Ibu Tallo: Perempuan Yang Bertaruh Demi Tanah Adat Tallo

Ibu Tallo sedang menambang batu secara arif (dokumen tahun 2009)

Ibu Tallo sedang menambang batu secara arif (dokumen tahun 2009)

Sepenggal nama yang mungkin tanpa arti. Namun bagi orang yang mengenalnya, nama ini memiliki makna yang sungguh besar bagi kehidupan mereka baik keluarga hingga lingkup yang lebih besar, masyarakat.

Ibu Tallo lahir di tengah-tengah 11 saudara kandungannya pada tanggal 23 Juli 1970 dari orang tua yang sangat memegang adat. Sedari kecil, ia telah berperan sebagai tulang punggung keluarga sebagai petani kebun. Bersama keluarga besarnya ini, ia hidup di rumah sederhana dimana segala kebutuhannya digantungkan pada kedua tangan Ibu Tallo. Ibu Tallo menyadari konsekuensinya sebagai pencari nafkah tidak dapat dilakukan bila ia harus juga bersekolah formal, yang juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pendidikan yang disebut-sebut sebagai sarana mobilitas sosial, baginya merupakan langkah yang terlalu pahit. Kekerasan diperolehnya atas nama kemiskinan. Ia diharuskan berhenti oleh ayahnya ketika ia berada di bangku kelas tiga Sekolah Dasar. Hal ini dikarenakan ia diwajibkan untuk membantu orang tuanya berjualan mangga di lokasi proyek pembangunan depot Pertamina. Namun, karena ia kala itu sangat menikmati ruang kelas bersama teman-teman dan gurunya, ia nekad untuk bersekolah tanpa sepengetahuan orang tuanya. Pun, jika ia tertangkap mendatangi sekolah, ia harus dipukuli. Tekadnya membuahkan hasil, meskipun dengan negosiasi. Tallo kecil mengalah. Tallo kecil merelakan waktu bermain paska sekolah untuk menjual mangga. Uang hasil ”ketengannya” dimanfaatkan oleh keluarganya untuk membeli beras dan beli seperti penuturannya di bawah ini:

“sejak kecil saya sudah harus mencari uang untuk keluarga orang tua bilang tallo kau tidak perlu bersekolah karna sekolah tidak bisa kasih makan kita walaupun kau sekolah sekarang toh satu saat nanti kau tidak bisa bersekolah karna kami tidak punya biaya untuk kau bersekolah dan adik adikmu butuh makan jadi kau dan kakakmu harus membantu kami”.

Ia pun memutuskan untuk berhenti di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama oleh sebab ketidakmampuan finansial. Ia pun mencari nafkah keluarga sebagai pekerja rumah tangga di Palu dan Donggala.

Ibu Tallo membangun rumah tangga bersama Yunus. Motivasinya berumah tangga dilatarbelakangi oleh keinginannya melepaskan diri karena terlalu lelah sebagai pencari. Yunus yang mengaku sebagai orang kaya dari selatan menawarkan bantuan. Bersama Yunus, mereka memiliki enam anak. Iming-iming itu tidak pernah berwujud apa-apa. Setelah anak ketiga, hubungan rumah tangga mereka memburuk. Yunus jarang pulang ke rumah dengan alasan harus bekerja di Palu. Perubahan nihil hingga kelahiran anak ke enam. Reproduksi anak terus terjadi dan memberi beban pada Ibu Tallo, namun uang atau dukungan psikologis tidak pernah datang mengunjungi rumah Ibu Tallo. Hingga, Ibu Tallo memutuskan berhenti berhubungan seksual dengan suaminya. Selama belasan tahun sudah, sang suami tidak pernah berada di sampingnya untuk membantu menafkahi keluarga. Tiada cara lain bertahan selain kembali menjadi tulang punggung utama dalam keluarga. Demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga, ia selalu mengganti pekerjaan tanpa mempedulikan omongan masyarakat.

Sebab peran pencari nafkah tersebut diembannya, akhirnya ia pun dipercaya sebagai sentral pemegang keputusan dalam keluarga besarnya. Meskipun dirinya adalah perempuan. Hal ini diceritakannya sebagai berikut:

“lain dengan keluarga sendiri kalo (kalau) ada masalah saya selalu didengarkan apa yang saya bilang dorang (kamu) suami biar jarang pulang apa saya bilang didengar anak anak begitu juga dengan orang tua dan kakak atau adik serta kemanakan (keponakan)”

Kemampuannya ini mempengaruhi hubungan sosialnya. Ia dilihat sebagai perempuan ’tahan banting’ yang mampu bersuara bijak. Suara dan kearifannya dalam mengambil keputusan menjadikannya sebagai figur perempuan yang sangat didengar. Tidak mengherankan, ucapan Ibu Tallo kerap didengarkan baik dalam diskusi informal maupun rapat-rapat desa. Dalam lingkungan desa dan kerjanya, Ia juga memegang posisi penting; pemimpin perempuan yang memiliki kearifan nilai-nilai lokal yang diyakininya .

Nilai ini yang menjadi landasan mengapa perempuan ini berada di garda depan ketika gunung Loli sebagai lokus adat akan digusur dan dialihfungsikan sebagai tambang galian C. Tidak sedikit baik penambang tradisional, perempuan, dan masyarakat mengadu kepadanya. Suaranya yang bijak juga mampu menjembatani aspirasi masyarakat pada pemerintah desa. Pilihan resistensi dan konflik juga iambilnya yang kemudian menularkan pada dinamika masyarakat desa lain.

Ibu Tallo berkeinginan melakukan perubahan baik di tingkat diri hingga ke tingkat masyarakat yang lebih luas. Keinginannya ini lahir dari rasa solidaritas sesama warga yang mengalami masalah penggusuran oleh praktik pertambangan besar. Hanya saja, ia menilai proses perubahan tersebut bukan proses yang mudah sebab masyarakatnya pun bersikap reaktif. Mereka sadar, datang, dan mendukung jika mereka mengalami masalah yang sama. Namun jika masalah tersebut tidak mengacak-acak penghidupan mereka, mereka diam dan tidak mendukung perjuangannya. Berikut penuturan Ibu Tallo:

“Saya tidak paham dengan orang di sini dari dulu tidak pernah berubah kalo (kalau) lagi ada masalah tanahnya digusur ia lari kesaya untuk babiang (untuk mengatakan) he (hai) Tallo Bantu dulu apa tanah kami digusur tapi kalo (kalau) sudah habis urusan dan tidak ada lagi masalah, saya tidak dilihat lagi. Baru dibilang Tallo itu banyak bicaranya. Bosan saya dengan orang-orang di sini tidak mengerti kalo (kalau) masalah itu datang. Bukan cuma (hanya) satu kali dan selalu terjadi dengan kami di sini. “

Sengketa tanah keluarga dan tanah adat memang selalu terjadi antara keluarga dengan pemerintah desa. Seringkali keluarga tidak pernah dikonsultasikan secara bersama baik oleh pihak pertambangan dengan pemerintah desa. Terlebih perempuan. Peran kepala keluarga perempuan seperti Ibu Tallo dan perempuan lainnya tidak dianggap penting oleh pemerintah desa. Seperti yang diuraikan Ibu Tallo dalam wawancara mendalam:

“Banyak tanah masyarakat di sini yang diambil oleh pihak pengusaha pertambangan. Ada calo yang memalsukan tanda tangan pemilik tanah. Saya rasa calonya dari kampung sini juga, saya sudah tau namanya siapa”.

Kondisi pemiskinan pun terjadi di Desa Loli Oge. Masyarakat, khususnya perempuan, tidak lagi mempunyai tanah untuk dikelola untuk bercocok tanam ataupun mengumpulkan batu dan kerikil seperti sebelum adanya perusahaan tambang. Semua tanah mereka diklaim sebagai milik pengusaha tambang. Kebanyakan perempuan desa menjadi terjebak dengan hanya menjadi buruh tani ditanah milik orang lain atau pemecah dan pengumpul batu ditanah yang diklaim sebagai milik perusahaan tambang.

Kompleksitas konflik tanah di desa Loli Oge menimbulkan masalah yang berdampak pada kehidupan perempuan yaitu permasalahan lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya yang muncul dalam masyarakat. Masalah yang ditimbulkan dari pengambilan tanah yang berdampak pada pengambilalihan lahan kerja perempuan penambang tradisional oleh perusahaan pertambangan. Adanya situasi perempuan Loli Oge yang semakin sulit melakukan pekerjaan sebagai penambang karena lokasi tempat menambang sudah diambilalih oleh perusahaan dan pemasarannya yang sulit akibat harga batu juga semakin turun. Untuk itu, perempuan penambang banyak yang beralih dan melakukan rutinitas pekerjaan lainnya seperti menjual di pasar, tukang cuci pakaian, menjual ikan, menjadi penjual musiman, mencari kayu bakar, dan menjadi buruh kebun. Hal ini dilakukan oleh perempuan agar tetap dapat memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Dalam konflik tanah selanjutnya juga memberikan gambaran permasalahan yang lengkap akibat dari aktivitas eksploitasi besar-besaran terhadap tanah. Melihat sisi ekologis, eksploitasi yang dilakukan telah merusak struktur tanah, polusi udara, dan polusi air. Tanaman produktif tidak dapat lagi tumbuh secara baik ditanah perkebunan atau pertanian olahan masyarakat. Tidak hanya itu, rusaknya lingkungan memberi dampak terhadap kesehatan masyarakat.

Secara ekonomi, sosial dan budaya, masyarakat kehilangan lahan kerja sebagai penambang tradisional, produktivitas tanaman semakin menurun. Hal ini tentu saja membawa keprihatinan terhadap ekonomi masyarakat yang berdampak lanjut pada tantangan kehidupan ekonomi perempuan.[1] Namun demikian, meskipun tempat menambang lokasinya sudah semakin jauh dari tempat tinggal akan tetapi masih ada sebagian perempuan tetap melakukan aktivitas menambang karena tidak adanya pilihan lain. Menambang menjadi sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari walaupun penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Selanjutnya perempuan mulai mengidentifikasi dua cara yang digunakan oleh pihak tertentu untuk mengambil tanah mereka.

Pertama, pengusaha atau pemilik modal atau oknum meminta tanah masyarakat dengan alasan yang ternyata tidak sesuai atau bisa dikatakan dengan cara menipu. Penipuan ini berbuntut pada kekecewaan akibat pengalaman eksploitasi ekonomi yang dimainkan secara manipulatif. Contoh kasus tanah mertua Andriani yang diminta oleh oknum masyarakat yang notabene berkuasa di desa yang kemudian berpindah pemilik ke perusahaan tambang.

Kedua, perusahaan tidak meminta ke masyarakat tetapi ada pihak tertentu menjual ke perusahaan dengan mengatasnamakan masyarakat. Pihak tertentu ini pula tidak lepas dari kerjasama pihak pemerintah desa yang berkuasa.seperti kasus tanah yang diceritakan oleh Tallo dan Andriani dengan berdirinya CV. Loli Muntah

Hal ini menunjukkan, terdapat dua cara untuk mengkomunikasikan masalah yang dihadapi ataupun keinginan perempuan yaitu : Pertama, perempuan mengkomunikasikan secara bersama. Kedua, perempuan mendelegasikan perempuan lain yang mereka percaya untuk menyampaikan maksud yang diinginkan saat perempuan lain masih merasa takut dan tidak mampu untuk berkomunikasi. Perempuan pada akhirnya mampu mengkomunikasikan, menyampaikan masalah ataupun keinginan kepada pihak terkait, baik itu pemeirntahan desa, perusahaan pertambangan dan kepada pihak tertentu yang dituju. Kedua cara ini tidak digunakan secara terpisah, cara kedua dapat terwujud jika cara pertama dilakukan atau cara pertama dilakukan tanpa melalui cara kedua. Strategi bergantung pada tingkat urgensi dan keberanian perempuan.

Hal ini menggambarkan perubahan yang awalnya perempuan takut dan tidak tahu harus kemana mempertanyakan masalah yang dihadapi karena adanya peran agen di desa, sehingga perempuan lain terdorong untuk mempertanyakan masalah tersebut. Seperti yang terjadi pada Ibu Nai yang mengadukan kasus tanahnya melalui Ibu Tallo, dia berharap Ibu Tallo bisa membantunya untuk melaporkan kasus tanahnya kepada pemerintah desa. Seperti pula pengalaman yang dilakukan Ibu Tallo dan perempuan penambang yang memblokir mobil pembeli batu hasil tambang perempuan, yang belum memberi bayaran batu yang telah diambilnya. Perempuan menghadang seperti yang diceritakan oleh Ibu Tallo:

”kalau kamu belum bayar batu kami, jangan lagi mengambil batu kami. Kecuali kamu sudah membayar batu yang diambil, baru kamu bisa ambil batu kami lagi.”

Aksi blokir ini berhasil, dengan segera para pembeli membayar batu hasil tambang perempuan yang telah diambil. Ia bukan tanpa kapasitas lain. Ia mengembangkan kemampuannya ini dengan memanfaatkan akses ruang-ruang diskusi yang kemudian dilirik oleh organisasi pendampingan masyarakat sebagai perempuan kuat yang bersuara vokal dan memiliki motivasi belajar yang keras. Hingga 2003, ia aktif berpartisipasi dalam setiap diskusi yang difasilitasi oleh salah satu LSM yang fokus pada isu pertambangan. Semangat belajarnya tidak luntur meskipun ia harus menghadapi situasi masyarakat yang terlanjur apatis dengan ruang-ruang politik dan dibodohi oleh kekuasaan yang menjadikan mereka tampil sebagai masyarakat dengan pola pikir yang tidak kritis. Ia pun berhadapan dengan aktor-aktor pelemah ketika terlibat dalam aksi-aksi penolakan tambang galian C yang selama ini beroperasi di desanya. Ia beraksi bersama beberapa lembaga yang terlibat dalam isu lingkungan seperti YPR, Jatam, dan sempat tergabung dalam Aliansi masyarakat Korban Tambang yang dsingkat TERKAM.

Ia menyadari betul kehadiran tambang gali C tidak mengubah kehidupan desanya ke arah yang lebih baik, namun justru menimbulkan dampak perebutan akses dan kontrol terhadap tanah dari masyarakat ke pihak pertambangan yang dikompensasi dengan uang yang tidak senilai. Sebagai pencinta lingkungan, ia jeli dan peka melihat dampak pertambangan juga merusak lingkungan gunungnya yang dipercayainya sebagai lokus adat. Tanaman-tanaman tidak lagi tumbuh baik seperti dulu. Buah Srikaya yang dulunya besar, kini berbentuk kerdil dan hitam.

Pada 2006, ia juga aktif dalam diskusi-diskusi kampung bersama Solidaritas Perempuan Palu. Sampai pada 2007, ia pun aktif dalam penelitian pemberdayaan perempuan dalam konteks muslim sebagai narasumber utama. Ia juga aktif mengajak dan memfasilitasi diskusi penguatan kapasitas perempuan di desanya. Ruang inilah kemudian dibentuk atas inisiatifnya bersama perempuan lain menjadi sekolah perempuan; Sikoa Sintuvu Bessi (Sekolah Untuk Perempuan). Media ini kemudian memperkuat posisinya sebagai pemimpin perempuan. Ia kerap menjadi tempat mengadu perempuan dan referensi diskusi baik di sesama perempuan dengan masyarakat lainnya.

Ia tidak pernah takut. Ia pun memberanikan dirinya untuk memberi testimoni sebagai perempuan penambang tradisional pada Women”s Tribunal (dikasih footnote di bawahnya keterang women’s tribunal) Solidaritas Perempuan kelima di Jakarta 2008 silam.

Ibu Tallo semakin percaya diri menyuarakan nurani perempuan lainnya di ruang publik. Ia juga kerap menjadi penengah dalam konflik tanah yang terjadi di desa Loli Oge. Jika hal tersebut terjadi, bukan tidak jarang, Ibu Tallo menjadi pemimpin kelompok yang menyampaikan protes kepada pemerintah setempat atau perusahaan tambang. Sumber daya air yang tidak didapatkan sebelumnya, karena perjuangannya, kini air pun mengalir ke lingkungan desa.

Konflik perampasan tanah juga menjadi alasan Ibu Tallo sering mendatangi kantor kepala desa untuk menggugat atas dorongan perempuan-perempuan lainnya. Ia tidak menginginkan pengerukan gunung yang dianggap sakral oleh sebagian masyarakat Loli Oge terjadi. Menurut kepercayaan mereka, arwah dan leluhur yang bermukim di gunung tersebut akan menunjukkan kemarahannya berupa bencana. Namun ia menilai respon kepala desa teramat lamban. Kepala desa lama juga tidak pernah memikirkan kepentingan warganya dan terindikasi melakukan korupsi yang tergambar dalam laporan keuangannya. Kas desa yang seharusnya banyak dialiri oleh pertambangan dihabiskan untuk kepentingan pribadi atas nama otoritasnya sebagai kepala desa. Ia juga memudahkan pertambangan besar ke wilayah Loli Oge dengan mensyaratkan uang.

Hingga akhirnya, ketika pemilihan kepala desa yang baru diselenggarakan. Ia terlibat dalam ranah politik. Ia menggerakkan perempuan dan masyarakat untuk tidak memilih kembali kepala desa yang lama. Ia mendiskusikannya bersama perempuan dan masyarakat. Kepala desa yang lama pun tidak terpilih lagi. Perjuangan politiknya tidak berhenti. Ia memastikan pada kepala desa yang baru agar suara perempuan didengar dengan melibatkan perempuan dalam setiap pertemuan desa baik formal dan informal. Hal ini juga disinggung oleh kepala desa baru, dia mengatakan bahwa :

”Situasi dan kondisi masyarakat menuju pemilihan kepala Desa dan pasca pemilihan kepala Desa. Dianggapnya masyarakat sudah bisa menentukan sendiri hak pilihnya (hak politiknya) tanpa paksaan, meskipun masih banyak pihak-pihak tertentu yang menghambat dengan berbagai cara politisnya. Ia akan menyikapi kasus-kasus pertambangan yang terjadi Di Loli Oge dengan melibatkan suara pengaduan masyarakat. Terdapat satu masalah yang sedikit menyulitkan saya, bahwa Sekdes[2] lama tetap akan menjadi sekdes pada periode ini (berdasarkan peraturan pemerintah sekdes diangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil). Sementara banyak tuntutan masyarakat dan perempuan untuk tidak menerima sekdes lama menjadi sekdes kembali. (sekdes ini merupakan salah satu aktor penghambat). [3]

Selama kepala desa baru menjabat, beberapa perempuan baik yang memiliki keberanian dan kemampuan untuk berbicara dan bernegosiasi maupun yang baru memperoleh keberanian dengan tidak segan-segan menyampaikan langsung aspirasinya pada kepala desa. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibu Tallo dan Ibu Adriani.[4]

Ibu Tallo memberi pelajaran penting bagi perempuan lain mengenai makna proses aksi-refleksi dari pengalaman yang dialaminya. Sejak kecil, ia beraksi untuk bertekad bersekolah lagi tanpa sepengetahuan dan kemudian berefleksi bahwa negosiasi merupakan pilihan buruk dari yang terburuk. Meskipun waktu bermainnya tersita untuk mencari uang di pasar, Ibu Tallo merasakan bahwa pengorbanan dalam mengenyam pendidikan tidak sia-sia meskipun tetap harus berhenti di tengah jalan. Ia menciptakan kesempatannya sendiri, ia mencari peluang di antara masalah yang dihadapinya dan ia merasakan kepuasan. Pengorbanan Ibu Tallo tiada henti kala harus memilih berumah tangga dengan Yunus. Relasi kuasa yang berhasil diidentifikasi dan dilawannya meskipun setelah anak ke enam, menjadi contoh bagi perempuan lain bahwa penderitaan perempuan dapat diakhiri dengan memiliki sikap tegas pada suaminya.

Pengetahuan tanpa pengalaman tidak akan pernah menjadi kesadaran. Oleh karena itu, pengetahuannya yang diperoleh melalui diskusi-diskusi peningkatan kapasitas berjalan sesuai dengan pengalamannya sebagai penambang tradisional dan warga desa yang sangat spiritual dan menghormati tanah adat sebagai bagian dari faktor penting kehidupan sosial-kultural mereka. Kesadaran individu ini kemudian menjadi basis pada transformasi yang lebih besar karena kemampuan Ibu Tallo dalam mengambil keputusan untuk berani mengkritisi struktur kekuasaan yang ditopang oleh berbagai lapisan aktor pelemah, dari suami yang tidak menafkahinya hingga kepala desa lama yang mengambil keuntungan dari praktik pertambangan dan tidak memikirkan nasib warga desanya. Keputusannya untuk bersikap negosiasi dan resisten tidak pernah lepas dari resiko. Namun, keterbukaannya dalam menghadapi resiko menjadi sosok Ibu Tallo dikenal sebagai agen perubahan.

Ia kerap menjadi tempat aduan, hal ini memperlihatkan bahwa karakter kepemimpinan Ibu Tallo juga ditunjang oleh kemampuan dalam teknik memfasilitasi permasalahan dan berinteraksi sosial. Keberanian dan kapasitasnya ini kemudian membentuk karisma kewibawaan yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan lainnya sehingga ia dipercaya menjadi pemimpin perempuan di komunitasnya.

Strategi Kritis yang dilakukan oleh Ibu Tallo berbasis pada pengalaman, pengetahuan serta informasi yang diketahui baik oleh Ibu Tallo maupun perempuan akar rumput lainnya. Transformasi pengetahuan yang mereka dapatkan membentuk sebuah kesadaran bahwa mereka mempunyai potensi untuk merubah keadaan yang menindas dan melemahkan mereka. melalui diskusi dan pertemuan kampung, mereka merasa juga sama ‘kuat’nya dengan laki-laki. Kesadaran kritis ini juga terus menerus menguat, ketika setiap individu yang mendapat penyadaran merefleksikan bahwa bukan hanya ‘saya’ (individu) sebagai perempuan yang harus melawan namun ‘kami’ (kolektif) mampu juga secara bersama melawan penindasan dan pelemahan yang mereka alami. Mereka bahkan dapat menyimpulkan, ketika para perempuan melawan secara bersama mereka akan lebih kuat dalam menghadapi aktor dan faktor pelemah.

Ia juga memimpin perempuan- perempuan akar rumput lainnya untuk menghentikan escavator dan truk yang akan memasuki kawasan penambangan. Aksi strategis tersebut lahir dari inisiatif- inisiatif perempuan akar rumput yang kemudian dirumuskan bersama dalam diskusi kampung. ‘keberanian’ para perempuan akar rumput tersebut karena rasa solidaritas di antara sesama mereka. Perlawanan secara bersama berhasil menjadi momentum bagi perusahaan tambang yang melakukan eksploitasi. Moment tersebut didokumentasikan oleh media massa setempat dan menjadi perhatian masyarakat. Akhirnya dibukalah ruang untuk berkomunikasi antara perempuan kampong yang diwakili oleh Ibu Tallo sebagai Local women indigenous leader dengan perwakilan perusahaan tambang dan kepala desa. Hasil komunikasi tersebut terdapat kesepakatan bahwa pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan desa, perempuan ingin dilibatkan, pengambilan keputusan tersebut salah satunya adalah mempertimbangkan kesaksian pengalaman perempuan dalam perizinan operasional perusahaan tambang.

[1] Penjelasan terdapat pada laporan akhir 2007-2008.
[2] Sekretaris Desa
[3] Wawancara Kepala desa Bapak Alimudin Suma, 6-7 agustus 2008
[4] Live ini, pengamatan 18 agustus 2008

Translate »