnya sumber daya lainnya, air juga dieksploitasi, dicemari, dan diprivatisasi. Karakter industri ekstraktif antara lain bisnisnya yang eksploitatif, memarjinalisasi fungsi alam, mengorbankan kepentingan perempuan, klaim teknologi sehingga meminggirkan masyarakat adat, menghancurkan kearifan tradisi dan budaya, serta menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan yang berujung pada konflik sumber daya alam.
Di sektor pesisir, masih banyak kekerasan yang dialami oleh perempuan nelayan akibat kebijakan dan program negara. Beberapa di antaranya adalah reklamasi, penambangan pasir, pembangunan PLTU yang telah merampas ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Tidak adanya pengakuan identitas perempuan nelayan, menjadikan perempuan nelayan terkecualikan dalam program perlindungan maupun kebijakan.Ungkap Puspa Dewy (Bambang S)