Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Hari Bumi Sedunia 2018
Perusakan bumi adalah perusakan kehidupan perempuan, bukan hanya penghancuran ekologi dan ekosistem, tetapi juga penghancuran terhadap tatanan sosial, budaya dan kearifan perempuan. Hal ini diakibatkan pola pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada investasi dan pembangunan fisik berdampak pada meningkatnya bencana ekologis dan krisis iklim. Solidaritas Perempuan melihat berbagai persoalan yang muncul antara lain:
Pertama, perusakan bumi diakibatkan cara pandang yang menjadikan tanah dan sumber daya alam sebagai komoditas untuk mengeruk keuntungan semata, tanpa memikirkan kelestarian dan keberlanjutannya. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan terus menerus, semakin merusak bumi. Berbagai aktivitas korporasi yang eksploitatif, membuat bumi semakin rapuh, dan di lain sisi semakin menindas perempuan, karena perempuan tanpa akses dan kontrol atas sumber daya alam, menjadi semakin termarginalisasi dan termiskinkan. Situasi ini semakin meningkatkan beban dan memiskinkan perempuan serta semakin menjauhkan perempuan dari akses keadilan maupun kesejahteraan.[1]
Kedua, aktivitas korporasi di berbagai sektor telah terbukti menghancurkan bumi, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk Hak Perempuan. Penghancuran lingkungan terjadi akibat korporasi di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, hingga investasi di wilayah pesisir tidak hanya oleh korporasi swasta tetapi juga dilakukan oleh korporasi negara di berbagai wilayah. Penguasaan lahan besar-besaran oleh korporasi yang berujung pada konflik akibat perampasan lahan masyarakat di antaranya Konflik dengan BUMN, yaitu PTPN VII Cinta Manis di Ogan Ilir, Sumatera Selatan dan PTPN XIV di Takalar, Sulawesi Selatan untuk bisnis gula, Konflik dengan Pabrik Semen PT HOLCIM di Lhok Nga Aceh, Konflik dengan Perkebunan Kelapa Sawit di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dengan Grup Astra di Poso, Sulawesi Tengah dan dengan Grup Genting di Kapuas Kalimantan Tengah, Konflik akibat pembangunan infrastruktur, antara lain pembangunan jalan Samota di Sumbawa, Bandara di Kulonprogo, Yogyakarta, serta reklamasi pantai Makassar dan Teluk Jakarta, dan lain sebagainya. Dalam berbagai konflik tersebut, perempuan dan masyarakat lainnya mengalami intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi. Di Ogan Ilir misalnya perempuan mengalami kekerasan dari aparat, ada 4 orang perempuan yang terluka, dan seorang anak meninggal tertembak oleh Brimob. Sementara di Muara Angke Jakarta seorang perempuan yang melawan proyek reklamasi mengalami kriminalisasi pada saat sedang hamil.
Ketiga, bahwa kerusakan bumi telah menghasilkan dampak mendalam dan berlapis terlebih bagi perempuan. Kehancuran dan pencemaran sumber mata air berpengaruh pada tubuh perempuan, terutama kesehatan reproduksinya. Begitu pun tanam-tanaman yang selama ini menjadi obat-obatan perempuan dan telah menjaga kesehatan masyarakat secara turun temurun semakin sulit diakses. Massifnya eksploitasi dan penghancuran bumi, mengakibatkan perempuan kehilangan sumber-sumber kehidupannya. Dalam situasi tersebut, tidak banyak alternatif penghidupan yang menjadi pilihan perempuan, selain salah satunya adalah bekerja ke luar negeri, di mana mayoritas perempuan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga, tanpa perlindungan yang layak dari Negara dan ditempatkan dalam kerentanan terhadap ketidakadilan dan kekerasan di setiap tahapan migrasi, serta rentan diperdagangkan.
Perempuan tidak hanya kehilangan sumber-sumber kehidupannya, tetapi juga kehilangan pengetahuan dan kearifan lokalnya. Padahal, perempuan selama ini, dengan pemikiran tradisionalnya mengelola sumber daya alam, dengan menjaga kelestariannya. Pada akhirnya posisi dan peran perempuan akan semakin tidak diakui dan berdampak pada semakin terbungkamnya suara perempuan. Nilai-nilai solidaritas, dan kebersamaan saat mereka melakukan aktivitas pengelolaan sumber daya alam juga ikut hilang.
Keempat, eksploitasi Bumi untuk Kepentingan Koorporasi difasilitasi oleh negara dalam berbagai bentuk. Tingginya jumlah izin usaha,[2] baik Izin usaha Perkebunan, Izin Usaha Pertambangan, maupun izin usaha pemanfaatan hasil hutan bagi perusahaan skala besar baik swasta maupun Negara, semakin menguatkan ketimpangan dan meminggirkan rakyat, utamanya perempuan, yang selama ini dengan kearifannya menjaga keberlangsungan bumi.[3] Berbagai Undang-undang sektoral, seperti UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, UU Minerba No. 4 Tahun 2009, UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014, UU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum No. 2 Tahun 2012, UU Migas No. 22 Tahun 2001, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004 (yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi) dan terutama UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 dijadikan alat oleh Negara untuk membuka ruang sebesar-besarnya untuk kepentingan industri dan korporasi. Dalam berbagai konflik antara masyarakat dan perusahaan, negara menggunakan militer dan aparat keamanan untuk mendukung dan mengamankan aktivitas korporasi, termasuk di dalamnya dengan melakukan intimidasi, ancaman kekerasan, kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga.
Dukungan negara terhadap perusakan bumi juga dilakukan melalui perjanjian-perjanjian perdagangan yang memberikan ruang besar bagi korporasi termasuk dalam sektor pangan. Hal ini di antaranya memfasilitasi perusahaan-perusahaan benih transjenik dan hibrida, maupun pupuk kimia yang justru merusak struktur tanah, dan ekosistem, serta berampak buruk pada kesehatan reproduksi perempuan. Penyeragaman benih dan pupuk dengan menggunakan benih dan pupuk milik perusahaan ini bahkan digalakan melalui berbagai Program, misalnya saja Upaya Khusus (UPSUS) Pajale di Poso, Sulawesi Tengah. Hal ini tidak hanya merusak bumi, dan menghilangkan pengetahuan perempuan dalam pengelolaan pertanian, tetapi juga merampas kedaulatan perempuan dan menciptakan ketergantungan perempuan petani terhadap input pertanian.
Kelima, perusakan bumi juga tidak terlepas dari peran aktor-aktor global, antara lain Lembaga Keuangan Internasional, sebagai kepanjangan tangan dari Negara-negara industri yang berupaya melanggengkan dominasinya atas kekuatan ekonomi dunia. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IFC terus mendukung dan mendorong investasi dan industrialisasi serta penguatan peran swasta dan mekanisme pasar bebas, antara lain melalui bantuan teknis untuk perumusan kebijakan ataupun pinjaman modal bagi perusahaan yang mana sangat berperan bagi penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan skala besar, utamanya perusahaan multinasional/transnasional.
Keenam, bahwa krisis iklim akibat perusakan bumi justru menjadi isu yang digunakan negara industri dan korporat untuk melanggengkan kekuatan ekonominya dan kembali mencari keuntungan dengan melahirkan solusi-solusi palsu perubahan iklim. Berbagai skema solusi palsu yang dihasilkan dari perundingan iklim, justru didukung oleh Pemerintah Indonesia. Skema solusi palsu yang dijalankan Pemerintah Indonesia, antara lain adalah REDD+, geothermal, maupun reklamasi pantai melalui proyek NCICD yang mengatasnamakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim justru menghasilkan persoalan baru dan melanggengkan penguasaan ekonomi dunia di tangan korporat dan pemodal. Berbagai proyek tersebut berpotensi berbahaya, merusak lingkungan dan melanggar HAM, serta mengancam ruang hidup dan kedaulatan perempuan.
Sikap Solidaritas Perempuan
Dalam momentum hari bumi ini, Solidaritas Perempuan perlu menyuarakan dan menegaskan kembali kepada pemerintahan Jokowi-JK untuk melakukan tindakan nyata penyelamatan bumi. Di tahun terakhir pemerintahannya, Jokowi JK harus menghentikan kontrol Negara-negara industri melalui berbagai kesepakatan internasional dan intervensi lembaga keuangan internasional, serta menghentikan keserakahan korporasi yang merusak dan mengeksploitasi bumi. Untuk itu, Solidaritas Perempuan bersama 11 Komunitas mendesak Pemerintah Jokowi-JK dan DPR RI untuk:
- Menghentikan pemberian Izin dan HGU baru serta mengkaji ulang izin-izin, AMDAL dan HGU lama dari korporasi, baik milik swasta maupun Negara yang mengeksploitasi bumi, merusak lingkungan dan melanggar HAM, termasuk hak asasi perempuan.
- Melakukan aksi nyata untuk penyelesaian konflik agraria dan pemulihan kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya dan lingkungan perempuan, dengan memastikan keterlibatan perempuan dalam setiap tahapan pengambilan keputusan
- Menghapuskan ketimpangan struktur penguasaan tanah dengan melaksanakan Reforma Agraria yang berkeadilan gender serta mengembalikan kedaulatan perempuan untuk mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya dengan kearifannya.
- Memberikan pengakuan dan perlindungan hak perempuan perempuan termasuk di dalamnya perlindungan dan jaminan bagi kedaulatan perempuan untuk mengelola sumber daya alam dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan, di antaranya melalui Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender
- Mengesahkan Rancangan Undang-undang Pertanahan yang menjamin kesetaraan dan perlindungan hak perempuan atas tanah, serta keterlibatan dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pengelolaan tanah yang berdampak pada kehidupan perempuan.
- Menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan yang berpihak kepada pengusaha dan mengancam kedaulatan perempuan atas tanah dan lingkungan hidup
- Melakukan aksi nyata pengurangan emisi dengan mengurangi eksploitasi bumi dan industri ekstraktif di dalam negeri, menghentikan proyek-proyek solusi palsu yang mengancam ruang hidup perempuan, seperti REDD+, biofuel sawit, geothermal, dll, serta mendesak Negara industri untuk melakukan penurunan emisi secara onset di negaranya.
- Mereview segala bentuk kebijakan mapun perjanjian yang melegitimasi komoditisasi bumi dan sumber daya alam, di antaranya UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, UU Minerba No. 4 Tahun 2009, UU Perkebunan No. 39 Tahun 2014, UU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum No. 2 Tahun 2012, UU Migas No. 22 Tahun 2001, dan terutama UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007, serta segala bentuk perjanjian perdagangan bilateral maupun multilateral.
- Menjalankan penegakan hukum atas kejahatan korporasi, Menyusun kebijakan/kerangka hukum Nasional, serta terlibat dan mendukung inisiatif kerangka hukum internasional untuk menindak perusakan bumi dan pelanggaran HAM oleh Korporasi yang secara tegas dan efektif.
Jakarta, 23 April 2018
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh
Solidaritas Perempuan Palembang – Sumatera Selatan
Solidaritas Perempuan Sebay Lampung
Solidaritas Perempuan Jabotabek
Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta
Solidaritas Perempuan Mataram – Nusa Tenggara Barat
Solidaritas Perempuan Sumbawa – Nusa Tenggara Barat
Solidaritas Perempuan Kendari – Sulawesi Tenggara
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar – Sulawesi Selatan
Solidaritas Perempuan Palu – Sulawesi Tengah
Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso – Sulawesi Tengah
Narahubung: Aliza (081294189573)
[1] Jumlah rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga perempuan mengalami kenaikan sebesar 16,12% di tahun 2017 dari 14,97% di tahun 2014, masa awal kepemimpinan Jokowi-JK (Solidaritas Perempuan, 2017).
[2] Jumlah izin usaha perkebunan (IUP), periode 2007-2015, sebanyak 768 tersebar di 24 provinsi, yang diberikan Sekitar 95 % untuk komoditi kelapa sawit (Data Ditjenbun 2016). Luasan perkebunan sawit skala besar, di Indonesia pada tahun 2016 sudah mencapai 11,6 juta hektar. Di sektor kehutanan, dari total 42.253.234 hektare kawasan hutan yang sudah keluar izin pengelolaannya, 95,76%-nya dikelola oleh swasta, dengan luas total 40.463.103 hektare, sedangkan masyarakat hanya menguasai 4,14% kawasan hutan, dengan luas totalnya 1.748.931 hektare, dan sebanyak 0,10% atau seluas 41.200 hektare untuk kepentingan umum. (Data KLHK 2017). Sedangkan, di sektor pertambangan, Total izin usaha pertambangan (IUP) yang ada hingga Desember 2017 berjumlah 9.353 IUP, dan hanya da 6.565 IUP yang dinyatakan CnC dan 2.509 IUP masuk kategori non CnC. (Data ESDM 2017).
[3] Menurut Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia (Kompas, “Reforma Agraria Mendesak”, 8 April 2014, http://tataruangpertanahan.com/kliping-161-reforma-agraria-mendesak.html)