PERNYATAAN SIKAP BERSAMA
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Jaringan
Jakarta, 3 Agustus 2016
Pengantar
Bahwa telah terjadi insiden kekerasan terhadap 11 orang dalam aksi petani di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat pada 23 Juli 2016 dan berujung pada penangkapan 2 (dua) orang bernama Ikhsan dan Akun. Dua hari kemudia (25 Juli 2016) sekitar pukul 15.30 WIB kembali terjadi penangkapan paksa terhadap Sdr. Katin dalam keadaan sakit, dan kemudian penangkapan berlanjut pada 28 Juli 2016 sekitar pukul 18.30 WIB atas Sdr. Ponidi. Terakhir pada 30 Juli 2016 satu orang warga desa Mengkalang Guntung bernama Efendi juga ditangkap aparat. Dari kelima orang tersebut, hanya Sdr. Akun yang kemudian dibebaskan, sementara 4 lainnya masih ditahan dengan tuduhan melakukan pemukulan dan pencurian.
Selain melakukan pemukulan, penangkapan dan penahanan, pada 30 Juli 2016 di lapangan polisi juga melakukan sweeping ke rumah-rumah warga dan pengambilan beberapa barang milik warga, diantaranya mobil Grand Max milik Pak Zaenal serta motor tosa dan motor air milik Pak Rahman. Peristiwa kekerasan dan penangkapan yang dilakukan aparat telah berdampak pada ketakutan bagi warga terutama perempuan dan anak.
Akibat sweeping, penangkapan dan penyitaan kendaraan milik warga tersebut, membuat suasana di desa semakin mencekam dan menimbulkan rasa ketakutan ratusan orang warga Patok 30, Dusun Melati, Desa Olak-olak Kubu hingga terpaksa mengungsi ke tempat-tempat yang dirasa lebih aman pada hari itu (30/07). Hingga kini warga mengungsi di empat titik berbeda. Berdasarkan laporan sementara dari lapangan, terdata 69 jiwa yang terdiri dari 48 laki-laki dewasa, 12 orang perempuan dewasa dan 9 lainnya anak-anak. Selain itu, saat ini terdapat dua orang yang sedang dalam keadaan sakit yaitu Mahesa (2,5 th) dan Tari (28 th).
Kejadian di Kubu Raya menambah daftar panjang konflik agraria di negeri ini, khususnya di sektor perkebunan. Tahun 2015 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 252 konflik agraria dengan luas areal konflik seluas 400.430 ha dan melibatkan 108.714 KK. Dari 252 konflik, tertinggi adalah konflik agraria di sektor perkebunan(50%). Kemudian disusul sektor pembangunan infrastrastruktur, kehutanan, tambang, pertanian dan pesisir-kelautan. Korban kriminalisasi dan kekerasan akibat konflik agraria berkepenjangan tercatat 278 orang ditahan, 124 dianiaya/luka-luka, 39 ditembak dan telah menewaskan 5 orang.
Latar belakang konflik
Aksi yang berujung terjadinya kekerasan dan penangkapan warga pada 23 Juli 2016 merupakan buntut dari konflik agraria yang berkepanjangan antara warga di 8 desa di Kecamatan Kubu dengan perusahaan perkebunan PT. Sintang Raya.
Di desa Olak-olak Kubu, konflik diakibatkan adanya peralihan lahan seluas 801 Ha dari PT. Cipta Tumbuh Berkembang (CTB) kepada PT. Sintang Raya (SR) tanpa sepengetahuan petani plasma PT. CTB yang luas lahan plasmanya 151 Ha. Selain itu juga terjadi penyerobotan 5 Ha lahan warga Desa Olak-Olak oleh PT. Sintang Raya sedangkan Desa Olak-olak Kubu tidak termasuk dalam SK hak HGU guna usaha (HGU) PT. Sintang Raya.
Di Desa Pelita Jaya, konflik akibat penyerobotan lahan milik warga seluas 54 Ha yang dikerjasamakan dengan PT. Cipta Tumbuh Berkembang. Selain itu, Desa Pelita Jaya tidak termasuk dalam HGU PT. Sintang Raya.
Di Desa Dabong, adanya penyerobotan lahan SP 2 (lahan cadangan untuk areal pemukiman transmigrasi) seluas 2.675 Ha berdasarkan SK Gubernur Kalimaantan Barat No. 476 tahun 2009. Sementara di Desa Seruat II adanya penyerobotan lahan cadangan pengembangan masyarakat seluas 900 Ha.
Sementara di Desa Sungai Selamat, Ambawang, Mengkalang Jambu dan Mengkalang Guntung tidak adanya kejelasan mengenai lahan plasma masyarakat di dalam HGU .
Selain persoalan tanah, persoalan juga terjadi bagi buruh tani, selain soal upah juga soal statusnya tetap sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) meski sudah bertahun-tahun bekerja pada PT. Sintang Raya, baik di bagian pemanenan maupun perawatan dan ini mengakibatkan hak-haknya atas berbagai tunjangan menjadi hilang.
Eskalasi konflik makin meningkat pasca adanya putusan PTUN yang menyatakan bahwa HGU PT. Sintang Raya batal demi hukum melalui putusan No. 36/G/2011/PTUN-PTK yang diperkuat melalui PT.TUN dengan No. 22/B/2013/PT.TUN.JKT dan Putusan Mahkamah Agung No. 550 K/TUN.2013. Terdapat pula putusan MA yang menolak PK yang diajukan PT. Sintang Raya dengan No.152 PK/TUN/2015. Namun demikian, pemerintah tidak segera menjalankan amar putusan pengadilan tersebut.
Tidak adanya ujung penyelesaian tentu saja membuat warga kecewa, yang akhirnya melakukan protes dengan memanen kebun sawit yang ada di Desa Olak olak pada tahun 2014. Aksi protes ini mengakibatkan 16 orang dikriminalisasi, dimana 15 orang divonis pidana rata-rata 2 bulan dengan alasan melakukan pencurian atas laporan PT. Sintang Raya.
Aksi protes dengan cara ini juga kembali dilakukan oleh ratusan warga di lokasi yang sama pada 9 Juli 2016, dan akibat aksi ini 4 orang warga dipanggil sebagai tersangka. Pemanggilan terhadap 4 orang warga inilah yang kemudian mendorong sekitar 420 warga dari berbagai desa merencanakan melakukan protes kepada PT. Sintang Raya dan mendesak PT. Sintang Raya untuk mencabut laporannya. Akan tetapi sebelum aksi dilakukan, massa telah dihadang oleh puluhan aparat kepolisian hingga terjadi situasi seperti saat ini.
Atas kenyataan di atas, kami memandang bahwa kehadiran PT. Sintang Raya di Kecamatan Kubu telah melahirkan banyak masalah, baik akibat proses perizinan maupun aktivitasnya di lapangan, padahal telah ada pembatalan HGU oleh Pengadilan.
Terdapat pelanggaran oleh pemerintah yang memberikan perizinan tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang diperparah dengan memberikan perlindungan kepada PT. Sintang Raya, mengabaikan amar putusan pengadilan, melakukan pengamanan, intimidasi hingga kriminalisasi terhadap warga yang melakukan tuntutan atas hak-haknya.
Oleh karena itu kami dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menyatakan sikap bersama “Hentikan kekerasan, intimidasi dan penangkapan petani Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat” dan menuntut:
- KAPOLRI, KAPOLDA Kalimantan Barat hingga Polres Mempawah agar bertanggung jawab atas terjadinya tindakan kekerasan, intimidasi, dan penangkapan terhadap petani di Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya Kalimantan Barat, dengan segera menarik pasukan di lapangan, menghentikan tindakan intimidasi dan segala bentuk ancaman pemanggilan warga, serta membebaskan warga/petani yang masih ditahan hingga hari ini termasuk melakukan tindakan penanganan dan pemulihan akibat dampak dari kekerasan dan teror yang dilakukan oleh aparat terutama perempuan dan anak-anak seperti trauma
- Komnas HAM RI dan Komnas Perempuan agar segera melakukan investigasi ke wilayah konflik dan titik pengungsian warga untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM, sekaligus menuntut kepolisian setempat untuk menghormati hak asasi warga yang tengah berkonflik dengan PT. Sintang Raya, serta memastikan warga terlindungi hak-haknya, baik perempuan maupun laki-laki, selama proses evakuasi, di lokasi pengungsian hingga kembali lagi dengan aman ke desa;
- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) agar segera mencabut HGU PT. Sintang Raya, tidak mengeluarkan HGU baru dan menjadikannya sebagai objek Reforma Agraria, demi pemenuhan hak-hak konstitusi warga, penyelesaian konflik agraria dan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
- Presiden RI, Bapak Joko Widodo segera menjalankan Reforma Agraria yang sejati sesuai janji politik Presiden dan membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk menjadi perhatian semua pihak.
Hormat Kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan Jaringan
KPA, AMAN, AGRA, SPI, WALHI, KontraS, Solidaritas Perempuan, YLBHI, PUSAKA, KIARA, Bina Desa, API, Sajogyo Institute, IHCS, HUMA, JKPP, PI, Lingkar Borneo, PBHK, Jari Kalbar
Narahubung KNPA: Dewi Kartika, 081 394 475 484; Aliza Yuliana, 0812 9418 9573; Ali, 0821 2013 5553; Edo Rahman, 0813 5620 8763.