Indonesia di antara ‘Silk Road Economic Belt’, ‘21st Century Maritime Silk Road’ dan ‘Trans-Pacific Partnership’

Pernyataan Jokowi setelah kunjungan ke Amerika Serikat baru-baru ini bahwa Indonesia berniat  untuk bergabung dengan ‘Trans-Pacific Partnership’ (TPP) pimpinan Amerika, merupakan langkah menyenangkan kubu TPP setelah Indonesia bergabung dengan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) sebelumnya. Indonesia sudah menempatkan dirinya dalam geopolitik dan geo-ekonomi Asia: baik kepada keduanya dan sekaligus memperoleh dana investasi dan peningkatan peluang perdagangan.

Cina terus mendesakkan keinginannya menjadi super power baik secara politik maupun ekonomi. Untuk ini Cina berhadapan dengan AS dan Jepang -secara geo-politis yang ditandai dengan pertikaian Laut  Cina Timur dan Laut Cina Selatan untuk merebut kembali kekuasaan atas perairan; secara geo-ekonomis pendirian AIIB dan konsep ‘Silk-Road Economic Belt’ dan ‘21st Century Maritime Silk Road’ berhadapan dengan Trans-Pacific Partnership’.

Melalui diplomasi ‘makin banyak sekutu = makin sukses’, Cina berusaha menarik banyak sekutu untuk perluasan kepentingan politik dan ekonominya. Cina sukses menarik negara- negara Eropa yang selama ini merupakan sekutu Amerika setelah Perang Dunia II dan juga Australia serta Selandia Baru, kedalam kubu AIIB. 17 negara-negara sekutu Amerika ini menjadi anggota pendiri AIIB selain 40 negara-negara Asia, Eropa Timur (termasuk Rusia) dan Amerika Latin (Brasilia) saat penandatanganan Article of Agreement (AoA) 29 Juli lalu.

Telah terjadi sebuah transformasi perekonomian di Cina sehingga terjadi kapasitas lebih pada industri-industri raksasa semen dan baja, demikian juga teknologi dan pekerja. Hal ini di lain pihak memicu kerusakan lingkungan dan konsumsi energi yang masif sehingga ada beban lingkungan yang sangat berat. Meski demikian, Cina juga melihat adanya kebutuhan tinggi terutama minyak dan mineral. Perkembangan industrial yang cepat di Cina mendorong PDB (Pendapatan Domestik Kotor) menjadi terlalu tinggi, diiringi besarnya tabungan warga Cina sendiri yang menyebabkan persoalan tersendiri yang membebankan ban-bank di Cina karena kekurangan katup-katup investasi keluar Cina. Namun, Cina melihat ada ada peluang karena berlangsung krisis pada perekonomian terutama  di Eropa dan keinginan mempermudah ekspor untuk menghadapi perlindungan perdagangan dalam negri. Di lain pihak Amerika mendorong strategi TPP dengan mengucilkan Cina, namun menggandeng Jepang dan Korea Selatan.

Cina yang harus meyalurkan produksi berlebihnya dan tumpukan tabungan dalam negri,  kemudian mengincar perluasan investasi ke Asia dan Eropa dengan mengembangan strategi darat ‘Silk Road Economic Belt’  (SREB) yang akan menghubungkan  Cina, Asia Tengah, Rusia dan Eropa; sementara itu strategi laut ‘21st Maritime Silk Road’ (MSR) dirancang  dalam 2 jalur untuk menghubungkan kawasan pesisir Cina dengan Eropa lewat Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia,  dengan kawasan Pasifik termasuk Indonesia lewat Laut Cina Selatan dan Laut Pasifik Selatan. SREB dicanangkan pertama kalinya oleh Cina pertama kalinya di Kazakhstan bulan September 2013; sedangkan MSR dalam kunjungan president Cina, Xi Jinping ke Indonesia bulan Oktober 2013. Pembangunan infrastruktur untuk zona perekonomian  SREB dan MSR yang kemudian dikenal dengan nama ‘One Belt, One Road’ ini akan membutuhkan sekitar US$ 8 trilyun untuk pembangunan infrastruktur kereta api, jalan tol, pelabuhan, transmisi, transportasi minyak dan gas dan komunikasi. Dengan demikian kses ke sumberdaya alam di wilayah-wilayah terpencil, yang dibutuhkan Cina menjadi terbuka.

Oktober 2013 Cina meluncurkan gagasannya untuk sebuah bank baru di Asia dengan tujuan pembiayaan infrastruktur dengan latar belakang yang telah disebutkan di atas. Modal awal AIIB adalah sebesar US$ 100 milyar untuk dijual dalam bentuk saham bagi negara-negara yang ingin bergabung. Cina sendiri dengan investasi sebesra US$ 50 milyar merupakan peemegang hak suara terbesar (26%). Untuk dasarwarsa mendatang AIIB mentargetkan investasi sebesar US$ 8 trilyun.

AIIB sendiri merupakan muara berbagai kepentingan. Kepentingan Cina sendiri adalah untuk mencari solusi kapasitas berlebih dalam negri dan promosi peningkatan industri, menurunkan beban cadangan nilai tukar mata uang asing dan menurunkan beban keuangan bank-bank Cina dengan adanya tabungan besar warga Cina. Kepentingan negara industri yang bergabung adalah kekurangan modal akibat krisis ekonomi yang terjadi. Sedangkan kepentingan negara berkembang adalah mendapatkan pembiayaan infrastruktur.

Kepentingan Indonesia sendiri untuk bergabung dengan AIIB, jelas: mendapatkan pembiayaan infrastruktur terutama untuk pelabuhan, jalan dan pembangkit tenaga, termasuk yang menggunakan batubara. Pemerintah Indonesia membutuhkan total dana untuk pembangunan infrastruktur dalam RPJM 3 (2015-2019) sebesar US$ 15-23 milyar. Menurut Menteri PU dan Perumahan, dana pinjaman luar negri dari Bank Dunia, ADB, IDB, JICA, Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan, Spanyol dan Jerman sebesar US$ 4,6 milyar atau sekitar  Rp 60 trilyun. Apakah sisa kebutuhan pembiayaan sebesar US$ 10 – 18 milyar akan diisi oleh AIIB? Bila demikian, maka AIIB akan merupakan pemodal terbesar dan sangat besar untuk pembangunan di Republik ini, demikian juga akan membuat Indonesia makin tergantung pada Cina lewat AIIB dari sisi keuangan, industri baja dan teknologi.

Beban ketergantungan dari AIIB akan ditambah dengan beban aturan perdagangan ketat  apabila Indonesia jadi bergabung dengan Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP). Perjanjian perdagangan bebas ini merupakan sebuah perjanjian perdagangan dan dalam proses negosiasi oleh AS, Australia, Brunei Darussalam, Chili, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapura dan Vietnam. Tujuan TPP ini jelas seperti yang tertera dalam  sebuah definisi oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika “.. TPP membangun aturan untuk perdagangan global -aturan yang akan membantu ekspor ‘made in USA’, menumbuhkan ekonomi Amerika, mendukung lapangan kerja dengan gaji baik di Amerika, dan menguatkan kelas menengah Amerika’

Bagaimana dengan Nawacita Jokowi – JK dalam konstelasi kepentingan ekonomi dalam negri Cina  lewat AIIB dan Amerika Serikat lewat TPP? Pemerintah Indonesia perlu meyakinkan kita semua bagaimana visi Nawacita dapat terwujud di tengah jepitan kepentingan-kepentingan tersebut.

Jakarta, 1 November 2015
Titi Soentoro
Anggota Solidaritas Perempuan
Aksi for gender, social and ecological justice

Translate »